Nestle Tolak Tutup Bisnis di Rusia, Ukraina Sebut Bos Nestle Tak Paham Kondisi

Nestle

Nestle

Klikpositif Supernova Honda (3000 x 1000 piksel)

KLIKPOSITIF – Perdana Menteri Ukraina mengatakan CEO Nestle gagal paham tentang kondisi ini. Pernyataan ini muncul setelah perusahaan Swiss itu menolak menutup bisnisnya di Rusia.

Perdana Menteri Denys Shmyhal dalam cuitannya di Twitter mengatakan bahwa dia berbicara dengan Bos Nestle Mark Schneider. Mereka membahas tentang operasi lanjutan Nestle di Rusia. Namun “Sayangnya, dia tidak menunjukkan pengertian,” tulis Shmyhal.

“Membayar pajak untuk negara teroris berarti membunuh anak-anak dan ibu yang tak berdaya,” cuit Shmyhal. Dan dia juga berharap Nestle akan segera berubah pikiran.

Rusia telah terkena sejumlah sanksi, yang bertujuan melumpuhkan ekonominya. Sanksi ini merupakan tanggapan atas invasinya ke Ukraina. Sejumlah besar perusahaan, banyak dari Barat, telah menangguhkan bisnis mereka di Rusia.

Dan tekanan terus meningkat kepada perusahaan-perusahaan lain untuk melakukan hal yang sama. Nestle menghentikan pengiriman barang-barang yang tidak penting seperti kopi dan air mineral ke Rusia. Tetapi mereka masih menyediakan kebutuhan pokok seperti makanan hewan peliharaan dan bayi.

“Kami menganggap percakapan dengan otoritas pemerintah bersifat pribadi. Kami akan terus melakukan yang terbaik untuk mengirimkan makanan ke Ukraina. Dan juga untuk para pengungsi Ukraina di banyak negara,” ujar juru bicara perusahaan itu.

Nestle di Rusia

Nestle memperoleh pendapatan $1,8 miliar atau sekitar Rp 25 triliun tahun lalu dari Rusia. Mereka memiliki enam pabrik dan lebih dari 7.000 karyawan. Semua itu menyumbang sekitar 2% dari total pendapatan perusahaan pada tahun 2021.

Pada 3 Maret, perusahaan itu melanjutkan beberapa operasi di Ukraina untuk mendukung pengiriman pasokan makanan dan minuman penting, setelah menutupnya ketika Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari.

Perusahaan yang tetap di Rusia, seperti produsen yogurt Danone, berpendapat bahwa mereka menyediakan produk yang dibutuhkan Rusia untuk bertahan hidup, Bloomberg melaporkan. Perusahaan juga menghadapi ancaman penyitaan aset jika mereka meninggalkan negara itu.

Exit mobile version