Mengenal Buya Sasak, Ulama Masyhur di Pasaman Barat

Buya ini diberi gelar dengan nama Buya Sasak karena sangat tidak sabaran untuk memperoleh ilmu-ilmu baru

Gapura Tuanku Sasak/Buya Sasak di Pasbar

Gapura Tuanku Sasak/Buya Sasak di Pasbar (KLIKPOSITIF/Irfan Pasaribu)

Hayati Motor Padang

PASAMAN BARAT, KLIKPOSITIF — Syech Haji Muhammad Yunus atau akrab disapa dengan Tuanku Sasak atau Buya Sasak dulunya merupakan salah seorang ulama masyhur di Kabupaten Pasaman Barat-Sumatera Barat.

Informasi yang dirangkum dari berbagai sumber, beliau lahir di Lubuk Batang, Nagari Kapa, Kecamatan Luhak Nan Duo, Kabupaten Pasaman Barat pada 18 September 1879 dari pasangan Abdul Latif Pakiah Tujang suku Jambak dan Lukiah Suku Tanjung Kaum Rangkayo Mudo.

Pribadi ulama ini menarik dan unik, ditemukan berbagai keahlian pada beliau, bukan saja sebagai ulama dalam ilmunya, tetapi juga sekaligus pendidik, mubaligh, pengarang, organisator dan ahli pencak silat.

Semua keahlian itu dipersembahkan untuk merebut dan mempertahankan serta mengisi kemerdekaan Republik Indonesia pada saat itu. Buya sasak dengan tekun membina semangat juang dan kesejahteraan masyarakat terutama dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial.

Ratusan murid menuntut ilmu agama kepada ulama Masyhur Putra Nagari Kapa itu, bukan saja dari daerah Sumatera Barat, tetapi banyak pula yang datang dari luar Sumatera Barat seperti dari Aceh, Medan dan Jambi. Ini menandakan beliau sangat terkenal hingga ke daerah luar.

Sebuah Madrasah Tarbiyah Islam yang pernah didirikan pada tahun 1919 oleh nya di Lubuak Kapa Anjalai, menandakan beliau seorang ulama pendidik. Dia membentuk lembaga pendidikan dalam bentuk Halaqah di Surau (mushalla) dan dalam bentuk Madrasah.

Selain belajar ilmu dasar agama Islam kepada orang tuanya, dia memperdalam ilmu agamanya pertama kali kepada Buya Tuanku Ismail selama dua tahun ke Pisang Hutan di Nagari Sasak. Tidak cukup sampai di situ, ulama tersebut pada tahun 1890 melanjutkan belajar agama kepada Sutan Yatim yang bergelar Tuanku Ampalu Tinggi di Pariaman.

Buya tersebut diberi gelar dengan nama Buya Sasak karena sangat tidak sabaran untuk memperoleh ilmu-ilmu baru dan mendesak gurunya untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama baru lainnya. Karena itu lah dia diberikan gelar oleh gurunya, Buya Sasak (suka mendesak).

Disamping itu, keahlian beliau sangat pintar dalam berbicara dan berdebat, bahkan kabarnya beliau tidak pernah kalah dalam berdebat. Beliau sangat kuat dalam pendiriannya dan teguh dalam mempertahankan pendapatnya.

Buya Sasak juga pernah bersama dengan Syech Haji Abbas AlQadhi Ladang Lawas dan Syech H Muhammad Jamil Jao mendirikan organisasi Ittihadatul Ulama Minangkabau pada tahun 1921-1928. Organisasi ini merupakan tempat berkumpulnya Ulama-Ulama Sunniyah dan Syafi-iyah yang mengkaji dan mengeluarkan fatwa-fatwa tentang ajaran agama islam.

Namun pada tahun 1927 Buya Sasak pergi menunaikan ibadah haji. Selain menunaikan ibadah haji, beliau sempat menetap selama enam bulan ditanah suci untuk menambah dan mempelajari ilmu fiqih, balaqah dan ilmu mantiq.

Setelah pulang dari tanah suci, beliau kembali melanjutkan belajar ilmu agama dengan cara memasuki suluk (suluak atau chalawat) atas saran ulama besar minangkabau yakni Buya Syech Muda Wali ke batu basurek payakumbuh selama 40 hari. Disana beliau belajar kepada Haji Abdul Gani El Chalidi dengan tarikat Nachsabandiyah.

Setelah itu Ulama Masyhur itu kembali kekampung halamannya di Pasaman Barat di lubuak anjalai Kapa Nagari Kapa, untuk membuka dan mengajarkan ilmu tarikat dan suluk kepada jemaah jemaah nya.

Pada tahun 1940 beliau kedatangan tamu istimewa yaitu empat orang ulama besar Sumatera Barat diantaranya, Syech Haji Sulaiman Arrasuli, Syech Muda Wali, Buya Haji Mkasum dan Buya K.H Sirajuddino Habas.

Setelah melihat perkembangan tempat pendidikan agama yang didirikan Buya Sasak, keempat ulama besar tersebut meresmikan pondok pesantren tersebut menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiah yang dipimpin langsung oleh Buya Sasak.

Sejumlah murid yang pernah tamat di madrasah tersebut diantaranya, Haji Bustami dari Sijunjung, Haji Adam Tuanku Kabun Pariaman, Haji Musa Tuanku Mustafa dari Solok, Muhammad Nur Tuanku Efendi Cubadak, Buya Haji Abdullah Tuanku Alin Tagak, Buya Ismail Tuanku Marajo Kinali, Buya Darwis Tuanku Majolelo Talu, M.Dalil dari Sukamenanti, M.Idris dari Sukamenanti, B.Tuanku Iman Jambak Simpang Empat dan Muchtar Zaini gelar anggut dari Labuhan Agam.

Buya sasak pun sangat dekat dengan sejumlah ulama besar Pasaman diantaranya, Syech M.Inyiak Said Bonjo, Syech Abdul Majid Buya Lubuak Landua, Syech Haji Abdul Rahman di Durian Tibarau, Buya Syech M.Zein Kumpulan dan Buya Haji Jana Lubis Cubadak.

Ulama-ulama itu adalah teman satu perguruan dengan Buya Sasak dan sejalan dalan belajar ilmu-ilmu agama islam di Sumatera Barat ini. Buya Sasak wafat pada 28 Oktober 1975 dengan tutup usia 96 tahun. Dia meninggal dunia karena penyakit tua.

Mendengar wafat nya Buya Sasak menggemparkan masyarakat karena ditinggalkan oleh ulama besar Pasaman tersebut. Sejumlah petinggi Sumatera Barat menghadiri prosesi pemakaman beliau seperti Gubernur dan jajarannya, Bupati dan petinggi Muspida lainnya.

Peninggalan Buya Sasak yang tersisa sampai sekarang berupa, Surau Anjuang, Surau Batu dan Surau Gadang. Ilmu ajaran agama yang ditinggalkan berupa Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqih, Ilmu Balaqah, Ilmu Mantiq dan Ilmu Hadist. Sampai sekarang ilmu-ilmu tersebut awet di Pasaman dan tetap diteruskan oleh para penerus jemaah dari Buya Sasak.

Selain itu, dilihat ketika selama bulan suci ramadan sejumlah masyarakat dari berbagai daerah melakukan ziarah dan suluk selama 40 hari lamanya, di Surau Buya Sasak yang didirikan pada 20 April 1934 yang terletak disamping makam Buya tersebut.

[Dari berbagai sumber/Irfan Pasaribu] 

 

Exit mobile version