KLIKPOSITIF – Dengan menguasai harta pusaka, Perempuan Minangkabau menurut adat telah diberi hak istimewa. Dengan keistimewaan itu tidakkah mereka berpikir untuk kemajuan masa depan?
Bila tidak salah tangkap, demikian sinopsis tari Pitaruah Darah dengan koreografer Joni Andra. Karya yang dipentaskan tanggal 15 November 2024 malam di Teater Arena SMK 7 Padang ini, diawali dengan kehadiran seorang laki-laki sedang bermain biola di pentas, dengan latar ranting pohon yang meranggas, di bawah sinar rembulan.
Lalu dari kanan panggung di balik pohon dan reruntuhan (seperti reruntuhan rumah gadang) muncul penari perempuan. Adegan ini berlangsung cukup lama, kurang lebih 10 menit, hingga nyaris seperti penari latar yang mengikuti irama musik dari gesekan biola.
Pada adegan selanjutnya, beberapa penari muncul dari sudut yang sama, satu laki laki dan beberapa orang perempuan diiringi tetabuhan yang hingar bingar dari suara musik digital, alat tiup dan perkusi. Adegan demi adegan terus mengalir, penari laki-laki menunjukkan dominasinya dalam dunia perempuan, dan perempuan terhegemoni akan habitual laki-laki dengan simbol rokok, atau dapat dibaca sebaliknya menggambarkan perlawanan perempuan pada dunia laki-laki. Pada adegan puncak sebelum penutup, semua penari hadir dengan membawa botol-botol minuman, yang dieksplorasi sedemikian rupa. Salah satu penari digambarkan sebagai wanita pecandu alkohol, agaknya koreografer ingin menunjukkan tentang dunia hiburan malam yang dominan melibatkan kaum perempuan. Pada adegan akhir, laki-laki dengan biola kembali memasuki panggung, sambil menggendong sesosok bayi, dan para perempuan mabuk serentak memecahkan botol minuman mereka.
Agak sulit kita membaca apa yang dimaksud Joni Andra dengan Pitaruah Darah. Antara synopsis dan pertunjukan seperti ada jarak yang sulit dibaca apakah Joni Andra sedang membaca problematika perempuan Minangkabau dalam perkembangan zaman. Andra menghadirkan bentuk-bentuk artifisial; perempuan merokok, minum alkohol, dan perempuan yang menghancurkan dalamak, perangkat hantaran menurut adat, dijunjung di kepala.
Bila Andra pernah mengkitik para penari yang memecahkan piring, Andra justru menghancurkan perangkat adat. Beberapa sesi adegan, andra juga menyelipkan dialog penari dengan kata-kata adat yang lazim digunakan dalam pidato adat. Andra juga mengkritik pelaku teater dengan gerak sebagai pilihan bentuk sebaliknya Andra juga menggunakan dialog untuk mempertegas konsep tarinya. Pitaruah Darah seakan sudah menjadi karya kompilasi dari beragam bentuk seni, musik, tari, teater, dan seni rupa.
Pada dasarnya artistik tidak mempertegas konsep karya, pohon yang meranggas, tebaran dedaunan di mana-mana ditambah dengan puing reruntuhan rumah gadang membuat panggung terasa sesak dipandang. Terkesan perpaduan dari komponen yang mendukung terasa nyinyir, tak ditemui ruang senyap, ruang kontemplasi bagi penonton melakukan perenungan atas apa yang disajikan di panggung.
Pitaruah Darah, judul yang memunculkan nuansa tertentu dalam kepala kita. Karya yang akan menggambarkan sebuah tragedi peradaban, sesuatu yang mengalir di urat nadi, menjadi barang titipan, tragis atau ironisnya tidak muncul malam itu. Pitaruah bermakna titipan, bila titipan darah tentu berkait dengan darah keturunan yang dititipkan dalam rahim perempuan. Namun dalam Pitaruah Darah justru dimunculkan bayi dalam gendongan laki-laki, yang dapat pemahaman harfiah saja, si laki-laki bahkan memelihara darah dagingnya, tidak menitipkannya pada perempuan. Tidak ada sayatan-sayatan yang memerihkan, semuanya mekanik seperti panasnya mesin dengan uapnya.
Bukan tak ada adegan yang berusaha dihadirkan untuk perenungan itu, namun musik digital yang selalu menggelegar sepanjang pertunjukan membuat adegan itu hilang begitu saja, tanpa sempat menyajikan katarsis bagi penikmat. Garak, garik, ukua, jangko, yang biasanya dapat digunakan sebagai modal budaya yang penting dalam tari, namun tidak digarap dengan apik. Demikian pula matan makna, hakikat, dan makrifat sebagai cara orang Minangkabau dalam mengarifi berbagai peristiwa, berbagai persoalan kehidupan. Tau dibayang kato sampai tau diangin nan basiru, semua membayang dan dipahami, tak semua hal mesti diverbalkan, begitu Minangkabau melakukan penjelajahan dalam peradaban.
Penulis berusaha memahami, sebagai sebuah karya kontemporer Pitaruah Darah ingin membangun komunikasi dalam bentuk seni yang ekspresif dan eksploratif. Namun bila jejak budaya asal sebagai tempat titik gagasan Joni Andra berangkat, karya itu seperti memiliki jarak dari budaya asal tersebut, oleh karenanya Pitaruah Darah hadir sebagai bentuk koreografi yang dipenuhi oleh perca perca budaya modern dalam bungkusan konsep tradisonal. Kita tidak dapat membaca apapun dari hal demikian, yang muncul hanyalah rangkaian bentuk figuratif belaka, baik dari sisi gerak, musik, maupun artistik panggung yang melatari pentas tari itu.
Namun demikian, setidaknya di tengah berbagai kesulitan, dan minimnya perhatian terhadap seni dan budaya, jarangnya muncul karya tari di Sumatra Barat, Joni Andra tetap berkarya. Karya itu juga melibatkan dan telah didukung oleh berbagai komunitas seniman muda. Gerakan ini tentu pantas untuk diberi aparesiasi. Selamat berkaya Andra, selamat terus berkreativitas.