Mentawai: Sepotong Surga di Kaki Senja

Di bulan ketiga itu, ombak Mentawai mulai dewasa

Ombak Mentawai (Ocky Anugrah Mahesa)

Klikpositif Supernova Honda (3000 x 1000 piksel)

“Kelly, bangun ini sudah pagi dan perjalanan masih jauh,” kata James di depan pintu kamar pria botak asal Florida, Amerika Serikat itu. Sembari mempersiapkan 3 papan selancar, ia menunggu Kelly keluar dari kamarnya di sebuah hotel di Kota Padang.

Pagi itu, Kelly dan James menjadi turis asing yang paling beruntung di ibukota Provinsi Sumatera Barat tersebut. Mereka berdua ingin berlayar ke Kabupaten Mentawai-kawasan terluar Pulau Sumatera.

Kenapa mereka menjadi orang yang beruntung? Karena cuaca Padang di bulan Maret cukup cerah dan pelayaran akan lebih sempurna dengan gelombang yang tenang.

Kelly adalah seorang perselancar air profesional. Sepanjang karirnya ia telah meraih banyak gelar kejuaraan, tercatat sejak tahun 1992 hingga 2011 ia telah mengumpulkan 11 gelar juara Liga Surfing Dunia.

“Dia adalah Kelly Slater, tidak banyak yang mengenalnya disini (Padang). Tapi di pinggiran pantai California sana, ia lebih terkenal dari Witney Houston,” kata James berkelakar.

Sedangkan James hanya seorang peselancar biasa, ia tidak punya gelar kejuaraan seperti Kelly. Tapi James tidak ingin dikenal sebagai pecundang, karena di California seorang perselancar air tidak akan menjadi lebih baik jika tidak pernah berselancar di Mentawai, Sumatera Barat.

“Kelly mengajak saya ke Mentawai. Kata dia, setiap orang akan sangat mencintai gelombang lautnya. Saya sudah riset bagaimana ombak Mentawai di internet, tapi saya perlu mencobanya,” cerita James.

Bulan Maret adalah pilihan mereka. Di bulan ketiga itu, ombak Mentawai mulai dewasa. Istilah dewasa disini adalah ketika ombak tumbuh besar dalam sebuah periode. Biasanya di Mentawai, periode ombak dewasa ini dimulai sejak bulan Maret dan berakhir di bulan November.

“Kau terlalu banyak berbicara, siapkan saja mentalmu, Mentawai tidak seperti yang kau bayangkan. Jangan percaya internet,” tukas Kelly yang tiba-tiba menghampiri penulis dan James di lobi Hotel yang berada di pinggiran jalan Hayam Wuruk tersebut sambil membawa 5 papan surfing. Tampak, 2 di antaranya berukuran panjang-besar.

Tiba-tiba wajah James memerah karena candaan Kelly. Wajar saja, sebab sebagai seorang perselancar profesional, ia sudah akrab dengan ombak Mentawai. Sedang James masih sangat asing dengan deburan air laut di pinggir pantai tanah Sikerei itu.

Saat sedang merapikan susunan papannya, penulis menghampiri Kelly dan bertanya soal ombak Mentawai.

“Bagi saya, Mentawai tidak hanya sekedar kawasan yang memiliki puluhan spot ombak. Tapi lebih dari itu, Mentawai adalah surga,” tuturnya. “Surga yang terpendam di tengah lautan, anginnya membawa damai, gelombangnya yang tidak menentu menyimpan banyak rahasia. Rahasia alam,” imbuh dia.

Usai menjawab pertanyaan penulis, Kelly dan James keluar dari hotel dan berangsur ke dermaga Batang Harau, Kecamatan Padang Selatan. Menggunakan sebuah mobil, keduanya merapat ke dermaga.

Disana, mereka akan berangkat ke Mentawai menggunakan sebuah kapal dengan merk lambung ‘D-Bora Surf Charter’. Dengan kapal itu, dua sekawan tersebut akan menempuh pelayaran belasan jam. Bisa jadi puluhan jam jika gelombang dan cuaca tidak bersahabat.

Begitu sampai di dermaga, empat orang pekerja kapal tampak mengambil 8 papan selancar milik James dan Kelly yang kemudian ditaruh di sebuah tempat penyimpanan.

Selain mereka berdua, di atas kapal sudah ada 8 perselancar lain yang menunggu kehadiran James dan Kelly. Tujuan mereka sama: Menaklukkan ombak Mentawai.

Kelly, James dan 8 perselancar lainnya hanya sebagian dari ratusan turis asing yang datang ke Mentawai setiap periode surfing tiap tahunnya. Di Kabupaten paling Barat Sumatera Barat tersebut, ratusan turis berdatangan kesana. Mereka berasal dari Australia, Amerika Serikat, Brazil, Portugal, Inggris, Spanyol, dan Jepang.

Perjalanan surfing para turis itu biasanya dilakukan dengan mengelilingi spot ombak yang tersebar di seluruh pulau besar dan kecil di Mentawai dan ada pula yang hanya menetap di resort yang ada di sekitaran lokasi ombak.

Saat memasuki periode surfing (Maret-November), satu trip perjalanan surfing menggunakan kapal surf charter dilakukan selama 10 hari. Dalam waktu itu, para perselancar akan mengelilingi semua titik ombak. Jika menemukan lokasi yang bagus, mereka akan memilih untuk berlama-lama disana.

Charlie, pengelola kapal D-Bora Surf Charter mengaku, selain menikmati ombak, para surfer itu kadang memilih menetap di pulau yang berdekatan dengan titik ombak yang bagus tersebut.

“Di pulau itu mereka beristirahat, memancing, bersantai menikmati alam Mentawai dan kadang ada pula yang bertualang ke perkampungan warga yang ada di sekitaran pulau,” jelas Charlie. “Namun jika cuaca buruk dan gelombang kecil, tamu kami biasanya lebih memilih beristiarahat di kapal dan nahkoda melanjutkan pelayaran,” tambah dia.

Di Mentawai, terdapat 32 titik ombak surfing yang tersebar dari Pulai Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Mengelilingi semua lokasi ombak adalah hal yang menyenangkan bagi perselancar, pasalnya mereka bisa menikmati ombak dengan berbagai macam bentuk dan ukuran.

Namun, tradisi berwisata ke Mentawai tidak melulu soal mengelilingi titik ombak. Bagi sebagian turis itu tentu melelahkan, dan biasanya turis yang berpikir demikian, mereka akan menetap di sebuah resort wisata.

Di Kabupaten kepulauan tersebut terdapat 23 resort-data 2017-yang tersebar di seluruh kawasan Mentawai. Resort-resort itu berada di dekat lokasi ombak, sehingga ketika turis ingin berselancar air, mereka cukup paddle (mengayuh papan) ke titik ombak.

Dua mode perjalanan wisata ke Mentawai tersebut memiliki sensasi yang berbeda di mata perselancar.

Kandui Villas misalnya. Resort yang berada di bibir pantai Pulau Karangmajat, Kecamatan Siberut Barat Daya tersebut diapit oleh belasan titik ombak, sehingga turis sangat nyaman berada disana.

“Disini, ada beberapa titik ombak yang terkenal dan kerap dimainkan oleh perselancar, diantaranya Kandui Left, Burger World, Ebay, Playground, 4Bobs, Bankvault, dan beberapa ombak lainnya,” kata pemilik Kandui Villas, Raihana Heuer.

Setiap ombak Mentawaipun memiliki ukuran dan tantangan yang beragam. Menurut Raihana, ombak yang paling diminati oleh perselancar pro adalah Kandui Left, karena selain kencang, ombak itu bisa sangat tinggi.

“Kandui Left paling tinggi bisa mencapai 20 meter-tergantung cuaca dan bulan. Ombak ini paling diminati karena perselancar bisa Getting Trough (sembunyi dalam lingkaran ombak). Bagi mereka, itu adalah hal yang menyenangkan,” papar perempuan yang akrab dipanggil Amak tersebut.

Senada dengan Amak, Kelly Slater yang merupakan perselancar profesional kelas dunia itu juga mengakuinya. Menurutnya, Mentawai memiliki ombak yang dinamis, yang bisa berubah-ubah setiap saat.

“Ketika anda bertanya kenapa saya menikmati surfing disini? Saya hanya jawab, ombak Mentawai selalu berubah, kadang tidak bisa ditebak. Bahkan ada satu spot yang pada waktu tertentu memiliki ombak yang bagus, kadang bisa hilang begitu saja di waktu yang lain,” ungkapnya.

Tapi, pesona Mentawai bagi pendatang asing itu tidak hanya sekedar ombak dan laut. Lebih kepada kebudayaan, banyak turis yang juga menyempatkan waktu berkunjung ke perkampungan warga asli Mentawai.

Di perkampungan warga para turis berinteraksi, menato tubuh dan bahkan ada pula yang sengaja masuk jauh ke hutan dan mengikuti berbagai macam aktifitas masyarakat seperti berburu dan meramu obat bersama Sikerei-dukun pribumi Mentawai.

“Bersatu dengan masyarakat seperti sudah menjadi bagian wajib jika turis ke Mentawai, karena disana mereka bisa menikmati kehidupan masyarakat pribumi yang masih bergantung dengan hasil alam,” tambah Raihana.

Bahkan, kata dia, pada suatu saat ada rombongan turis asal Amerika Serikat yang berwisata sambil memberikan bantuan pada masyarakat Pulau Siberut. Bantuan yang diberikan itu adalah penyaluran alat penyaring air payau jadi air bersih yang bisa diminum.

Raihana menyebutkan, alat penyaring air itu dibawa oleh turis tersebut. Mereka tergerak dan mengaku prihatin dengan kehidupan masyarakat Mentawai yang masih sulit mendapatkan fasilitas air bersih.

“Alat itu namanya Clean Water, turis yang kebetulan menjadi tamu saya waktu itu memberikannya cuma-cuma pada warga,” kenang ibu 2 anak itu. Menurut dia, kegiatan seperti itu selain bisa meningkatkan pariwisata Mentawai, juga menumbuhkan kehidupan sosial masyarakat.

“Dan masih banyak lagi kegiatan sosial masyarakat yang dilakukan oleh para turis dengan warga asli Mentawai. Itu sudah menjadi kebiasaan wajib setiap turis berkunjung kesini,” papar dia kemudian.

Lalu bagaimana dengan kontribusi ke Pemkab Mentawai dari kunjungan perselancar itu?

Satu trip perjalanan atau liburan di resort wisata Mentawai, setiap turis dikenakan biaya mulai 150 dolar AS hingga 450 dolar AS per orang per hari. Harga tersebut merupakan biaya yang sama jika turis melakukan pelayaran menggunakan kapal.

Jika dalam satu trip (10 hari) terdapat 10 orang turis, maka dengan harga 150 dolar AS saja pengelola kapal atau resort bisa mendapatkan pemasukan 1500 dolar AS per orang. Jika dikalikan dengan 10 orang turis, maka satu trip bisa mencapai 15.000 dolar AS.

Dihitung dengan kurs rupiah Rp13.000 per dolar, maka pemasukan para pengelola layanan wisata bisa mencapai Rp195 juta dalam waktu 10 hari. Tentu adalah nominal yang menggiurkan.

Di tahun 2016 lalu, Pemerintah Kabupaten Mentawai menerapkan biaya khusus untuk para perselancar yang datang kesana. Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kepulauan Mentawai Desti Seminora mengatakan pemungutan biaya tersebut sesuai dengan Perda nomor 8 tahun 2015 tentang retribusi tempat rekreasi dan olahraga.

“Tarifnya Rp1 juta per 15 hari untuk wisatawan peselancar baik dari mancanegara maupun nusantara,” katanya saat dihubungi penulis.

Menurutnya, perda tersebut penting untuk memastikan pemasukan PAD dari sektor wisata, serta menjamin peselancar mendapatkan spot tanpa harus berebut dengan para peselancar lainnya.

Desti mengatakan kawasan Kepulauan Mentawai memiliki 70 spot surfing, namun selama ini tidak tertata dengan baik. Bahkan, wisatawan peselancar cenderung berebut lokasi karena tidak adanya pengaturan dan pembatasan.

Dalam praktiknya wisatawan yang terlebih dahulu datang akan menguasai spot surfing, sehingga seringkali terjadi perebutan lokasi oleh kelompok-kelompok. “Ke depan, diatur sedemikian rupa, jadi tidak ada lagi rebutan lokasi,” ujar dia.

Perda tersebut mengatur bahwa wisawatan bisa memesan lokasi dengan tarif Rp1 juta untuk 15 hari dan bisa diperpanjang setelahnya. Untuk satu spot surfing bisa digunakan sampai 60 orang peselancar.

Langkah Pemkab Mentawai itu terbilang berhasil. Sebab dua setelah aturan tersebut diterapkan, pemerintah telah meraup pendapatan sebesar Rp1,1 miliar. Kemudian di akhir tahun 2017 lalu, Bupati Kepulauan Mentawai, Yudas Sibaggalet menyatakan pendapatan asli daerah (PAD) yang diterima dari bidang pariwisata pada 2017 mencapai Rp7,3 miliar.

Pendapatan ini belum termasuk Pajak Bumi Bangunan yang datang dari resort yang ada di Mentawai yang diperkirakan sebesar Rp4 miliar.

Menurut dia jumlah pendapatan yang datang dari Pajak Bumi Bangunan resort mentawai pada 2017 sekitar Rp4 miliar. Meskipun terdapat 23 resort, tetapi hanya ada 10 yang memiliki skala besar.

Sebagian besar resort tersebut dikelola orang warga negara asing melalui penanaman modal asing (PMA). Mereka menyewa lahan masyarakat dan mendirikan resort di beberapa wilayah. Selain itu, ada juga resort yang dikelola oleh masyarakat setempat.

Pemkab Mentawai sendiri mencatat ada sekitar 10.500 warga negara asing yang mengunjungi Mentawai pada 2017, lebih dari 50 persen berasal dari Australia, Amerika Serikat, Brazil, Jepang dan Spanyol. “Semua pendapatan tersebut berasal dari pungutan ke perselancar,” ujar Yudas.

Surfing: Tamu Ramai, Saku Warga Berisi

Raihana dan Charlie adalah salah dua pengusaha dan pengelola layanan berwisata ke Mentawai. Di tanah itu mereka mendapatkan penghidupan yang layak. Namun bagaimana kontribusinya pada masyarakat setempat?

Raihana, mengatakan, dari keseluruhan pekerjanya di resort miliknya, 93 persen diantaranya merupakan warga pribumi. Mereka bekerja di berbagai bidang, mulai dari mekanik, bartender, surf guide, nahkoda kapal, room boy, fotografer hingga terapist.

Ia menjelaskan, setiap warga pribumi yang bekerja di Kandui Villas dibayar per bulan dengan nominal mulai dari Rp2 juta hingga Rp12 juta-tergantung jenis pekerjaan.

Alasan Amak melibatkan warga lokal Mentawai adalah untuk efisiensi, “Misal nahkoda kapal, warga lokal ini lebih mahir mengemudikan kapal ketimbang nahkoda yang disekolahkan, karena pribumi ini lebih paham dengan medan yang dilalui dan tangkas jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti badai. Sebab mereka lebih paham alam,” ungkap dia.

Para nahkoda yang dipekerjakan oleh Amak dulunya adalah nelayan yang kerap mengelilingi pulau-pulau kecil di Kecamatan Siberut Barat Daya.

“Jadi selain efisien, kehadiran kami juga bisa membantu ekonomi warga pribumi. Semua pengusaha resort disini memperkerjakan pribumi,” tukasnya.

Hal itu diakui oleh Margi, seorang Surf Guide yang bekerja di sebuah kapal wisata surfing. Menurut Margi, bekerja sebagai pemandu wisata surfing telah mengubah hidupnya. “Saya sejak kecil akrab dengan laut karena ayah sering membawa saya mencari ikan. Sekarang saya bekerja di bidang yang tidak jauh dari laut, tapi dengan metode yang berbeda,” paparnya.

Bekerja sebagai Surf Guide di kapal wisata surfing mampu membantu Margi menghidupi istri dan seorang anaknya. “Setiap kali trip pelayaran saya digaji mulai Rp4 juta hingga Rp10 juta. Alhamdulillah hasilnya bisa menghidupi keluarga,” ujar pria asal Siberut tersebut.

Yudas juga mengakui hal yang sama, ia mengungkapkan, sekitar 90 persen pekerja resort wisata di Mentawai merupakan pribumi. Hanya saja, warga tersebut belum bisa langsung masuk ke manajemen atau kelas pekerjaan yang lebih tinggi lantaran faktor pendidikan.

“Sekitar 90 persen pekerja di resort adalah orang Mentawai. Namun untuk level manejer belum ada karena keterbatasan sumber daya manusia,” tutur dia.

Hanya saja, secara perlahan keberadaan ombak yang besar dan alam yang masih asri telah membawa Mentawai ke arah yang lebih baik. Sebagai pemimpin, Yudas mengakui sektor pariwisata telah merubah banyak hal di kepulauan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia tersebut.

Setiap deburan ombak menjadi makna tersendiri bagi Mentawai. Negeri yang dulunya hanya dihidupi oleh nelayan tradisional kini telah dikenal dunia dengan potensi ombaknya yang menurut majalah Surf Magazine tahun 2014, beberapa diantaranya adalah yang terbaik di dunia.

Melihat Mentawai dari kejauhan mungkin hanya gugusan pulau-pulau kecil. Tapi jika meminjam pernyataan Kelly Slater, Mentawai adalah sepotong surga di bagian Barat Sumatera.(*)

Exit mobile version