Kisah Risman, Nelayan Pariaman yang Terdampar Empat Hari di Pulau Akibat Ganasnya Badai

Seorang nelayan asal Pariaman bernama Risman terdampar di pulau selama berhari-hari akibat badai

Risman

Risman (Dokumen pribadi)

Klikpositif Supernova Honda (3000 x 1000 piksel)

PARIAMAN, KLIKPOSITIF– Menyimak kisah seorang lelaki di Pariaman yang bekerja sebagai nelayan selama 20 tahun membuat bulu kuduk bergidik.

Bak film film survival, tentang bertahan hidup dari amukan badai hingga kapal digulingkan gelombang selama beberapa hari.

Kisah itu dibeberkan oleh seorang nelayan asal Pariaman bernama Risman yang terkurung di sebuah pulau selama berhari-hari akibat badai.

“Pada tahun 2011, beberapa hari menjelang Idul Adha, saya beserta empat nelayan lainnya mencari ikan. Dari tengah laut, Langit tampak kelam. Tanda-tanda badai akan datang sudah tampak,” ungkap Risman, pria berusia 36 tahun itu.

Pertanda badai tersebut membuat Risman saling bertatapan dengan rekannya. Dengan suatu isyarat, mereka telah sibuk membenahi persiapan bila badai tiba. Sementara itu daratan masih jauh, berjarak belasan mil.

“Badai itu datang juga menghempas. Kapal kami bak layangan putus,” kata pria yang dikaruniai dua orang itu.

Risman dan rekannya tak bisa menepi. Sebelum menyoal menuju daratan, pikiran mereka telah terkuras untuk persiapan bertahan di tengah badai.

“Dengan perjuangan kami sampai juga di Pulau Angso Duo. Kami terpaksa berlindung di pulau tersebut karena badai masih terus mengancam,” jelas Risman.

Badai tak sekali lalu. Mereka terjebak di Pulau Angso Duo yang jaraknya 2 mil dari daratan Kota Tabuik itu.

“Kami tak bisa menepi. Bekal sudah habis pula. Empat hari lamanya kami terkurung badai di pulau,” sebut Risman.

Selama empat hari mereka hanya makan ikan yang dipancing dengan umpan Umang-umang.

“Tidurlah kami di pulau itu selama empat hari. Kalau lapar, kami pancing ikan dengan umpan Umang-Umang. Kalau haus, kami petik kelapa muda yang ada di pulau,” ungkapnya.

Saat itu, ungkap Risman lagi, pulau masih sepi. Mereka hanya dapat mengandalkan usaha sendiri untuk meneruskan hidup.

“Sewaktu berteduh, badai sangat kuat sehingga beberapa batang kelapa patah dan ada yang tumbang,” sebut Risman mengenang peristiwa itu.

Pada hari ke empat, kata Risman, pikiran dipenuhi kalut. Takut jika badai terus menerpa. Lebih lebih tatkala menerka pikiran anak dan istri yang ditinggalkannya. “Pasti istri merasa cemas di rumah. Tak bisa berkabar,” ulasnya.

Setelah empat hari mendiami pulau Angso Duo, reda badai yang ditunggu tunggu datang juga.

“Badai akhirnya berhenti. Cuaca sudah tampak cerah. Dengan begitu kami baru bisa berangkat pulang,” kata Risman.

Seperjalanan berjarak 2 mil menuju daratan, mereka tak banyak bicara. Dikatakan Risman, meskipun demikian dalam hati mereka terasa lega. Riang mulai mengalir seiring dengan ayunan ombak membawa mereka ke tepian.

“Itu yang saya alami selama empat hari di pulau Angso Duo,” ujar Risman.

Di kondisi lain, Risman juga berkabar tentang kapal nya yang terbalik dihempas gelombang badai.

“Suatu waktu kapal yang kami gunakan untuk mencari ikan terbalik diterpa ombak. Beruntungnya kami masih belum jauh dari pantai. Namun hal itu cukup membuat ngeri,” ungkapnya.

Sepanjang penggalan cerita Risman tersebut cukup mewakili cerita kehidupan nelayan lainnya. Laut memang keras, punya hukum sendiri yang harus dipatuhi.

“Paling tidak sebelum ke laut harus punya ilmu dan pengalaman tentang membaca alam,” kata nelayan itu.

Ada benarnya ucapan Risman. Lagian dia telah terbilang lama menjadi nelayan, 20 tahun.

Risman mengungkapkan bahwa sejak tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia telah mencari ikan di laut bersama orang tuanya yang juga seorang nelayan.

“Ayah adalah guru pertama bagi saya. Darinya saya belajar menangkap ikan. Saya juga belajar dari nelayan lain tentang segala macam soal laut,” jelas Risman.

Tidak cukup dengan itu, kata Risman lagi, belajar pada alam tentang cuaca serta membaca rotasi bintang suatu hal yang wajib.

“Kondisi lautan sangat bergantung pada cuaca. Gejala gejala alam memengaruhi keadaan laut,” sebutnya.

Seperti perputaran bulan dan bintang, serta penampakan alam, kata Risman, itu adalah hal yang harus dibaca.

“Contohnya saja, kalau kita lihat puncak Gunuang Pasaman ditutupi awan, biasanya itu adalah pertanda badai di perairan Pariaman. Saat itu saya tak mencari ikan” ungkapnya.

Dijelaskan juga mengenai beberapa pengaruh rotasi bulan dan bintang yang menyebabkan besarnya ombak di perairan laut.

“Bintang Gadang (bintang besar) yang terjadi saat bintang beradu dengan bulan, dan lepas ke barat. Itu juga pertanda akan terjadinya badai,” tuturnya.

Peristiwa bintang itu, kata Risman, biasanya badai akan terjadi selama satu pekan, dan ombak akan besar. Kalau mengenai angin timur laut, seperti gejala 'Bintang Kalo' yang berarti susunan bintang menyerupai hewan kalajengking.

“Bisa diartikan ketika capit kalajengking masuk ke dalam bulan, itulah tanda hari akan badai yang lepas ke barat,” ucap Risman.

Ada juga fenomena Bintang Banyak yang bergerak dari Timur menuju Selatan. “Itu tanda kondisi angin yang cukup kencang dan ombak yang tidak terlalu besar. Saat itu kesempatan bagi nelayan untuk mencari ikan,” sebut dia.

Begitu istilah alam yang diutarakan Risman. Memang terdengar awam bagi orang yang tidak biasa ke laut.

Dari keseluruhan cerita Risman, ada satu hal yang menjadi kunci saat berada di lautan. Meskipun kita seorang pembaca alam yang handal, jika tak memahami kunci itu, hidup bisa saja berakhir di lautan.

“Kuncinya, jangan takabur atau sombong. Sekali kali jangan takabur dan meremehkan laut. Laut punya hukum sendiri yang tak seluruhnya bisa kita baca dari alam,” ungkap Risman.

Kata Risman, alam hanya memberikan tanda tanda yang dapat dilihat mata. Namun ketika kita takabur dan meremehkan laut, alam akan mengaburkan pandangan mata.

“Sehingga kita tak bisa melihat bahaya. Bahkan, tiba tiba saja kita tak tau di mana posisi daratan. Kita tersesat hingga tak tau arah jalan pulang,” tutur Risman.