Inilah Prosesi Batagak Gala di Minangkabau

Gala Sako tidak bisa diberikan kepada orang lain. Gelar ini hanya diberikan kepada orang yang pertalian darah

Dr Ir. Gatot Kustyadji, SE, MSi diberikan gelar Tuanku Besar Pendekar Raja oleh Daulat yang Dipertuan Rajo Alam Minangkabau Pagaruyuan SM Taufiq Thaib, SH

Dr Ir. Gatot Kustyadji, SE, MSi diberikan gelar Tuanku Besar Pendekar Raja oleh Daulat yang Dipertuan Rajo Alam Minangkabau Pagaruyuan SM Taufiq Thaib, SH (Istimewa)

Klikpositif Supernova Honda (3000 x 1000 piksel)

KLIKPOSITIF — Sesuatu yang khas di Minangkabau ialah bahwa setiap laki-laki yang telah dianggap dewasa, harus mempunyai gala (gelar,red). Ini sesuai dengan pantun adat yang berbunyi “Pancaringek tumbuah di paga diambiak urang ka Ambalau. Ketek banamo gadang bagala baitu adaik di Minangkabau” (Pancaringek tumbuh di pagar diambil orang ke Ambalau. Kecil bernama kalau sudah besar diberi gelar begitu adat di Minangkabau, red)

Di Minangkabau, ada tiga jenis gelar yang diberikan kepada kaum laki-laki, yaitu gala Sako, gala Sangsako dan gala Muda. Untuk gala Sako, adalah gelar yang bersifat institusional dalam kaum, kampung, nagari dan dalam kerajaan di Minangkabau.

Daulat yang Dipertuan Rajo Alam Pagaruyuang, Sutan Muhammad Taufiq Thaib SH menyebut gala Sako ini diberikan kepada orang yang bertalian darah. Seperti memberikan gelar penghulu misalnya. Gelar tersebut diberikan setelah batagak penghulu sakato kaum, menobatkan rajo sakato alam. 

Maksudnya, seiya-sekata dulu kaumnya, barulah dibawa ke Basa Empat Balai Langgam Nan Tujuh Tanjuang Nan Ampek Lubuk Nan Tigo. Setelah disepakati, barulah dibawa ke Musyawarah Lembaga Tinggi Pucuk Adat Alam Minangkabau.

Gala Sako tidak bisa diberikan kepada orang lain. Gelar ini hanya diberikan kepada orang yang pertalian darah. Harus jelas silsilah dan jelas garis lurusnya. Baik patrilinial maupun matrilinial,” kata Taufiq Thaib beberapa waktu lalu.

Kemudian gala Sangsako. Menurut Taufiq Thaib, gelar tersebut merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada pribadi-pribadi tertentu, baik dia orang Minang maupun orang di luar Minang yang telah berjasa kepada bangsa dan negara, serta berjasa pula ke masyarakat Minangkabau.

Gelar ini, kata dia, diberikan setelah diusulkan oleh masyarakat dan organisasi atau atas inisiatif kaum. Gelar tersebut berlaku seumurnya dalam adat. Apabila yang menerima gelar meninggal dunia, maka gelar tersebut tidak bisa diturunkan kepada anak dan keponakannya.

“Dalam istilah adat disebut sahabih kuciang sahabih ngeong, artinya kalau kucingnya habis (mati) maka tidak akan mengeong lagi,” ungkap Raja Pagaruyuang yang bergelar Tuanku Mudo Mangkuto Alam itu.

Ia menyebut beberapa tokoh nasional yang sudah diberikan gala Sangsako adat oleh Kerajaan Pagaruyuang adalah Sri Sultan Hamengkubuwono X, Megawati, Soesilo Bambang Yudhoyono, Ani Yudhoyono, Zulkifli Nurdin, Alex Nurdin, Syahrial Oesman, Anwar Nasution, dan Syamsul Maarif dan lain sebagainya.

Terakhir, lanjutnya, gala Sangsako diberikan kepada Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman dan Direktur Enjiniring dan Proyek PT Semen Indonesia (Persero) Tbk, Gatot Kustyadji. Gelar tersebut diberikan pada 28 Mei kemarin.

Untuk Menteri Pertanian, gelar Tuanku Besar Pelinduang Bumi diberikan Kerajaan Pagaruyuang setelah diusulkan oleh Ikatakan Cendikiaewan Keraton Nusantara dan Ketua Umum Yayasan Persaudaraan Raja dan Sultan Nusantara.

Kemudian gelar Tuanku Besar Pendekar Raja yang disematkan kepada Gatot Kustyadji, diberikan setelah diusulkan oleh para tokoh silet (silat) di Minangkabau. “Usulan itu saya bawa ke rapat Musyawarah Kerabat dan Musyawarah Basa Empat Belas Langgam Nan Tujuh Tanjuang Nan Ampek Lubuk Nan Tigo. Kemudian dibawa ke Musyawarah Lembaga Tinggi Pucuk Adat Alam Minangkabau untuk diputuskan,” katanya.

Untuk prosesi pemberian gala Sangsako ini, diawali dengan silet gelombang dan ditapung tawari. Setelah itu dibuka dengan pidato pasamabahan dari ninik mamak. Kemudian, ninik mamak minta izin ke Daulat yang Dipertuan Rajo Alam Pagaruyuang.

Setelah izin diberikan, dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Alquran dan laporan dari panitia pemberian gelar terkait keputusan dan dasar-dasar pemberian gelar. Kemudian baru di pasang atribut. “Kalau gelar Tuanku, maka dipasangkan destar, selempang dan bintang,” ungkaup Taufiq Thaib. 

Terakhir gala Muda. Taufiq Thaib menyebut bahwa gelar tersebut dalam adat ibarat anak Itik anak Angso, Ketek diagiah namo kalau gadang dibarikan gala. (Anak Itik anak Angsa. Kecil diberikan nama kalau sudah besar diberikan gelar,red) oleh mamak, bako atau mamak rumahnya.

Gala Mudo ini diberikan kepada semua laki-laki Minang yang menginjak dewasa yang pemberiannya pada saat upacara pernikahan. Khusus di daerah Pariaman (sebuah kabupaten di Sumbar,red), gala Mudo diberikan oleh ayahnya. Gelar ini sering dikaitkan dengan ciri, sifat dan status penerima

“Contoh Sutan Batuah, gelar itu diberikan karena yang bersangkutan punya keahlian menonjol. Kemudian gelar Sutan Pamenan. Gelar itu sering diberikan kepada menantu yang di sayangi, dan lain-lain,” ujarnya.

Mantan Anggota DPR-RI itu menambahkan bahwa gelar di Minangkabau yang paling tinggi adalah gelar kebesaran kerabat Daulat yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyuang disebut dengan yang Dipertuankan Maha Raja.

Kemudian gelar yang Dipertuan Raja, Tuanku Besar, Tuanku, Tuanku Muda, Tuan, Tuan Muda, Datuk Sri Panduka, Datuk Oanduka. “Kalau untuk Sako, gala Bagindo, Tengku, Sutan dan Raja sama drajatnya di Minangkabau,” tambahnya.

Menyembelih Kerbau

Tradisi pemberian gelar di Minangkabau ditandai dengan penyembelihan kerbau. Menurut kerabat dari Daulat yang Dipertuankan Rajo Alam Minangkabau, H. Sultan Nirwasyah SH, MH, penyembelihan kerbau dilakukan sebelum acara penganugerahan gelar.

“Penyembelihan kerbau itu dihadiri oleh ninik mamak Istano Silinduang Bulan dan datuk-datuk nan batujuah (tujuh orang datuk). Datuk batujuh itu merupakan datuk di tujuh jorong yang ada di Kenagarian Pagaruyuang,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa tradisi penyembelihan kerbau, ditandai dengan adanya baralek (pesta). Baik itu pesta pemberian gelar maupun sebagainya. Di Pagaruyuang, kata dia, baralek ibarat bergotongroyong.

“Tidak memasan katering dan lain sebaginya. Kerbau yang sudah disembelih dimasak bersama-sama dan dicampur dengan gulai merah dan gulai jariang (jengkol). Setelah masak kemudian dihidangkan kepada semua tamu yang hadir pada saat acara pemberian gelar,” ujarnya.

Exit mobile version