PADANG, KLIKPOSITIF – Aksi demi aksi kejahatan seksual terhadap anak terus menggejala di lingkungan sosial kita, khususnya di Sumatera Barat.
Dalam tiga bulan terakhir ini dari penelusuran jejak digital di media online Sumbar, sudah terungkap 4-5 kasus kekerasan seksual.
Kasus sodomi oleh Guru di Agam, kasus pelecehan seksual oleh guru madrasah di Padang Panjang, Kasus bapak 'rutiang' di Solok, kasus pemerkosaan berjamaah di Padang dan terakhir dalam waktu berdekatan muncul kasus sodomi oleh seorang ustad alias guru mengaji pada muridnya.
Ibarat gunung es kasus kejahatan seksual oleh predator anak, sebenarnya bisa banyak, sebab hanya beberapa kasus saja yang terungkap dan dilaporkan ke pihak berwajib.
Sementara diprediksi para predator lain terus bergerak dan menambah korban-korban baru.
Dilihat dari sisi faktor munculnya kasus ini, adalah bersifat multivariabel, dalam kamus studi sosiologi tentang penyimpangan tidak ada sebab terjadi penyimpangan tersebut secara tunggal, termasuk penyimpangan seks.
Ada faktor internal dan eksternal yang berkontribusi kepada terjadinya sebuah kasus. Masalah kekaburan norma (anomie), pengetahuan dan penyerapan nilai dan sebagainya dianggap sebagai faktor internal.
Di sisi lain secara eksternal; kondisi lingkungan yang tak sehat secara sosial, masalah ekonomi, lemahnya pengawasan akan selalu dan sebagainya menjadi faktor penyebab lain.
Selain itu, secara kelembagaan sosial terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat Sumatera Barat (Minangkabau), yang menggeser kekuatan keluarga kaum (ektended family) menjadi keluarga inti (nuclear famiiy), sehingga pengawasan yang selama ini terjadi secara bersama, hilang digantikan oleh pengawasan yang terbatas hanya pada orang tua.
Hal ini juga bisa dibaca dengan masyarakat kita sudah masuk ke perilaku individualistik, karena banyak faktor lain yang mempengaruhinya.
Sebenarnya dalam situasi yang sudah rentan ini, diperlukan upaya mencari jalan keluar untuk mengantisipasi aktivita kejahatan terselubung ini.
Artinya pengendalian sosial preventif segera dilakukan. Pengendalian tersebut bisa berupa peningkatan fungsi proteksi anak oleh orang tua dalam keluarga dan juga di luar keluarga, memperkuat pengendalian rukun tetangga dan yang lebih penting juga orang tua harus memberi pengetahuan seputar potensi kejahatan seksual pada anaknya baik yang perempuan maupun laki-laki dan apa yang harus dilakukan ketika ada potensi itu menimpa dirinya.
Berarti belajar dari kasus yang lagi viral, tidak hanya anak perempuan berpotensi menjadi korban para predator justru anak laki-laki, ternyata juga rentan oleh predator/ fedofilia yang mengalamai penyakit seksual homosek.
Data Komnas Perlindungan Anak (2020), kasus kejahatan pemerkosaan/ pencabulan pada anak yang dilaporkan mengalami peningkatan secara signifikan dari 190 kasus tahun 2019, menjadi 419 kasus di tahun 2021.
Kenyataan empiris melalui data tersebut, seakan memberi lampu kuning (warning) untuk mewaspadai potensi kejahatan selanjutnya, yang terus menerus terjadi.
Dari sisi Represif, banyak kalangan menuntut perlunya pemberian hukum yang keras pada penjahat kelamin tersebut, sehingga menimbulkan efek jera dan pembelajaran bagi yang lainnya. Tetapi regulasi tentang estimasi atau harapan masyarakat tersebut belum juga disetujui menjadi sebuah landasan hukum yang diperkirakan bisa menekan angka kejahatan seksual pada anak tersebut.
Berpijak pada pemikiran Travis Hirschi (2005) seorang pakar dalam studi penyimpangan sosial, yang mengatakan bahwa perlunya pengendalian dalam (inner control), berupa penanaman nilai agama, moralitas, nurani manusia, rasa integritas, pengetahuan dan juga pengendalian luar (outner controll) berupa ikatan-ikatan sosial lain seperti keluarga, teman, tetangga dan kepolisian. Memberikan pengetahuan tentang kejahatan seksual atau kewaspadaan pada anak tentang kemungkinan-kemungkinan adanya peluang kejahatan tersebut, dan bagaimana menyelamatkan diri dalam situasi darurat.
Hal yang selama ini mungkin terlupakan atau terabaikan oleh orang tua, sehingga anak mudah percaya dan tergoda oleh iming-iming atau pemberian tertentu oleh predator.
Harapan berupa strategi antisipasi yang mesti kita pikul bersama, dalam mengantisipasi stadium kejahatan seksual pada anak ini, adalah meningatkan solidaritas sosial, kepedulian sosial atau berpartisipasi dengan caranya sendiri untuk meminimalisir kasus kejahatan ini, tentunya berkoordinasi dengan aparat penegak hukum, agar jangan merebak atau mencenderai filosofi Keminangkabauan kita Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) yang mewarnai sikap dan tindakan entitas masyarakat di daerah ini.
Penulis: Erianjoni – Pengamat Sosial UNP