Kisah Veteran yang Sempat Tidak Makan 6 Hari Selama Agresi Belanda

Apapun bisa kami jadikan senjata. Tidak hanya bambu runcing, minyak tanah dan bensin pun kami gunakan untuk melawan tentara Belanda ketika perang di Ladang Padi

Nasir, memperlihatkan piagam kehormatan veteran saat ditemui di rumahnya di Padang Besi

Nasir, memperlihatkan piagam kehormatan veteran saat ditemui di rumahnya di Padang Besi (Ist)

Klikpositif Supernova Honda (3000 x 1000 piksel)

Kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia pada medio 1945, tidak terlepas dari sosok pejuang bangsa Indonesia ketika itu. Dengan gagah berani, para pejuang rela bertaruh nyawa demi mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah Nasir, kakek berusia 89 tahun yang tinggal di Padang Besi, Lubuk Kilangan, Kota Padang.

Laporan Riki Suardi-Padang

Sebuah rumah sederhana tanpa cat, berdiri kokoh dikelilingi sejumlah rumah kontrakan di RT03/RW01, Kelurahan Padang Besi, Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang. Di halaman rumah kecil berukuran 8×7 meter persegi itu, sejumlah tumbuh-tumbuhan produktif seperti jambu, rambutan, menjadi penyejuk rindangnya perkarangan rumah yang ditempati Nasir dan istrinya Siti Hajir.

Nasir bukan orang sembarangan. Beliau adalah pejuang gagah berani yang bertaruh nyawa demi lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan kini namanya, masuk sebagai daftar veteran yang membela Tanah Air pada masa penjajahan Jepang dan agresi Belanda setelah Jepang menyerah, dan itu dibuktikan dengan piagam penghargaan gelar kkehormatan veteran RI dari Menteri Pertahanan dengan predikat ‘Pejuang Kemerdekaan RI’.

Kini, sosok pejuang yang gagah berani itu telah berusia 89 tahun. Kendati sudah sepuh, namun ingatan pria kelahiran Kebun Rejo, Kelurahan Batu Gadang, Kecamatan Lubuk Kilangan 1930 silam itu masih tajam. Bahkan beliau ingat bagaimana ia bersama para pejuang kemerdekaan lainnya, melawan penjajah dari bumi pertiwi ini. Kata Nasir, dengan senjata apa adanya, ia bersama para pejuang tidak gentar sedikitpun menghadapi bala tentara penjajah.

“Apapun bisa kami jadikan senjata. Tidak hanya bambu runcing, minyak tanah dan bensin pun kami gunakan untuk melawan tentara Belanda ketika perang di Ladang Padi (Taman Raya Bung Hatta,red). Minyak tanah dan bensin digunakan untuk membakar kamp-kamp yang ditempati tentara Belanda yang melakukan agresi usai Jepang menyerah,” kenang Nasir saat ditemui di rumahnya akhir pekan lalu.

Nasir saat ini tinggal berdua dengan istri pertamanya Siti Hajir (86). Sebelumnya setelah tiga bulan menikah, Nasir bercerai dengan Siti Hajir dan menikah lagi dengan wanita lain. Namun karena benih-benih cinta masih bersemayam di belahan hati Nasir dan Siti Hajir, akhirnya kedua pasangan ini di usia senja, kembali menjalin biduk rumah tangga pada medio 2012 setelah keduanya lama bercerai.

“Anak saya ada 12 orang. Saat ini anak saya yang hidup tinggal 6 orang, dan mereka merupakan buah hati saya dengan istri saya yang lain. Kalau dengan Siti Hajir, saya gak punya anak, maklumlah, usia pernikahan kami ketika masa penjajahan tiga bulan lamanya. Saat ini hanya kami berdua yang tinggal di gubuk kecil ini. Anak-anak saya sudah tinggal di rumahnya masing-masing. Kalau untuk makan, cucu kami yang masak,” ujar Nasir.

Nasir mengaku bahwa dirinya tidak hanya telibat melawan tentara Belanda, tapi juga ikut berperang melawan Jepang. Saat melawan Belanda yang agresi setelah Jepang menyerah, usianya masih 17 tahun, dan kawasan Aia Sirah (Perbatasan Padang-Solok) menjadi saksi sejarah bagaimana perjuangan bangsa Indonesia ketika itu.

“Saya ikut berperang melawan Belanda sekitar setahun lamanya. Kawasan Sitinjau Lauik itu menjadi benteng pertahanan bagi kami pejuang bangsa Indonesia. Di Aia Sirah, saya bersama pejuang lainnya menghadang tentara Belanda yang hendak ke Solok,” bebernya.

Perperangan yang terjadi di Aia Sirah, lanjutnya, berlangsung malam hari. Tapi, Nasir mengaku tidak ingat lagi tanggal dan bulan peristiwa di Aia Sirah tersebut. Namun yang jelas, saat itu komandannya bernama Anwar dengan pangkat Kopral mengalami luka tembak di bagian pahanya.

“Beliau luka parah dan kami evakuasi menggunakan kain sarung. Saat ini saya tidak tahu di mana keberadaan Pak Anwar, apakah beliau masih hidup saya kurang tahu. Informasi terakhir yang saya dapat, beliau ikut pindah bersama tentara lainnya ke Jakarta. Saya memilih tinggal di Padang dan pensiun, karena saya tidak sekolah,” ungkapnya.

” Waktu perang di Aia Sirah, kami pernah tidak makan nasi selama 6 hari 6 malam. Kami kehabisan bekal, dan kami lari ke Solok. Aia Sirah ketika itu dikepung oleh tentara Belanda. Saya dan beberapa pejuang lainnya selamat, dan beberapa diantaranya ada yang jadi tawanan Belanda,” imbuhnya.

Sang istri, Siti Hajir mengaku bahwa Nasir merupakan pejuang yang gagah berani. Sebagai seorang istri, Siti Hajir mengaku bangga mempunyai suami seorang veteran yang membela Ibu Pertiwi. Meski nyawa taruhannya, Nasir muda, sebut Siti Hajir, tidak takut mati. Bahkan beliau siap untuk gugur demi membela Tanah Air.

“Pak Nasir semangatnya luar biasa. Sejak setahun terakhir ini, beliau ini rutin jalan pagi di sekitaran kampung ini. Paling jauh sampai ke Baringin. Namun sebelumnya bersama sejumlah veteran, beliau rutin senam pagi setiap hari kamis di Kodim 0312/Padang. Tapi karena mulai sakit-sakitan, makanya di sekitar sini saja,” ujarnya.

Tentara Harimau Kuranji dan Laskar Hizbullah Ditakuti Jepang dan Belanda

Selain Nasir, pejuang lainnya yang menjadi saksi sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia bernama M Yatim (86), menuturkan bahwa di Padang, ada dua kolompok pejuang yang ditakuti tentara Jepang dan Belanda, yaitu tentara Harimau Kuranji dan Laskar Hizbullah (tentara Allah).

M Yatim menyebut, saat perang melawan Jepang, kedua kepompok tentara itu menggunakan senjata bambu runcing. Di kawasan Lubuk Kilangan, sedikitnya ada dua tempat yang dikuasai Jepang, yaitu Gadut dan Beringin.

Di Gadut, menjadi tempat untuk melatih pribumi menjadi tentara sukarela (PETA) yang dibentuk Jepang dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia. Kemudian di Baringin, Jepang mendirikan vila. “Vila didirikan Jepang dengan cara kerja paksa, yang kerja itu pribumu,” kata M Yatim saat ditemui di Masjid Jami’k, sebuah masjid tua di Padang Besi.

Ketika di Gadut, lanjutnya, sejumlah tentara Hizbullah bersama beberapa orang tentara sukarela yang dilatih Jepang, melakukan perlawanan kepada Jepang. Perlawanan dimulai dengan memberikan Jelatang (tumbuhan yang daunnya bermiang yang dapat menyebabkan gatal jika tersentuh kulit) kepada senjata milik tentara Jepang.

“Tentara Hizbullah berhasil memberikan jelatang di senjata tentara Jepang, berkat adanya bantuan orang India yang menjaga gudang persenjataan tentara Jepang. Namanya saya tidak tahu, tapi beliau seorang muslim.

Setelah senjata digenggam tentara Jepang, kemudian tentara Jepang itu kulitnya gatal-gatal. Tentara Hizbullah bersama pasukan sukarela langsung menyerang dan merebut senjata itu dari tangan Jepang,” katanya.

Saat era menjelang kemerdekaan, M Yatim mengaku bahwa dirinya tidak ikut terlibat secara langsung berjuang melawan tentara Jepang, namun dirinya aktif membantu tentara Hizbullah, terutama membantu penyediaan beras selama berlangsungnya perperangan melawan Jepang di Kota Padang.

“Saya hanya membantu pejuang untuk menyiapkan beras sebagai bekal. Kebetulan saya ketika itu punya Lesung (alat tradisional dalam pengolahan padi atau gabah menjadi beras) di kawasan Parak, Kelurahan Tarantang. Setelah padi jadi beras, pejuang (tentara Hizbullah) datang menjemputnya. Sebagai upahnya, saya diberikan sejumlah beras oleh tentara Hizbullah,” katanya.(*)

Exit mobile version