KLIKPOSITIF – Peran ulama dalam meraih kemerdekaan bangsa Indonesia sangat besar, bergandengan tangan dengan elemen lain sesama bangsa dan negara, termasuk kaum nasionalis.
Hal ini disampaikan guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, dalam program bincang santai dengan Gernas MUI yang dipandu Wakil Ketua Gernas MUI yang juga Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH M Cholil Nafis, sebagaimana dikutip dari Youtube resmi TVMUI, Selasa (17/8).
“Bagaimana pembuktian untuk tidak mengecilkan juga tidak membesar-besarkan tapi proposional. Berkenaan dengan perjuangan meraih kemerdekaan dan perpaduan Islam dengan nasionalisme bisa memberikan ilustrasi perjuangannya ulama,” ujar Prof Azra.
Prof Azra menjelaskan dirinya mempunya teori yang berbeda dengan sarjana lain yang mengatakan bahwa agama itu memecah belah. Namun menurut dia, dalam konteks Indonesia justru agama dalam hal ini Islam mempersatukan kepulauan Nusantara ini.
“Bayangkan kepulauan Nusantara ini terdiri dari 17 ribuan pulau yang dihubungkan laut, sungai, dan sebagainya itu disatukan berkat Islam,” tutur dia.
Dia memberikan contoh bagaiman perbedaan bahasa, budaya, dan adat di Aceh bisa bersatu berjuang bersama saudara sebangsa dari Sulawesi Selatan, misalnya. Tidak ada yang lain kecuali mempersatukan mereka membuat mereka dekat itu adalah Islam.
“Islamlah yang mempersatukan ini oleh karna itu jika ada yang bilang agama bisa memecah belah, hal itu tidak (berlaku) dalam konteks Indonesia justru mempersatukan,” kata Azra yang mengutarakan pentingnya ukhwah Islamiyah sebagai modal penting ukhuwah wathaniyah.
Azra yang pernah menjabat Rektur UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, memaparkan jaringan ulama abad ke-17 dan kaitannya dalam membangun perlawanan terhadap penjajah. Ada tiga ulama yang paling besar yang pertama adalah Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Syekh Abdur Rauf Singkil, dan Syekh yusuf Makasar yang asalnya dari Makasar. Mereka membangun poros Islam wasathiyah pertama kali pada abad ke-17 di tanah Hijaz, Makkah dan Madinah.
“Jadi ini mereka belajar dua dasawarsa lebih dari 20 tahun di Makkah dan Madinah kemudian kembali ke Tanah Air peran mereka besar sekali, Jadi abad ke-17 itu adalah konsolidasi terbentuknya Islam wasathiyyah,” kata dia.
Dia mengatakan, bagaimana para ulama yang meliputi jaringan al-makasariyyah itukan juga berlawanan dengan penjajah pada saat itu. Syekh Nawawi Al-Bantani merupakan musuh penjajah pada saat itu, dimana cara menjahit keagamaan para ulama ini dengan nasionalisme.
“Memang yang seperti saya katakan sejak abad ke-17 itu sudah mulai pembelaan upaya untuk menegakkan kemerdekaan melawan penjajah Belanda,” kata Prof Azra.
Menurut Prof Azra, ulama yang pertama kali memimpin perlawanan terhadap Belanda adalah Syekh Yusuf Al-Makassari. Azra pun membeberkan secara singkat perjalanan Syekh Yusuf Al-Makassari.
Setelah dua dasawarsa Syekh Yusuf belajar di Madinah sampai ke Damaskus, Irak, dan Suriah, dia pulang ke Aceh meski berasal dari Bugis. Lalu Syekh dia ke banten lagi di angkat mantu oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Bersama Sang Sultan, dia berperang melawan Belanda. Perjuangan Syekh Yusuf sangat gigih dan ditakuti Belandda hingga akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Srilanka lalu ke Cape Town, Afrika Selatan.
Prof Azra menambahkan, pada abad ke-18, sosok yang juga terlibat dalam jaringan ulama itu ada Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Syekh Abdus Samad Al-Falimbani. Nama yang terakhir ini menulis kitab khusus mengenai keutamaan jihad melawan Belanda.
Bahkan, kata Azra, Syekh Abdus Samad ini mengirimkan beberapa surat kepada sultan Mataram untuk bergerak melawan Belanda.
“Jadi jangan dibanyangkan umat Islam, para ulama tidak cinta Tanah Air, itu saya kira tidak tahu sajarah apa lagi mempertentangkan antara Islam dan Pancasila, Islam dengan bendera merah putih, dengan (lagu) Indonesia Raya itu orang yang saya kira tidak bertanggung jawab,”ujar Azra.
Lebih lanjut, Azra juga menggarisbawahi bahwa perjuangan jihad para ulama pada masa itu adalah perlawanan terhadap penjajah, bukan jihad melawan sesama Muslim. Misalnya pada abad ke-19 diajarkan KH Ahmad Rifai dari Kali Salak dan beberapa ulama, jihad itu adalah dalam konteks melawan penjajah yang ingin merusak Islam dan umat Islam.
Dia menyebut, salah satu jihad paling besar itu adalah Pangeran Diponegoro selama abad ke-19, yaitu 1825-1830 Masehi. Pangeran Diponegoro disebut sebagai pemimpim Java Wars, Perang Jawa, yang melakukan perlawanan melakukan jihad melawan Belanda itu karena didorong semangat tasawuf.
“Jadi inilah yang harus kita contoh dalam sejarah Islam Indonesia tidak pernah ada jihad diarahkan pada orang islam sendiri jihad dalam pengertian perang itu tidak pernah ada sejak Islam menyebar secara luas pada Abad Pertengahan abad ke-13 di kepulauan Nusantara,” kata dia.
Sumber: MUI.or.id