PIP Bikin Masyarakat Pesisir Selatan Terkotak-kotak, Lisda Hendrajoni Apa Kabar!

Oleh: Didi Someldi Putra

Klaim eksklusif atas program PIP oleh anggota DPR RI, Lisda Hendrajoni di Pesisir Selatan telah menimbulkan polarisasi di masyarakat dan mereduksi nilai luhur dari program sosial ini.

Politisasi bantuan pendidikan tidak hanya mengaburkan tujuan utama PIP, tetapi juga berpotensi menciptakan kecemburuan, ketidakadilan dan ketidakpastian bagi penerima manfaat.

Sangat wajar rasanya bagi seorang pejabat publik, termasuk Lisda Hendrajoni yang merupakan anggota DPR RI untuk merasa bangga atas program yang telah diperjuangkannya.

Hanya saja jika diulik lebih dalam, maka bisa dikatakan bahwa sebenarnya PIP bukan program DPR RI, lebih tepatnya PIP masuk ke dalam program Nawacita Presiden Jokowi.

PIP jalur aspirasi anggota DPR RI sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai program kemitraan antara DPR RI dengan Kemendikbud RI, dan pertanyaan apakah kita berani jujur menyampaikannya.

Kemudian jika hal ini terus dibiarkan atau ditutupi maka lamban laun akan menjadi persoalan ditengah-tengah masyarakat.

Menurut penulis yang terbiasa menyantap kopi talua jo gulo anau ini, klaim eksklusif atas program nasional seperti PIP dapat memicu persepsi negatif di masyarakat, seolah-olah program tersebut adalah inisiatif pribadi, bukan kebijakan pemerintah pusat.

Kedua, politisasi program sosial dapat menimbulkan konflik kepentingan, terutama saat terjadinya pergantian anggota DPR RI atau pindahnya komisi penugasan anggota DPR RI dimaksud.

Masyarakat yang telah terbiasa dengan program tersebut atas nama seorang individu tertentu, mungkin akan merasa kehilangan atau bahkan teralienasi jika program tersebut tidak lagi menjadi prioritas anggota DPR RI yang baru.

Ketiga, pemberian label “PIP jalur aspirasi” dapat menciptakan stigma negatif bagi penerima manfaat. Mereka mungkin merasa seolah-olah mendapatkan bantuan karena faktor politik, bukan karena benar-benar membutuhkan.

Kemudian, jika program tersebut terlalu dikaitkan dengan seorang individu, maka keberlanjutan program menjadi tidak pasti. Penerima manfaat akan merasa khawatir jika terjadi pergantian atau perubahan kebijakan.

Terakhir, pemberian label yang berbeda pada penerima manfaat PIP dapat menimbulkan diskriminasi. Semua siswa yang menerima bantuan seharusnya memiliki hak yang sama tanpa memandang asal usul atau jalur penyaluran bantuan.

Idealnya, Lisda Hendrajoni perlu transparan dalam menyampaikan informasi terkait sumber dana dan mekanisme penyaluran bantuan, serta memastikan bahwa semua siswa yang berhak mendapatkan bantuan dapat mengaksesnya tanpa diskriminasi.

Didi Someldi Putra: Ketum LSM PETA

Exit mobile version