KLIKPOSITIF – Berbicara tentang sosok inspiratif, pasti di dalam ingatan kita akan muncul beberapa nama yang selama ini dikenal sebagai seorang yang mampu menginspirasi dan memberikan nilai yang positif pada hidup kita. Di Universitas Bung Hatta (UBH), ada seorang sosok yang layak dijadikan sebagai wanita inspratif terutama bagi kaum milenial yaitu Prof. DR. Dra. Diana Kartika.
Bagaimana tidak, ia mampu cemerlang dalam banyak peran yang dijalaninya dengan menjadi seorang Istri, Ibu, Pengusaha, Dosen dan Wakil Rektor III di kampus kenamaan Sumbar, Universitas Bung Hatta (UBH). Bahkan, ia menjadi salah seorang dari tiga guru besar yang dikukuhkan UBH pada 2019 setelah 11 tahun kampus itu belum mampu menelurkan guru besar. Ia menjadi Guru Besar Bahasa Jepang pertama di Sumatera dan hal itu dicapainya tidak dengan cara yang mudah, karena ada perjuangan panjang yang dilaluinya tanpa ingin menyerah dalam mencapainya.
“Menjadi perempuan yang mandiri, tidak manja dan tidak bergantung pada orang lain” menjadi prinsip hidup yang telah diajarkan kedua orang tua wanita yang akrab disapa “Mami” ini oleh kalangan mahasiswanya. Ia merupakan putri bungsu 5 orang bersaudara dari pasangan Alm. Drs. Mansyurdin Arma lahir yang di Padang Panjang, 25 Oktober 1931 dan Hilma Durin lahir pada tanggal 22 Oktober 1931, tutup usia 1 September 2018.
Jika biasanya kamu mendengar seorang anak bungsu adalah anak yang manja dan sulit diatur, namun berbeda dengan Diana. Meski pekerjaan orang tuanya yang dulunya pejabat pemerintahan, tidak menjadikannya sebagai sosok yang manja dan sulit diatur. Didikan orang tuanya yang sangat berperan penting dalam membentuk kepribadian Diana sebagai seorang yang sopan, supel dan tidak pantang menyerah dalam mengejar tujuan hidupnya. Bahkan pelajaran tata krama yang menurut orang lain sepele seperti cara melayani tamu juga tidak luput dari pengajaran orang tuanya untuk Diana dan saudara-saudaranya.
Sosok seorang guru besar bagi sebagian orang mungkin adalah seorang dengan penampilan kuno yang menggunakan kacamata, baju yang paduan warnanya tidak sesuai dan selalu membawa buku kemana-mana. Namun berbeda dengan Diana. Ia adalah orang yang sedari kecil tertarik pada dunia fashion dan ingin menjadi ahli kecantikan. Meski tidak menjadi ahli kecantikan sesuai dengan mimpinya itu, namun ketertarikannya pada fasion diwujudkan melalui tampilannya sebagai seorang yang inspiratif, cantik dan menjaga penampilan dalam kondisi apapun. Hal itu terbukti dari banyak mahasiswanya yang memanggilnya dengan sosok “Angelina Jolie-nya” UBH.
Ia memang memiliki beberapa sebutan yang unik seperti “Mami”, “Angelina Jolie”, “Bunda” dan “Amak”. Ia juga memiliki nama khusus untuknya di kalangan teman dan keluarganya yakni “Dina Arma”. Namun ia tak mempermasalahkan sebutan yang diberikannya asalkan hal itu bermakna positif dan dapat menginspirasi orang lain.
Diana menempuh pendidikan SD, SMP dan SMA di Palembang dan selama melewati pendidikan sebagai pelajar, ia tak jarang selalu dipercaya menjadi seorang Ketua Kelas dan pada SMA ia juga aktif dalam organisasi sekolah yakni OSIS sebagai seorang bendahara. Masa-masa sekolah dilewatinya dengan bahagia bersama teman-temannya. Bahkan ia memiliki genk pertemanan bernama “Seven Little” saat masih di bangku SMP dan Five Girls & Two Boys saat masa SMA. Hingga kini jalinan pertemanan mereka masih tetap terjaga dan tak lekang oleh waktu meskipun masing-masing dari temannya telah memiliki keluarga dan kesibukan masing-masing. Malah saat ini mereka semakin akrab dan menamakan diri mereka “Cek Nawa”.
Diana melanjutkan pendidikan perguruan tingginya di kampus yang bergengsi di Indonesia, yakni Universitas Indonesia (UI) dengan mengambil jurusan Sastra Asia Timur atau saat ini disebut sebagai Sastra Jepang pada 1987. Pada saat itu, keluarganya yang sebelumnya berdomisili di Palembang ikut pindah ke Depok karena kakak Diana saat itu juga tengah berkuliah di Universitas Jayabaya.
Kehidupan kuliah dijalani Diana dengan tekun meski tak tahu tujuan akhir dari pendidikannya itu. Ia bahkan tak menduga bahwa ia mampu menjadi seorang “sensei” (sebutan kepada guru dalam bahasa Jepang) yang menginspirasi banyak mahasiswanya. Menariknya, pada masa itu Diana sempat bermimpi suatu ketika dapat bersanding dengan seorang pria Jepang bermata sipit meski hal itu tak terwujud karena Tuhan telah menyediakan jodoh yang terbaik untuknya.
Di usia matang dan masih cukup muda, pada 1989, Prof. Dr. Diana Kartika yang masih berumur 22 tahun menikah dengan Ir. Weno Aulia Durin, Putra Pertama dari pasangan Alm. Drs. Hasan Basri Durin dan Zuraida. Meski pasangannya merupakan seorang yang telah disiapkan dan dijodohkan orang tuanya untuk menjadi suami Diana, ia tak mempermasalahkan hal itu karena baginya rasa cinta dan hormatnya pada orang tua lebih penting dibanding hal apapun. Dari pernikahan tersebut, Weno dan Diana memiliki Anak 2 orang anak yaitu M. Fadhlan RifkiB.Bus, MA dan Raisa Hulia Putri, B. Des. Ia juga telah memiliki 1 orang Menantu yaitu Marsha Caesarena Rianko Putri, S.Psi, M.Sc.
Pada 1991, Diana dan keluarganya pindah ke Padang dan tinggal di rumah Dinas mertuanya yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Sumbar, Hasan Basri Durin. Menjadi seorang menantu dari orang yang besar dan terpandang tak menjadikan Diana senantiasa ingin duduk dan bersantai di rumah saja. Selain itu, pribadinya sebagai seorang yang aktif, tidak bisa diam dan selalu ingin bekerja membuatnya “nekat” mengunjungi kampus UBH untuk mencari kesibukan pada 1992.
Alasan Diana memilih UBH yakni karena pada saat itu hanya kampus itu yang merupakan kampus swasta dengan memiliki jurusan Sastra Jepang dan sesuai dengan latar belakang pendidikannya usai menyelesaikan kuliah S1-nya di UI.
Meskipun UBH adalah kampus yang didirikan oleh mertuanya sendiri, namun Diana tak ingin orang tahu bahwa ia merupakan menantu dari pendiri kampus tersebut. Dengan tekad besar yang dibawanya untuk dapat menjadi seorang tenaga pendidik bagi generasi penerus, ia datang seorang diri ke kampus itu tanpa membawa embel-embel nama besar keluarga dan mertuanya. Saat dilakukan wawancara dalam proses rekruitmennya pun sebagai seorang dosen, Diana mengungkapkan bahwa ia hanyalah seorang pengusaha yang baru pindah ke Padang dan ingin menjadi salah seorang tenaga pengajar di kampus Proklamator tersebut.
Awal karirnya, Diana menjadi Dosen PNS-DPK di Program Studi Sastra Jepang Universitas Bung Hatta. Pada tahun 1997 Diana Kartika mengambil keputusan untuk melanjutkan kuliah S2 dan S3 pada jurusan Pendidikan Bahasa di Universitas Negeri Jakarta. Bahkan berkat kerja keras dan usahanya, ia dapat mengikuti program transfer akademik (tanpa tesis dan wisuda S2 dan langsung lanjut ke S3) dan berhak menyandang gelar Doktor Tahun 2009.
Pada tahun 2013-2016, Diana menduduki jabatan struktural sebagai ketua program studi Sastra Jepang di Fakultas Ilmu Budaya. Pada 2016 — 2020, Diana dipercaya untuk memegang jabatan sebagai Wakil Rektor Bidang III yaitu bidang kemahasiswaan, kerjasama, dan alumni. Selama memegang jabatan itu, Diana tetap berusaha membagikan ilmu dan pengetahuan yang ia miliki kepada para mahasiswanya dan tak jarang diminta menjadi seorang pembicara dalam Pelatihan Karakter dan Soft Skills Bagi Mahasiswa.
Selain itu, salah satu prestasi yang ditoreh Diana untuk UBH selama menjabat sebagai Wakil Rektor III juga cukup membanggakan, yaitu pada 2019 Bidang Kemahasiswaan Universitas Bung Hatta meraih peringkat ke-101 perguruan tinggi di Indonesia. Hal itu merupakan hasil pemeringkatan Sistem Informasi Manajemen Pemeringkatan Kemahasiswaan (SIMKATMAWA) oleh Kemenristekdikti.
Di sisi lain, pada 2017, Diana Kartika dipercaya oleh Kepala Kopertis Wilayah X yang sekarang menjadi LLDikti Wilayah X menjadi Chief Editor Jurnal Kata (Jurnal Penelitian Ilmu Bahasa, Sastra dan Seni). Ia juga merupakan Ketua Asosiasi Studi Jepang Indonesia dari 2011 — Sekarang. Diana juga diamanahkan sebagai Ketua Forkomawa LLDikti Wilayah X tahun 2019 — 2022. Dan di tengah banyak kepercayaan yang diberikan padanya, Diana ternyata juga aktif menjadi anggota Masyarakat Linguistik Indonesia dari tahun 2003-Sekarang.
Diana Kartika menerima SK Fungsional Lektor Kepala pada Tahun 2014 dan SK Kepangkatan Pembina (IVa) yaitu tahun 2016. Awal Tahun 2017 Dr. Diana Kartika mulai memikirkan bagaimana caranya mendapatkan gelar Seorang Profesor yang merupakan Jabatan akademik tertinggi dari seorang Dosen. Karena saat itu ia berfikir “Di saat jabatan Wakil Rektor III di Universitas Bung Hatta berakhir tahun 2020, ia harus mendapatkan gelar Profesor”.
Oleh karena itu, sejak 2017, ia mulai mempersiapkan diri untuk mengikuti Konferensi Nasional dan International. Selama melewati proses itu, Diana Kartika rajin menulis artikel ilmiah dan dimanapun ada konferensi beliau selalu mengikutinya. Hal itu dijalaninya di tengah kesibukan dan aktifitasnya sebagai seorang Wakil Rektor III di UBH yang tentunya sangat sibuk dengan kegiatan kampus. Namun berkat kemauan keras Diana dalam mewujudkan target dan tujuannya, Diana berupaya memanajemen waktu dengan baik. Sehingga tugasnya menjadi seorang dosen dan pimpinan, istri dan Ibu harus terlaksana dengan baik.
Karena semangat tinggi yang dimilikinya, pada 2017, Diana sampai 4 kali mengikuti konferensi Nasional maupun International dalam 1 Semester. Konferensi Internional yang terjauh yang pernah diikuti oleh Diana Kartika yaitu “4Th International Conference on Multidisciplinary Research In Development of Social Science Research (MRDS)” di Osaka, Jepang. Tercatat ada 12 kali Konferensi Nasional maupun International, 3 artikel terindeks Scopus, 3 artikel International, 2 Artikel Nasional terakreditas dan 2 Artikel Nasional, 5 Prosiding International, 3 Prosiding Nasional, 5 Buku ajar dan 1 Buku referensi. Kemudian pada 2018, Diana Kartika Mendapatkan penghargaan Hak Kekayaan Intelektual Terbanyak dalam Rangka Dies Natalis Ke — 37 Tahun Universitas Bung Hatta yaitu ada 7 HKI yang dimiliki Dr. Diana Kartika.
Waktu berlalu dari tahun 2017 — pertengahan 2019, tepatnya 2,5 tahun beliau mempersiapkan Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat). Pada Juli dan Agustus tahun itu, Diana mulai menyusun Perhitungan angka kredit (PAK) untuk pengusulan Guru Besarnya. Tanggal 18 September 2019 beliau diusulkan oleh LLDIKTI Wilayah X dari Lektor Kepala kum 437,50 ke jabatan guru besar dan 26 November 2019 pengusulan ditolak oleh Kemenristekdikti dengan alasan adanya permintaan klarifikasi untuk pengajuan Guru Besarnya.
Saat ditolak tersebut Diana Kartika mulai pesimis dan perasaan sudah berfikir tidak mungkin jabatan Guru Besar tersebut dapat diraihnya. Namun beliau selalu dimotivasi oleh sahabat-sahabatnya agar tetap opitimis bahwa masih ada waktu untuk melakukan klarifikasi dengan anggota senat Universitas. Pada tanggal 11 Desember 2019 LLDikti kembali mengusulkan dengan klarifikasi yang diminta ke Kemenristekdikti untuk dilanjutnya prosesnya.
Usaha dan perjuangan memang tiada menghianati setiap proses yang dilewati, terhitung mulai tanggal 1 Desember 2019 Prof. Dr. Dra. Diana Kartika berhak menjadi Profesor/Guru Besar dalam Bidang Pendidikan Bahasa Jepang dengan angka kredit sebesar 915, 70 dengan Nomor SK: 1727/A3/KP/2020 tentang kenaikan jabatan akademik/fungsional dosen Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
“Mengabdi adalah langkah awal saya untuk mencerdaskan genarasi muda. Saya juga ingin mahasiswa merasakan bisa singgah keberbagai negara dengan ilmu pengetahuan dan kerja keras dan kesempatan,” begitu tutur Diana. Kalimat itu selalu menjadi pegangan baginya agar tetap semangat dalam mencerdaskan generasi penerus bangsa.(Adv)