‘Mengayuh’ Jamu di Tengah Serbuan Obat-obatan Kimia

Hayati Motor Padang

PADANG, KLIKPOSITIF – Menjadi pedagang jamu keliling di usia yang tak lagi muda bukanlah hal yang mudah. Berbagai godaan obat-obat kimia yang terus beredar di masyarakat membuat minuman tradisional ini mulai bergeser keberadaannya.

Adalah Sartiwi yang masih gigih berjualan jamu dengan berkeliling Kota Padang dengan sepedanya untuk memberikan jamu terbaiknya kepada pelanggan.

Sartiwi salah seorang penjual jamu yang telah puluhan tahun menggeluti usaha ini dengan berkeliling di sudut-sudut Kota Padang. Perempuan kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah ini memulai usahanya sejak tahun 1988.

Sebelum memberanikan membuka sendiri, dua tahun sebelumnya (1986) ia bekerja dan belajar dari orang lain bagaimana cara membuat jamu yang enak dan bisa dinikmati semua pihak.

“Tahun 1986 merantau ke Padang dari Wonogiri Jawa Tengah (kampung halaman). Datang ke Padang ikut sama majikan yang jualan jamu. Setelah bekerja selama dua tahun, saya memberanikan diri membuka usaha ini. Keberanian ini juga di dukung oleh majikan yang menyarankan saya buka usaha jamu sendiri,” kata Sartiwi yang akrab di panggil Mbak Tini oleh pelanggan-pelangganya.

Saat membuka usaha di tahun 1988 itu, Tini sudah memiliki ilmu yang baik soal jamu; mulai dari pemilihan bahan mentah, mengolah, mengemas dan menjual kepada pelanggan. “Sampai saat ini, majikan saya juga masih jualan jamu, sama dengan saya,” jelasnya.

Modal 80 Ribu Rupiah

80 ribu rupiah jadi modal awal Tini membuka dan merintis usahanya di tahun 1988. Uang yang bernilai cukup banyak kala itu sudah bisa mencukupi semua kebutuhan usaha jamunya, mulai dari bahan sampai peralatan. Awal berdagang, Tini menargetkan pembelinya pekerja di pabrik-pabrik yang ada di kawasan By Pass Kota Padang. Mereka adalah pekerja di pabrik getah, pabrik seng, dll,” kenangnya.

Selain ke kawasan industri, Tini juga menjajal perumahan-perumahan yang ada di kawasan Mata Air, Banuaran, Pasar Gaung, hingga ke kawasan Teluk Bayur. Selain ke beberapa tempat tadi, Tini juga berjualan di kawasan Pondok hingga ke Batang Arau Kota Padang hingga tahun 1998.

Tahun 2001 setelah krisis ekonomi, Tini dan keluarga membulatkan tekad tinggal di daerah ini sebagai penjual jamu. Saat ini, Jamu yang di produksi dan dijual oleh Tini ada tujuh macam jenis jamu, diantaranya jahe, kunyit asam, beras kencur, dll. “Terkadang orang memintanya di campur dengan obat-obatan,” jelas Ibu yang sudah memiliki dua anak perempuan ini.

Untuk produksi jamu, Tini menyiapkan bahan pada malam sebelumnya. Bahan-bahan tersebut ditumbuk dengan batu lesung. Bahan yang disiapkan terdiri dari tujuh macam jenis jamu, diantaranya jahe, kunyit asam, beras kencur, dll.

“Kemudian pada pukul 04.00 Wib dini hari, semua bahan yang disiapkan direbus dan selesai di kemas pada pukul 06.00 Wib. Jamu tersebut di kemas dalam botol berukuran 1,5 liter sebanyak 14 botol. Pukul 06.30 Wib, saya mulai keliling,” jelasnya dengan wajah ramahnya.

Selain jamu, Tini juga menyertakan beberapa obat-obatan sehat lainnya berdagang, sehingga ini juga menambah nilai jual jamu. “Terkadang orang memintanya di campur dengan obat-obatan,” jelas Ibu yang sudah memiliki dua anak perempuan ini.

Untuk harga, satu gelas jamu di patok dengan harga Rp5 ribu. Jika ada yang meminta pakai obat-obatan bubuk, maka menjadi Rp10 ribu. “Namun jika ada yang minta jamu dengan harga Rp3 ribu, saya juga akan tetap saya jual,” tuturnya.

Jika jamunya habis, maka dalam sekali berdagang (dari pukul 06.30 s/d pukul 12.00 Wib), Tini bisa memperoleh penghasilan bersih sebesar Rp100 ribuan. Sedangkan untuk modal selama seminggu, ia harus merogoh kantong dari Rp700 s/d Rp800 ribu. “Alhamdulillah bisa menyambung hidup dan bisa menabung sedikit-sedikit,” katanya sambil tersenyum.

Untuk rute berdagang, Tini telah memetakan beberapa wilayah kelompok masyarakat yang sudah menjadi pelangganya. “Jadi untuk rute atau jadwal keliling itu saya seling-seling. Senin, Rabu dan Jumat ke kawasan Pasar Gaung, Mata Air, Banuaran hingga ke arah Teluk Bayur. Sedangkan untuk Selasa, Kamis dan Sabtu di kawasan Pondok hingga Batang Arau Kota Padang,” paparnya.

Rute yang dijadwalkannya ini telah berjalan sejak awal berusaha pada 1988 silam. Namun sejak reformasi, ada beberapa kawasan yang tak di pakai lagi, seperti kawasan pabrik di By Pass.

Selain itu, menurut Tini, tidak semua orang minum jamu setiap hari, sehingga selingan hari sangat perlu.

“Kadang mereka minum 2 kali seminggu, ada yang tiga kali atau ada yang hanya sekali seminggu, sehingga membuat jadwal adalah hal efektif menurut saya,” paparnya.

Memanfaatkan Modal BRI

Membuat usaha tetap berjalan baik, modal jadi salah satu hal penting dan Tini paham benar dengan ini. Diakui Tini, pinjaman modal yang menjadi program BRI sangat membantunya tetap eksis berdagang.

Selain mendapatkan pinjaman tambahan modal usaha, pihak BRI juga sering mengajak jamu Mbak Tini mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh pihak BRI.

“Dari sana, orang juga banyak tahu dan mencicipi jamu buatan saya. Bagi saya itu suatu kebanggan karena dilibatkan,” tuturnya.

Ia juga bersyukur bisa mengikuti berbagai program BRI yang sering mengajaknya ikut dalam kegiatan. “Semoga kedepannya tetap bisa terlibat dalam iven-iven yang diadakan oleh pihak BRI, sehingga banyak orang bisa minum jamu buatan saya,” jelasnya.

Regional CEO BRI Padang, Moh.Harsono mengatakan, sepanjang 2023, jumlah UMKM yang naik kelas sebanyak 183 nasabah, yang umumnya di dominasi oleh UMKM dari Kabupaten Solok.

“Total 889 Nasabah UMKM naik kelas yang di dominasi dari wilayah BRI BO Solok sejumlah 183 nasabah,” katanya saat di hubungi di Padang, Jumat, 26 April 2024.

Ia mengatakan, sepanjang 2023 telah di terima 6,127 pelaku usaha yang di referral-kan dari Aplikasi Senyum Mobile dan Co-location Senyum.

“Selain itu, juga terdapat 25 Unit gerai Co-location tersebar di 12 Branch Office se-Sumbar. dan Sukses Akuisisi sejumlah 3007 nasabah,” paparnya.

Menurutnya, dengan data itu, BRI terus berupaya meningkatkan berbagai akses untuk UMKM agar naik kelas.

Sementara itu, Dosen Ekonomi Taman Siswa, Dr. Hafrizal Okta Ade Putra mengatakan, kekuatan modal dan edukasi soal pemasaran produk menjadi hal yang terus bersinggungan dengan usaha.

“Untuk hal ini perlu di petakan oleh pemerintah agar di temukan obat dari permasalahannya. Jika masalah di modal, maka ini perlu kerjasama banyak pihak dalam membantunya. Namun jika kita bicara UMKM yang naik kelas, tentunya ini lebih dari itu, misalnya soal kemasan produk, pasar yang akan di tuju, tujuan pasar dalam dan luar negeri. Tentunya ini butuh kolaborasi semua pihak yang mumpuni di bidangnya, baik pemerintah atau stakeholder lainnya,” paparnya saat di hubungi di Padang, Selasa, 23 April 2024.

Exit mobile version