KKI WARSI Catat Luas Hutan di Sumbar Sebesar 1,7 juta Ha

Direktur Eksekutif KKI Warsi, Rudi Syaf saat memaparkan catatan akhir tahun KKI WARSI di wilayah hutan Sumbar, Kamis (23/12).

Direktur Eksekutif KKI Warsi, Rudi Syaf saat memaparkan catatan akhir tahun KKI WARSI di wilayah hutan Sumbar, Kamis (23/12).

Direktur Eksekutif KKI Warsi, Rudi Syaf saat memaparkan catatan akhir tahun KKI WARSI di wilayah hutan Sumbar, Kamis (23/12). (Klikpositif/Haikal)

PADANG, KLIKPOSITIF — Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warung Informasi Konservasi (Warsi) mencatat, jumlah tutupan hutan di Provinsi Sumatra Barat (Sumbar) sepanjang tahun 2021 tercatat seluas 1.744.549 hektar (ha) atau 41 persen luas wilayah Provinsi Sumbar.

Jika dibandingkan dengan tahun 2020 lalu, kondisi tutupan lahan atau hutan di Provinsi Sumbar terbilang lebih baik dan bahkan dibandingkan dengan Provinsi lainnya yang ada di pulau Sumatera karena berada di atas 40 persen dari luas wilayah.

“Lebih dari separuh wilayah Provinsi Sumbar merupakan kawasan hutan dengan luas 2.286.883 ha atau 52 persen. Berdasarkan analisis tim GIS KKI Warsi, tutupan hutan cukup baik yakni tinggal 1.744.549 ha atau 41 persen dari wilayah Sumbar,” jelas Direktur Eksekutif KKI Warsi, Rudi Syaf, Kamis (23/12) dalam kegiatan media gathering catatan akhir tahun KKI WARSI.

Rudi mengatakan, metode pengolahan peta yang digunakan dalam melihat kondisi tutupan hutan sendiri yakni dengan menggunakan 2 data citra satelit Landsat 8 dan Sentinel 2 yang dilaksanakan pada Maret sampai Agustus 2021.

Dijelaskan, sepanjang tahun 2021 kabupaten dan kota di Provinsi Sumbar yang memiliki luas tutupan hutan yang tinggi yaitu Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan luas 409.078 ha atau sebesar 68 persen dari luas wilayah.

Kemudian disusul oleh Kabupaten Solok dengan luas 194.366 ha atau sebesar 54 persen, Kabupaten Pasaman dengan luas 213.045 atau sebesar 53 persen, dan Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel) dengan luas 301.500 ha atau sebesar 49 persen.

Ia mengungkapkan, di Provinsi Sumbar sendiri berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sumbar ada sebanyak 950 nagari yang berada di dalam kawasan hutan dengan rincian 356 nagari berada di hutan konservasi, 305 nagari di hutan lindung, dan 280 nagari yang berada di hutan produksi.

Sedangkan aktivitas yang biasanya terjadi di dalam hutan sendiri dibagi dalam dua bentuk yakni aktivitas legal di antaranya pengelolaan kawasan hutan sesuai peruntukannya (HPH) dan pengelolaan kawasan hutan sesuai zonasinya.

“Nah yang menjadi permasalahan adalah adanya aktivitas ilegal seperti penambangan emas tanpa izin atau PETI, pembukaan areal perladangan, dan illegal logging atau pembalakan liar,” kata Rudi.

Ditambahkan, pihaknya mencatat kegiatan PETI ditemukan di 4 Kabupaten di Sumbar di antaranya, Kabupaten Dharmasraya seluas 1.773 ha, Kabupaten Solok 1.533 ha, Kabupaten Solok Selatan (Solsel) seluas 2.559 ha dan dan Kabupaten Sijunjung 1.103 ha.

“Tambang emas ilegal ini biasanya terjadi di sungai utama ataupun sungai kecil dalam kawasan Area Penggunaan Lain (APL) dan hutan lindung,” ungkapnya.

Lebih lanjut Rudi menyampaikan, penambangan emas mengakibat kerusakan lingkungan dan timbulnya bencana longsor di sekitar kawasan tambang. Sepanjang tahun 2021, terhitung 3 kali terjadi longsor di kawasan tambang emas di Dharmasraya dan Solsel.

“Akibat kejadian tersebut, 14 orang meninggal dunia karena tertimbun longsor dan 14 orang mengalami luka-luka, 40 orang ditangkap, dan 4 dompeng serta peralatan tambang lainnya diamankan,” ujarnya.

Sementara itu, praktek illegal logging terjadi di Solsel, Dharmasraya, dan Pessel. Sebanyak 4 orang ditangkap dan 313 batang kayu balok diamankan. Kerusakan ekologi menjadi salah satu pemicu terjadinya bencana alam.

Tercatat, terjadi 11 kali bencana banjir di Solsel, kota Solok, Padangpanjang, Pessel, Kabupaten Solok, Sijunjung, Kota Padang, dan Siberut. Bencana longsor terjadi 8 kali sepanjang 2021, di antaranya Padangpariaman, Dharmasraya, Bukittinggi, Agam, Payakumbuh, dan Solok.

“Dampak dari bencana tersebut yaitu sebanyak 9 orang meninggal dunia, 3.181 rumah terendam banjir, 6 rumah rusak, dan satu jembatan ambruk,” jelasnya.

Selain persoalan itu, Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) di Sumbar yaitu konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan dan masyarakat dengan pemerintah. Perubahan lingkungan hidup juga rentan terjadinya konflik satwa dengan manusia. Satwa liar masuk ke perkebunan dan pekarangan warga yang juga melibatkan hewan ternak.

“Kami mencatat sepanjang 2021, konflik satwa yang terjadi 7 konflik satwa, 2 buaya, 3 harimau, 2 beruang madu. Akibatnya satu orang meninggal dunia serta hewan ternak mati,” kata Rudi.

*Kelestarian Hutan dengan Perhutanan Sosial*

Masyarakat Sumbar tidak lepas dari hutan dan menggantungkan hidup pada hutan, berdasarkan data BPS terdapat 950 nagari yang berada dalam kawasan hutan, dengan rincian 365 nagari berada di hutan konservasi, 305 nagari di hutan lindung dan 280 nagari di hutan produksi.

“Oleh karena itu skema perhutanan sosial, yang mana masyarakat diberikan izin untuk mengelola hutan merupakan upaya untuk meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitar hutan,” sebut Rudi.

Ia menambahkan, Sumbar telah mengalokasikan kawasan hutan negara seluas 500.000 ha yang pengelolaannya dikembalikan kepada masyarakat Nagari. Komitmen Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar dibuktikan dengan menjadikan perhutanan sosial sebagai basis utama dalam pengelolaan kehutanan.

Dalam perkembangannya, berbagai skema pengelolaan hutan bersama masyarakat telah mampu dijalankan bersama pemerintah daerah dan masyarakat pada kabupaten dan kota di Sumbar.

Saat ini seluas 228.074 ha kawasan hutan sudah dikelola masyarakat dengan jumlah 162 unit yang terdiri dari 99 unit hutan nagari, 50 unit hutan kemasyarakatan, 4 unit hutan tanaman rakyat dan 5 unit hutan adat serta 4 unit kemitraan kehutanan. Dari jumlah ini, 41 unit merupakan daerah dampingan KKI Warsi.

Saat ini ada upaya-upaya guna membantu masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan dan pengelolaan sumber daya alam secara bijak. Salah satunya melibatkan kecerdasan buatan atau guardian untuk membantu pencegahan degradasi hutan serta adanya patroli pengamanan hutan bersama masyarakat guna pencegahan illegal logging.

Upaya lainnya adalah mengaktifkan patroli pengamanan hutan bersama masyarakat, melakukan kegiatan untuk pengembangan ekonomi masyarakat, dan berkolaborasi dengan pemerintah untuk tindak lanjut pengamanan hutan.

“Saat ini ada 9 guardian yang dipasang di hutan nagari melibatkan Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN),” ujarnya.

Akan tetapi, Rudi menyebutkan, keberadaan guardian dalam menjaga tutupan hutan di kawasan perhutanan sosial masih perlu dukungan dan pengoptimalan. Saat ini masyarakat memiliki keterbatasan kemampuan pengelola untuk mencegah masuknya kegiatan ilegal dalam kawasan berupa kegiatan illegal mining.

Selain itu, perubahan tutupan hutan di kawasan perhutanan sosial diduga karen adanya pembukaan lahan untuk pengelolaan oleh masyarakat di zona pemanfaatan untuk persiapan lahan agroforestri.

“Penyebab kekurangan tutupan hutan juga kurangnya tindak lanjut laporan masyarakat terkait pantauan illegal logging dalam kawasan hutan atau belum ditindaklanjuti dengan serius,” ujar Rudi.

Guna peningkatan tutupan hutan serta pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan serta mendukung perekonomian masyarakat sekitar hutan perlu adanya kerja-kerja yang serius.

Warsi merekomendasikan untuk memperkuat dukungan pengelolaan hutan oleh masyarakat, mendorong pemangku kebijakan untuk berperan aktif mendukung pengelolaan hutan berkelanjutan, dan mendorong penegakan hukum terhadap pelaku pengrusakan hutan.

*Usaha perhutanan sosial*

Rudi mengatakan, potensi sumber daya alam di wilayah hutan Nagari, HKM dan HTR di Sumbar yang dapat dikembangkan sangat beragam, mulai hasil hutan bukan kayu, potensi air untuk sumber energi, air minum, irigasi serta perikanan, potensi ekowisata, peternakan dan lainnya.

Masyarakat dapat memanfaatkan apapun yang ada dalam kawasan hutan seperti Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang berupa Madu, Aren, Rotan, Manau, Jernang, Kemiri, Pala, Damar, Getah, Buah, Daun, Bunga, Jasa Lingkungan dan Sumber Daya Air tanpa harus menebang pohon atau kayu. Produk-produk Hasil Hutan Bukan Kayu, masih membutuhkan dukungan dan fasilitasi terkait pemasaran.

“Upaya yang dapat dilakukan yaitu mendukung pengembangan ekonomi masyarakat sekitar hutan salah satunya terkait pemasaran. Selama ini masyarakat mampu memproduksi produk yang baik, namun mengalami kendala pemasaran,” tukasnya. (Rilis)

Exit mobile version