KLIKPOSITIF – Bencana galodo atau banjir bandang lahar dingin yang melanda kaki Gunung Marapi, 11 Mei 2024, adalah tragedi bagi Sumatra Barat.
Kampung-kampung di kaki Gunung Marapi tersapu oleh kelindan air berpadu dengan material erupsi Marapi dan gelondongan kayu. Alhasil, hingga saat ini tercatat 62 orang meninggal dan sejumlah orang masih hilang (data BNPB, 24 Mei 2024).
Pukulan telak lainnya, ratusan kepala keluarga harus menginap di tenda pengungsian, lantaran rumah mereka diterjang bencana yang dikenal sebutan galodo itu.
Menurut data teranyar BNPB, 625 rumah yang rusak, 159 di antaranya rusak berat dan berada di jalur berbahaya aliran lahar dingin (jalur merah atau rawan).
Sehingga pemerintah berencana akan merelokasi mereka yang tinggal di zona merah dengan jumlah saat ini sekitar 159 kepala keluarga.
“Tadi pak bupati, pak gubernur sudah menyiapkan lahannya, sehingga segera nanti ada penetapan lokasi. Kalau sudah ada penetapan lokasi relokasi, saya akan perintahkan Dinas PUPR untuk segera dimulai pembangunan. Hal ini karena barangnya untuk membangun itu sudah siap,” terang Presiden Jokowi, saat menyambangi lokasi bencana di Bukik Batabuah, Kabupaten Agam, Rabu (21/5/2024).
Jokowi mengatakan, bahwa dari 159 rumah warga yang rusak berat tersebut, ada sekitar 100-an yang sudah setuju untuk relokasi. Sedangkan sisanya masih dalam proses.
Relokasi adalah solusi kelanjutan mitigasi suatu bencana yang diperkirakan berlangsung di kawasan atau jalur yang sama. Artinya, kebijakan pemindahan masyarakat dari kawasan rawan bencana ke kawasan yang lebih aman.
Namun, berkaca pada pengalaman penyintas gempa dan tsunami Mentawai; mereka direlokasi jauh dari pemukiman lama (12-15 km, dengan akses jalan kaki), yang otomatis jauh dari ruang hidup mereka; ada persoalan hak tenurial. Sehingga di kemudian hari ini menjadi persoalan. Mereka terutama kaum laki-laki kembali ke kampung lama untuk mencari penghidupan, dan kembali ke kampung baru (relokasi) sekali seminggu. Dan juga pengalaman masyarakat Tanjung Sani, pinggiran Danau Maninjau yang rentan longsor; enggan untuk ditransmigrasikan ke Solok Selatan dan Dharmasraya.
Mengacu hal ini, Patahan Sumatra Institute (PSI), kemarin, menaja ruang diskusi, gelanggang silang gagasan, lalu merajutnya menjadi formula terbaik untuk wacana relokasi penyintas galodo Gunung Marapi, sekaligus penataan ulang kawasan Gunung Marapi berbasis risiko banjir lahar atau pun imbas erupsi Marapi lainnya.
Salah seorang pendiri Patahan Sumatra Institute yang juga ahli geologi berdomisili di Sumatra Barat, Ade Edward mengatakan, Gunung Marapi masih berstatus Siaga (level III) dengan ancaman erupsi dan banjir lahar yang dapat kembali terulang pada 23 alur sungai yang berhulu di puncak gunung.
Ade mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil pemetaan dan simulasi permodelan yang dilakukan oleh PVMBG Badan Geologi-Kemen ESDM pada Januari 2024, Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Marapi masih menunjukkan banyak pemukiman rumah masyarakat yang berada di dalam kawasan rawan bencana banjir lahar.
“Hal ini tentunya perlu menjadi perhatian semua pihak untuk melakukan upaya antisipasi dan mengurangi risiko bencana banjir lahar dan erupsi Gunung Marapi,” tegas Ade yang menjabat Direktur Eksekutif Patahan Sumatra Institute (PSI).
Salah satu upaya yang diusulkan Ade untuk meminimalisir timbulnya korban adalah dengan melakukan pemindahan pemukiman dari daerah rawan banjir lahar ke daerah yang lebih aman.
“Upaya ini perlu dilakukan dengan segera, karena bencana bisa kapan saja terjadi,” jelas Ade.
Untuk mendukung upaya ini, Patahan Sumatra Institute menginisiasi pertemuan 20 orang ahli, akademisi, praktisi, aktivis, dan penggiat terkait dalam kegiatan Brainstorming dengan tema Konsep Resettlement Pemukiman Rawan Banjir Lahar pada tanggal 2 Juni 2024 di Hotel Truntum Padang.
Antara lain, Prof. Syafrudin Karimi; Prof. Elfindri; Prof. Bujang Rusman; Prof. Isril Berd; Prof. Afrizal; Prof. Kurniawarman; Prof. Irfan Suliyansyah; Prof. Rudi Febriamansyah; Khairul Jasmi; Ir. Djoni; Fadli Irsyad (Ph.D); Khalid Syaifullah; Hendra Makmur; Zukri Saad; Dr. Osronita; Ramdalel Bgd Ibrahim; Dr. Yudi Antomi; Wengki Purwanto; Yefri Heriani; Dr. Jamilah. Adapun pemantik diskusi, dilakoni oleh Ade Edward.
Kegiatan yang didukung PT Semen Padang ini, menghasilkan beberapa pokok pikiran rekomendasi dalam pemindahan pemukiman di daerah rawan banjir lahar melalui upaya penataan kawasan Nagari berbasis mitigasi bencana.
Beragam Pandangan Membentuk Pokok Pikiran Mitigasi Marapi
Diskusi yang tercurah dan terajut berkisar 8 jam lebih.
Masing-masing narasumber diberi waktu menuangkan pemikiran dan pandangan soal resettlement atau relokasi penyintas atau mereka yang tinggal di kawasan rawan lahar Marapi, dengan durasi sekitar 10-15 menit. Hal ini berlangsung hingga siang.
Lalu berlanjut saling mendiskusikan, adu argumentasi yang dimoderatori oleh Ade Edward. Segenap pemikiran dan argumentasi para peserta yang begitu sengit, turut membentuk pokok-pokok pikiran brainstorming ini.
Salah seorang peserta, wartawan senior Khairul Jasmi mendorong pendekatan kultural atau kenagarian untuk kebijakan relokasi maupun tata ulang ruang dan pemukiman di kawasan Marapi.
Baginya kunci untuk kebijakan relokasi adalah sokongan penuh walinagari dan niniak mamak (KAN).
Ia mengatakan, di kota ada tata kota, tapi seringkali tak tertata dengan baik. Sementara di Nagari, tak ada tata nagari yang patut untuk dibuatkan. Akibatnya, bencana sosial telah muncul di desa.
“Apa itu? Pemukiman yang kusut, jalan yang sempit, dan sulitnya akses kendaraan besar, apalagi pemadam kebakaran,” ujar Pemimpin Redaksi Harian Singgalang ini.
Menurutnya, jika Sumbar berhasil membuat dokumen tata nagari, satu saja, dan sukses menerapkannya, maka itu sudah menemukan makna sesungguhnya dari ‘hujan adalah rahmat’.
“Alam adalah panorama, apalagi di kaki gunung. Takkan ada lagi rumah baru yang dibangun membelakangi gunung dan menghadap ke jalan.”
Guru Besar Hukum (Agraria) Universitas Andalas (UNAND) Kurnia Warman mengingatkan kebijakan relokasi harus beralaskan hukum yang jelas dalam konteks adat dan agraria.
Sementara Guru Besar Universitas Gunadarma Isril Berd, menilai sabo dam cocok sebagai mitigasi lahar Marapi secara fisik. Namun, sabo dam dan infrastruktur pengendalian aliran banjir lahar debris flow harus terencana baik, sehingga dapat berfungsi maksimal mengendalikan aliran banjir lahar dalam rangka mitigasi dampak bencana banjir lahar.
Djoni menyatakan bahwa inventarisasi masyarakat terdampak harus segera dilakukan. Diskusi dengan tokoh adat, kaum, dan suku sangat penting dalam mengambil keputusan terkait penetapan lokasi resettlement.
“Keputusan lokasi harus didasarkan pada kesepakatan adat, kaum, dan suku,” tegasnya.
Djoni juga menekankan pentingnya partisipasi perantau dan masyarakat lainnya dalam proses resettlement. “Pemerintah diharapkan memfasilitasi pembangunan resettlement sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai oleh tokoh adat, kaum, dan suku,” ujar mantan Kepala Dinas Pertanian Provinsi Sumatra Barat ini.
Sementara itu, wartawan senior asal Sumbar, Hendra Makmur mengingatkan kembali tentang pentingnya UU No 24 Tahun 2007 mengenai Penanggulangan Bencana, yang mencakup beberapa aspek penting: Pencegahan Bencana, Kesiapsiagaan, Peringatan Dini, Mitigasi, Tanggap Darurat, Rehabilitasi, dan Rekonstruksi.
Hendra menekankan bahwa sering kali kita melupakan aspek pencegahan dan mitigasi dalam penanggulangan bencana, padahal kedua hal tersebut sangat penting untuk meminimalisir dampak bencana.
“Kita harus fokus pada pencegahan dan mitigasi untuk mengurangi risiko bencana di masa depan,” ujarnya.
Doktor tamatan salah satu perguruan tinggi di Jepang, Fadli Irsyad menekankan bahwa resettlement hanyalah solusi insidentil bagi korban galodo. Menurutnya, yang lebih penting adalah fokus pada adaptasi dan mitigasi untuk menghadapi kejadian serupa di masa depan.
“Galodo bisa berulang setiap 50 atau 100 tahun dan tidak bisa diprediksi kapan akan dimulai,” ujar Fadli. Ia juga mencatat bahwa ada jeda waktu sekitar 20-30 menit saat galodo terjadi. “Jika ada peringatan dini, minimal kita bisa mengurangi korban jiwa,” tambah Fadli yang berasal dari Nagari Bukit Batabuah ini.
Sementara Zukri Saad mendorong penataan kawasan di sekitar Marapi harus memberi manfaat ekonomi bagi penduduk. Ia mencontohkan, mereka yang tinggal di pinggiran sungai rawan lahar digeser ( ke belakang) atau menjauh dari sungai. Nah, pinggiran sungai itu kemudian dikelola dengan tumbuhan bernilai ekonomis seperti bambu.
“Dan sebaiknya itu kemudian itu milik atau aset nagari dan dikelola oleh Bumdes. Lalu diatur bagaimana skemanya agar semua menikmati hasilnya secara adil,” katanya, aktivis senior asal Sumbar ini.
Banyak lagi pemikiran yang cukup positif dalam penataan kehidupan di sekitar Marapi. Jika disimpulkan, semua sepakat relokasi yang dilakukan harus bersifat internal.
Artinya, mereka yang tinggal di kawasan rawan lahar Marapi dipindahkan tak jauh, masih di dalam nagari masing-masing. Sehingga tak jauh dari sawah, ladang, dan ruang hidup dan kebudayaan sosial mereka.
Pokok-pokok Pikiran Brainstorming
Lebih dari 8 jam curahan pikiran, pandang, lalu silang sengketa gagasan para narasumber atau peserta brainstorming, melahirkan pokok-pokok pikiran yang jika diperas menjadi tiga hal yakni, pertama, resettlement pemukiman di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Marapi dilakukan dengan Penataan Kawasan Nagari berbasis
Mitigasi Bencana
Kedua, kawasan DAS dan sempadan sungai zona rawan banjir lahar dan erupsi Gunung Marapi dikonversi menjadi kawasan konservasi dan buffer zone sebagai peredam ancaman banjir lahar yang juga mempunyai nilai ekonomi tinggi (green economic).
Ketiga, pengurangan risiko banjir lahar Marapi (mitigasi) seperti sabo dam dan infrastruktur pengendalian aliran banjir lahar debris flow harus terencana baik.
“Ada sekitar 34 poin penting dari brainstorming ini. Lalu kita peras lagi, sehingga didapatkan 3 poin penting dari pokok-pokok pikiran seperti di atas. Pokok-pokok pikiran yang menjadi isi Deklarasi Padang II, sebagai kelanjutan Deklarasi Padang I tahun 2005 silam (pokok-pokok pikiran mitigasi gempa dan tsunami di Sumbar),” ungkap Ade.
Pokok-pokok pikiran ini dijelaskan Ade lebih jauh. Dikatakannya, penataan dilakukan dengan memindahkan pemukiman yang berada di dalam sempadan sungai rawan banjir lahar ke lokasi lain yang relatif lebih aman di dalam Nagari yang sama.
Daerah sepadan sungai yang rawan banjir lahar dialihkan menjadi kawasan konservasi yang produktif dengan menanam jenis vegetasi yang dapat berfungsi sebagai peredam banjir lahar sekaligus memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat setempat (Green Economic).
“Dengan upaya ini diharapkan dapat meminimalisir risiko bencana banjir lahar dan erupsi Gunung Marapi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar gunung,” pungkas Ade.
Salah seorang peserta diskusi, Ramdalel Bagindo Ibrahim mengapresiasi Patahan Sumatra Institute telah menaja agenda pasca galodo, sebagai wujud keprihatinan dan kepedulian terhadap bencana.
“Sebagai bagian dari kegiatan ini, saya menaruh harapan baik kepada pihak-pihak (baca: pemerintah) untuk kita saling berbagi peran pada tahapan selanjutnya, karena memang begitulah seharusnya,” ujarnya.
Ia juga berharap mekanisme penanganan dan perlindungan (rehabilitasi-rekonstruksi) nantinya dilakukan secara kolaboratif dan saling menghormati, sesuai dengan kondisi yang ditemukan di setiap daerah (nagari) yang terdampak dan atau akan tertimpa bencana.
“Selain itu, prinsip kearifan dengan nagari harus menjadi pedoman utama dalam melaksanakan kerja-kerja rehabilitasi-rekonstruksi dan pemberdayaan penduduk pasca galodo ini,” tandasnya.
Profil Patahan Sumatra Institute
Patahan Sumatra Institute (PSI) adalah lembaga riset dan implementasi hasil riset hal-hal yang berkaitan dengan patahan (sesar) Sumatra secara khusus, dan kebencanaan secara luas, untuk kepentingan publik (mitigasi). PSI didirikan bulan Mei 2024 oleh tiga orang yakni Ade Edward, Yose Hendra, dan Ade Rahadian.