Menilik Sejarah Purba di Geopark Silokek Sijunjung

Klikpositif Supernova Honda (3000 x 1000 piksel)

KLIKPOSITIF – Morfologi batuan purba di Silokek dapat disaksikan berupa tebing karst kemiringan landai dan bergelombang pada ketinggian 200-400 mdpl. Sedangkan, daerah dengan ketinggian 500-600 mdpl adalah puncak dari kawasan bukit karst. Menurut peneliti dari Balai Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumbar Desi Widia Kusuma, punggungan atau bukit-bukit memanjang (elipsoid), ukurannya rata-rata 400-600 meter dan lebar 100-150 meter.

Tepat di bawah perbukitan dan tebing karst itu mengalir Batang Kuantan, sungai sepanjang 38 km yang hulunya merupakan pertemuan tiga anak sungai, Batang Ombilin, Batang Sukam, dan Batang Palangki.

Saat musim hujan, debit air Batang Kuantan sangat deras dan masuk dalam level tiga serta cocok untuk olahraga arung jeram karena memiliki sejumlah jeram yang menantang. Karena itu, pada 10-14 November 2019, Presiden Federasi Arung Jeram Internasional (IRF) Joseph Willis Jones menunjuk sungai ini sebagai lokasi Kejuaraan Dunia Arung Jeram bertajuk Silokek Geofest Rafting World Cup 2019.

Saat itu, sebanyak 45 tim dari Indonesia, Malaysia, dan Ceko serta 10 provinsi di tanah air turut berkompetisi. Indonesia terpilih untuk menggantikan Georgia.

Kekayaan geologi tadi turut disumbang oleh kehadiran sejumlah gua atau ngalaudalam bahasa setempat seperti Ngalau Inyiak Umpuh, Talago, Cigak, Loguong, Sipungguak, dan Gunung Tombuok.

Terdapat pula beberapa air terjun, misalnya Air Terjun Lubuak Pandakian dan Palukahan. Sumber air panas dan menjadi pemandian alami terdapat di Nagari Aie Angek. Beberapa titik tepian Batang Kuantan menghadirkan fenomena unik yaitu berpasir putih bersih.

Keragaman budaya makin melengkapi Geopark Silokek karena sarat akan peninggalan sejarah masal lampau. Seperti adanya bangkai lokomotif uap tua yang masih terawat di Nagari Durian Gadang. Lokomotif ini saksi bisu dari program kerja paksa (romusha) penjajah Jepang untuk membangun jalur kereta api pengangkut batu bara dari Silokek ke Logas, Pekanbaru.

Lebih dari 100 ribu orang, mayoritas didatangkan dari tanah Jawa, dipaksa bekerja untuk merampungkan jalur yang dikenal sebagai Rel Kematian. Ini karena ada ribuan pekerja tewas akibat kelaparan ketika ikut romusha pada September 1943-1945 itu.

Masih di Durian Gadang, ada makam de Grave. Insinyur tambang itu wafat pada 22 Oktober 1872 setelah perahu yang dinaikinya terbalik terseret derasnya arus Batang Kuantan ketika melanjutkan penelitian batu bara Ombilin. Tokoh lain yang makamnya jadi bagian dari kawasan geopark adalah Syekh Ibrahim dan Raja Ibadat. Mengutip penjelasan website Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumbar, Syekh Ibrahim diketahui dimakamkan di Sumpur Kudus.

Ia menjadikan kecamatan itu di masa lampau sebagai awal mula penyebaran agama Islam pertama di Ranah Minang pada abad 13. Syekh Ibrahim murid dari Sunan Kudus, salah satu dari Walisongo. Seperti juga Syekh Ibrahim, makam Raja atau Rajo Ibadat terletak di Sumpur Kudus. Rajo Ibadat adalah bagian dari Rajo Tigo Selo, yakni triumvirat masa Kerajaan Pagaruyung. Ia menjadi saksi penyebaran Islam oleh Syekh Ibrahim.

Sumpur Kudus juga menjadi saksi penting dari upaya para pendiri bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan saat terjadinya Agresi Militer Belanda II.

Perdana Menteri Sjafruddin Prawiranegara tercatat pernah memimpin Pemerintah Darurat RI dari Sumpur Kudus selama tiga pekan, akhir April-pertengahan Mei 1949 setelah sempat keluar dari Bukittinggi untuk menghindari pasukan Belanda.

Semoga masyarakat setempat bersama perangkat daerah dapat menjaga kelestarian aset nasional di sektor pariwisata berkelanjutan ini, sehingga tetap dapat dinikmati sampai kapan pun.

Exit mobile version