Kasasi Pemko Bukittinggi Ditolak Mahkamah Agung

kasasi pemko bukittinggi

Kampus Universitas Fort de Kock Bukittinggi

Klikpositif Supernova Honda (3000 x 1000 piksel)

BUKITTINGGI, KLIKPOSITIF – Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi Pemko Bukittinggi.

Hal ini terkait kasus perdata nomor 28/Pdt.G/2019/PN Bkt tentang sengketa tanah antara Yayasan Fort de Kock Bukittinggi dengan Pemerintah Kota Bukittinggi.

Majelis Hakim menilai, Pengadilan Tinggi Padang tidak salah menerapkan hukum.

Hal itu tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung nomor 2108 K/Pdt/2022 pada Kamis 28 Juli 2022.

Majelis Hakim dengan Ketua Hamdi serta Anggota Ibrahim dan Haswandi juga menghukum pemohon kasasi untuk membayar biaya perkara sebesar Rp500 ribu.

Pertimbangan Hakim Menolak Kasasi Pemko Bukittinggi

Dalam salinan putusan melalui direktori putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, ada beberapa pertimbangan majelis hakim dalam menolak kasasi tersebut.

Di antaranya, berdasarkan fakta-fakta dalam perkara a quo Judex Facti telah memberikan pertimbangan yang cukup.

Dalam hal itu terbukti jauh sebelum adanya jual beli objek sengketa antara Tergugat I (Syafri St Pangeran) selaku penjual dengan Tergugat IV (Pemko Bukittinggi) selaku pembeli.

Objek sengketa telah terikat dengan perjanjian jual beli antara
Tergugat I, Tergugat II (Arjulis Dt Basa) dan Tergugat III (Muhammad Nur) selaku penjual dengan Penggugat (Yayasan Fort de Kock Bukittinggi).

Selaku pembeli, Penggugat telah memberikan uang muka kepada Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III (Pasal 2).

Hal itu berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) pada tanggal 23 November 2005.

Perjanjian itu dilegalisir oleh Hj. Tessi Levino, S.H., Notaris di Bukittinggi dengan Nomor 150/D//XI/2005 dan perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III.

Itu terbukti masih berlaku dan belum dinyatakan berakhir oleh salah satu pihak.

Dengan arti kata, perjanjian itu masih mengikat kedua belah pihak sebagaimana tercantum pada Pasal 7 Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tersebut.

Dengan pertimbangan itu, majelis hakim berpendapat bahwa putusan Judex Facti/Pengadilan Negeri Bukittinggi dan Pengadilan Tinggi Padang dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang.

Sebenarnya, yayasan Fort de Kock telah membuka peluang damai sebelum keluarnya putusan dari Mahkamah Agung.

Namun ternyata tak ada kesepakatan antara kedua belah pihak dan membuat pihak yayasan tetap melanjutkan proses hukum.

Sengketa Menahun

Sengketa antara Yayasan Fort de Kock Bukittinggi dengan Pemko Bukittinggi ini telah berlangsung lama.

Yayasan Fort de Kock telah membuat Perikatan Jual Beli sebidang tanah di Kelurahan Manggis Ganting Bukittinggi pada tahun 2005.

Namun pengurusan sertifikat tanah waktu itu memakan waktu yang cukup panjang.

Pada tahun 2007, Pemko Bukittinggi juga membeli tanah di lokasi yang bersebelahan dengan Fort de Kock.

Tahun 2011, Pemko Bukittinggi mengeluarkan izin pembangunan kampus Yayasan Fort de Kock Bukittinggi.

Selanjutnya pada tahun 2016 yayasan mengajukan kembali Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk gedung pustaka dan olahraga.

Namun waktu itu secara lisan petugas PU menyebut jika pembangunan itu berada di lingkungan kampus yang sudah di pagar, sehingga tidak perlu IMB lagi.

Tapi setelah bangunan tersebut berdiri malah muncul masalah baru.

Pada tahun 2018, Pemko Bukittinggi menyebut tanah Pemko Bukittinggi terpakai oleh Yayasan Fort de Kock Bukittinggi.

Pengukuran ulang dilakukan. Namun pihak Pemko bersikukuh tanahnya terpakai, sementara pihak yayasan juga bersikukuh tidak memakai tanah Pemko.

Yayasan Fort de Kock tak ingin memperpanjang kasus dan waktu itu mengajukan solusi untuk tukar guling tanah, atau penukaran titik koordinat.

Namun Pemko enggan menerima tawaran solusi tersebut. Merasa terus dipojokan, yayasan Fort de Kock akhirnya menggugat Pemko ke Pengadilan.

Yayasan Fort de Kock melakukan gugatan perdata wanprestasi ke PN Bukittinggi dan di tingkat ini Yayasan Fort de Kock menang.

Dalam putusan pengadilan disebutkan jika Pemko Bukittinggi sebagai pembeli yang tidak beritikad baik.

Keputusan itu membuat Pemko Bukittinggi mengajukan banding ke tingkat Pengadilan Tinggi Sumbar.

Namun lagi-lagi keputusan Pengadilan Tinggi ini memenangkan Yayasan Fort de Kock.

Tak sampai di sana, Pemko kemudian mengajukan ke kasasi ke Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung menolak kasasi Pemko Bukittinggi dan membuat Yayasan Fort de Kock menang lagi.

  • *
    👉Silahkan bergabung di Grup FB SUMBAR KINI untuk mendapatkan informasi terupdate tentang Sumatera Barat.

Exit mobile version