Nagari Mart Ancaman? Pakar Ekonomi Unand: Perlu Regulasi yang Jelas, dan Penguatan Ritel Lokal

Pemda mesti menyiapkan regulasi yang berpihak pada bisnis ritel lokal. Regulasi meliputi lokasi usaha, penataan persaingan, produk yang dipasarkan, dan kewajiban berpihak terhadap produk produk yang telah dihasilkan di Sumbar

Penolakan terhadap Nagari Mart

Penolakan terhadap Nagari Mart (Istimewa)

Klikpositif Supernova Honda (3000 x 1000 piksel)

PADANG, KLIKPOSITIF – Kepanikan bisnis ritel lokal menghadapi potensi masuknya bisnis ritel dari luar kembali terlihat pasca diresmikannya Nagari Mart beberapa waktu lalu.

Ketakutan bisnis ritel lokal ditunjukkan melalui aksi demonstrasi yang dilakukan Aliansi Pedagang Sumbar di Depan Kantor Gubernur, mereka menolak kehadiran Nagari Mart yang diduga berafiliasi dengan Alfamart (ritel besar berskala nasional).

Mendengar persoalan tersebut Pakar Ekonomi Sumbar Syafruddin Karimi menilai, fakta yang mesti menjadi kesadaran semua pihak adalah pelaku bisnis ritel di Sumbar masih sangat lemah. Ini tentunya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah untuk kekuatan mereka.

“Mengapa? Mereka adalah stakeholders utama kehidupan bisnis Sumbar. Pemprov Sumbar, Pemda kabupaten kota harus punya satu komitmen bahwa mereka mesti berdaya. Hal ini makin penting dan strategis ketika Gubernur Mahyeldi dan Wakil Gubernur Audy bertekad mencetak 100 ribu entreprenur baru hingga tahun 2024,” jelas Syafruddin Karimi saat dihubungi, Minggu (13/6).

Menurut Dosen Senior di Fakultas Ekonomi Unand ini, pelaku bisnis ritel yang lemah tersebut adalah bibit yang perlu disemai, dipupuk dan ditumbuhkan agar menjadi bisnis yang kuat. “Namun, itu semua itu belum terjadi. Mengapa belum terjadi? Kita selama ini belum membangun ekosistem untuk tumbuhnya bisnis ritel kita yang kuat dan mampu bersaing,” tuturnya.

Mayoritas bisnis ritel di Sumbar masih skala kecil dan belum memiliki kelembagaan yang kuat. Meskipun sudah ada yang kuat di tingkat lokal, namun belum memiliki jaringan nasional.

“Jangankan jaringan bisnis nasional mereka miliki, jaringan bisnis se-Sumbar saja belum mereka miliki,” ulasnya.

Produk produk yang dijual dan dipasarkan sebagian besar adalah produk dari pabrik-pabrik dari luar Sumbar. Para pengusaha mendapatkan dengan harga pokok yang tidak kompetitif dan mereka mendapatkan harga yang berbeda beda tergantung pada skala bisnisnya.

“Makin kecil skalanya makin tinggi harga pokok mereka. Sementara yang besar dan kuat mampu mendapatkan harga pokok lebih rendah,” ujarnya.

Sementara bisnis ritel dengan skala nasional dengan jaringan luas secara nasional, mereka mendapatkan barang barang dengan harga pokok jauh lebih rendah dibanding yang kuat-kuat di pasar lokal Sumbar.

“Dengan kondisi seperti itu, apakah kita merasa siap untuk membuka persaingan bisnis ritel lokal kita dengan bisnis ritel skala besar dengan jaringan luas pada tingkat nasional? Saya pikir Sumbar belum siap, kecuali sudah siap menunggu kematian bisnis ritel lokal kita yang menjadi sumber penghidupan banyak rakyat kita,” jelasnya lagi.

Meki begitu, pelaku bisnis lokal juga mesti membangun kesadaran bersama bahwa mereka harus berkolaborasi dan saling memperkuat untuk mempersiapkan diri menerima persaingan dari bisnis luar dengan jaringan nasional. Bisnis lokal Sumbar juga harus mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah daerah se-Sumbar.

“Bagaimana caranya? Pemda mesti menyiapkan regulasi yang berpihak pada bisnis ritel lokal. Regulasi meliputi lokasi usaha, penataan persaingan, produk yang dipasarkan, dan kewajiban berpihak terhadap produk produk yang telah dihasilkan di Sumbar,” ungkapnya.

Regulasi juga mesti memuat aturan yang tidak hanya memperkuat bisnis ritel, tetapi produsen lokal. Bila sebuah produk sudah mampu dihasilkan di Sumbar, para pebisnis ritel harus memiliki solidaritas dan moralitas untuk ikut memperkuatnya.

Regulasi demikian harus juga mengikat pelaku bisnis ritel yang masuk ke Sumbar. Mereka mesti punya komitmen untuk memasarkan produk produk Sumbar, dan punya komitmen tidak memasukkan produk dari luar bila Sumbar telah cukup menghasilkannya.

“Pertanyaannya, apakah regulasi seperti itu sudah ada? Saya kira masih belum meski sudah sejak 5 tahun lalu diingatkan ketika juga ramai-ramai bisnis ritel lokal menghadapi potensi masuknya bisnis ritel dari luar,” katanya.

Bila terjadi konflik bisnis seperti yang terjadi saat ini, perlu dilihat kembali regulasi yang dimiliki. Apa Sumbar sudah punya regulasi untuk menerima atau menolak masuknya sebuah bisnis ritel.

“Apa aturan yang kita sudah punya? Apa aturan itu adil dalam melindungi bisnis ritel lokal agar kompetif dan kuat? Semua pihak bertikai mesti mengadu ke regulator dengan membuka regulasi. Sementara regulator, apa itu gubernur, bupati atau wako mesti buka regulasi yang sudah mereka berlakukan buat bisnis-bisnis yang sudah didalam dan buat bisnis yang akan masuk. Kini saatnya menerima atau menolaknya bisnis dengan regulasi yang adil,” pungkasnya. (*)

Exit mobile version