PADANG- Jika alur sebuah pementasan drama Indonesia secara lazim dimulai dari hitungan angka satu dan terus berjalan maju, maka pementasan drama Wisran Hadi selalu dimulai dengan melampaui batas perhitungan itu. Panggung bagi Pak Wis, begitu generasi teater hari ini mengenalnya, tidak dimulai dengan menyingkap tirai kekosongan, tapi dari gejolak yang sengaja dibangun melalui kekuatan visual dan bunyi.
Visual dan bunyi, merupakan dua aspek penting dalam pementasan drama garapan Pak Wis bersama Bumi Teater yang tidak begitu mendapat perhatian dalam pembacaan karya-karyanya. Jika pun ada, dua komponen itu hanya dibicarakan atau tercatat sebagai bagian dari estetika dan artistik panggung dalam payung yang lebih luas.
Jika kemudian ditemukan inovasi-inovasi yang dilakukan Pak Wis di atas panggung, hal itu kemudian dianggap sebagai buah karya dari proses kreatifnya semata. Atau oleh sebagian orang yang lain, dianggap sebagai hal lumrah. Pasalnya latar belakang Pak Wis yang juga menekuni seni rupa dinilai sudah sewajarnya memberinya kelebihan-lebihan itu. Tidak pernah pilihan-pilihan visual Pak Wis di atas panggung diulas atau dibicarakan dengan porsi yang komprehensif.
Panggung Sebagai Subjek Visual
Bunyi merambat lebih cepat, lebih dulu mengejar telinga para penonton, baru kemudian segala benda di atas panggung yang terpapar sorotan lampu terlihat. Sebuah kesadaran dasar yang mampu memberi daya dorongan pertunjukan sejak ia dimulai. Jalan Lurus, Wayang Padang, dan Mandi Angin merupakan sejumlah pertunjukan Pak Wis yang dibuka dengan pendekatan bunyi. Jika, pada Jalan Lurus, bunyi itu adalah ledakan-ledakan yang dirancang acak, maka pada Wayang Padang dan Mandi Angin atau beberapa pertunjukan lain misalnya, bunyi ini mengambil bentuknya sebagai choir (nyanyian bersama) yang dinyanyikan oleh banyak orang. Pilihan ini cukup sering digunakan Pak Wis.
Pada banyak pementasan drama konvensional, nuansa dramatik dibangun dengan menampilkan panggung gelap yang kemudian diikuiti bunyi instrumen musik, biasanya bunyi “ting” atau bunyi-bunyian yang absurd dalam tempo yang begitu lambat atau dengan sengaja dilambat-lambatkan, dari bunyi pelan hingga bunyi keras. Tahap awal ini juga ditandai dengan kemunculan aktor yang makan durasi cukup lama, tanpa alasan yang jelas. Seolah semakin lama sang aktor muncul, semakin dramatik efek yang dihasilkannya.
Ruang eksplorasi visual yang dikerjakan Pak Wis berada pada ranah yang sangat berbeda. Bunyi-bunyian yang dipakainya untuk membuka pertunjukan tidak pernah menjadi sebuah upaya untuk memberi nuansa puitik atau membangun kesan dramatik.
Pada hampir semua pertunjukan drama Pak Wis, sensasi dramatik adalah konsekuensi dari perpindahan satu adegan ke adegan lainnya, pergerakan antara narasi teks dan narasi visual yang terjadi berulang kali, terus-menerus dan timbal balik. Nilai dramatik ini muncul sebagai hasil pergesekan semua unsur di atas panggung. Pertaruhannya tidak lagi semata pada konsep pertunjukan namun juga pada visualnya. Ini akan terlihat dalam segala pilihan bentuk komponen panggung sebagai subjek-subjek visual, bagaimana mereka di komposisikan, diproyeksikan dan digerakkan menjadi sajian visual.
Sebagai contoh sederhana pementasan Wayang Padang di Taman Ismail Mardzuki di Jakarta pada 2006 dibuka dengan satu set koor. Bebunyian yang disambut kemunculan Perempuan Penunggu Sawah, diteruskan dengan interaksi Burung-Burung yang direspon dengan kemunculan Orang-orangan. Yang satu disambut yang lainnya dan terus berulang. Interaksi antar komponen panggung inilah yang kemudian menjadi penggerak pertunjukan.
Adegan-adegan itu memang terlihat sebagaimana sebuah pertunjukan teater yang normal berjalan. Namun jika segala sesuatu yang berada di atas panggung itu diamati benar, tampaklah begitu jelas pilihan-pilihan bentuk yang diambil sutrada didasarkan pada khasanah visual yang kaya. Lima ekor sosok burung dengan bulu rimbun kecoklatan. Bulu-bulu dari kerisik membuat tubuh burung terlihat tambun tanpa leher. Topi dan kaca mata hitam dengan ukuran kecil. Komposisi bentuk yang membawa ingatan visual penonton pada burung-burung pengintai padi di tengah sawah. Burung yang ketika bertengger menyembunyikan kepalanya di tubuhnya.
Namun yang jarang disadari oleh mata awam adalah, ketika burung-burung itu bergerak, hanya dengan keberadaan mereka yang berlima, mereka bisa memenuhi satu panggung. Ini merupakan efek visual yang dihasilkan dari bentuk fisik dan pergerakan kelima burung itu. Panggung yang tadinya penuh itu sewaktu-waktu bisa saja memiliki cukup ruang bagi subjek lain yang kehadirannya diperlukan di atas panggung. Kondisi ini tidak lagi bisa dilihat semata hanya sebagai hasil kerja artistik dari pola bloking pemain saja. Dengan subjek yang secara visual diperhitungkan Pak Wis bisa memperluas atau mempersempit ruang di atas panggung. Contoh ini hanyalah satu bentuk paling dasar bagaimana kemampuan Pak Wis memanipulasi bentuk visual untuk kepentingan pertunjukannya.
Menyoal tampilan visual ini, pada eksplorasi teater Amerika di Broadway pada 1986, Pak Wis mencatat bagaimana pementasan-pemantasan drama Amerika lebih mementingkan kulit dari pada isi. Teknik-teknik yang mutakhir digunakan untuk mengejar sensasi “wah”. Dalam pertunjukan Big River The Adventure of Huckleeberry Fiin, di Eugene O’neal Theatre, misalnya, Pak Wis mencatat “perahu yang dipakai Finn benar-benar dapat dikayuh di atas pentas (Missisipi) yang kering.” Pada analisanya yang lain, Pak Wis menyebut bagaimana penonton dimanjakan dengan set ala Broadway yang serba realistis dan megah dimana pertunjukan tampil seperti “pisang bakubakan” yang disajikan di hadapan penonton.
Kemudian dapat dipahami jika eksekusi bentuk visual di setiap panggung Pak Wis bukan lahir dari keterbatasan teknik mutakhir atau teknologi untuk mendukung artistik. Burung-Burung yang menyerupai Simuntu itu hadir untuk mengisi beragam tujuan baik fungsional dan visual. Bisa dibayangkan betapa lumpuhnya Burung-Burung itu jika divisualkan dengan sepasang sayap logam, dengan kawat-kawat di panggung untuk membantunya terbang.
Panggung yang Bergerak
Jika ditelusuri ke belakang, sesunguhnya jejak tawaran-tawaran visual yang dibangun oleh Pak Wis telah hadir dari jauh-jauh hari. Pada garapan Anggun Nan Tongga Pak Wis memilih set minimalis. Set yang terlihat sederhana itu kemudian diimbangi dengan pemain yang kolosal. Panggung kemudian digerakkan oleh puluhan pemain yang membuat beragam formasi dan saling berinteraksi. Lelaki dan perempuan dibentuk dalam formasi diagonal atau melingkar yang terkadang saling berhadapan dan berbenturan. Bentuk-bentuk ini yang menghadirkan dimensi berlapis-lapis di atas panggung. Sebagai hasil permainan pola lantai, dimensi itu baru hadir secara horizontal.
Dalam sekumpulan foto pementasan Imam Bonjol bertahun 1995, terekam tokoh-tokoh berjubah, bersorban dan menghunus pedang panjang. Namun yang mencuri perhatian adalah tampilan deretan bilah-bilah bambu yang dipasang memenuhi panggung. Pada potret yang lain terlihat, bagaimana panggung yang ditancapi ratusan bambu berbagai ukuran itu terlihat menyerupai kawasan perbukitan dan berlapis-lapis, khas dataran tinggi. Dalam perspektif yang lain, tidak diragukan jika kontruksi bambu itu membentuk sebuah benteng pertahanan. Set, dalam panggung Pak Wis memang tidak pernah menjadi tunggal. Ia akan bergerak dari satu bentuk ke bentuk lain, selalu berpindah dari fungsi sekarang kepada fungsinya kemudian.
Dalam proses perkembangan bentuk-bentuk visualnya, sekiranya Jalan Lurus lah yang memberi penekanan pada kemampuan Pak Wis mengelola piranti panggung untuk memberikan daya visual yang memikat. Pementasan ini menampilkan bagaimana panggung bisa dikuasai secara utuh. Aksi para aktor menghidupkan dimensi horizontal, sedang tiang, atau batang yang tertancap mengisi dimensi vertikal panggung, membuat ruang-space yang sebelumnya tidak terjamah ikut tergerak. Bagaimana bisa?
Kantong-kantong plastik warna-warni yang dijatuhkan perlahan dari langit-langit memberi efek visual yang tak terduga. Pertama, bibir panggung seolah terangkat ke atas, di saat bersamaan plafon panggung seolah ditarik turun oleh pementasan, dan yang ketiga, ada ruang/space panggung yang menyempit selama pertunjukan berlangsung. Bagaimana pun melihatnya, pilihan ini memberi dampak sinematik di atas panggung teater yang tak terbantahkan. Efek visual yang biasanya hanya kita temui dalam sinema.
Bahkan saat Syafril (Prel T) mementaskan kembali Jalan Lurus pada 2013 dengan sedikit berbeda, efek sinematik ini tidak kehilangan dayanya. Bahkan bentuk visual itu, memberi efek “sentak” yang berbeda meski telah berjarak lebih dari 20 tahun dari konsep visual yang diciptakan Pak Wis.
Eksplorasi visual Pak Wis agaknya terus berkembang dan menemukan wujud terbaiknya pada Mandi Angin yang dipentaskan pada 1999. Di sini Pak Wis menemukan sebuah formula visual, bagaimana sebuah pertunjukan bisa memiliki dua poros yang bisa menghidupkan seisi panggung dengan begitu leluasa. Harus diakui tawaran visual ini adalah salah satu kekuatan utama pementasan ini. Poros pertama adalah buaian kaliang atau wahana permainan mirip komedi putar. Poros kedua adalah rotasi para aktor dalam formasi lingkaran yang sewaktu-waktu dapat berubah. Poros pertama akan menghidupkan dimensi vertikal panggung dan poros kedua akan mengisi dimensi horizontal. Para pemain akan menjadi jembatan yang menghubungkan keduanya.
Yang membuatnya menjadi luar biasa, kedua poros ini dapat dioperasikan secara bergantian atau bersamaan dan terus menerus sesuai kebutuhan. Rotasi-rotasi ini kemudian memberi ekspos pada bagian panggung yang selama ini tidak tersentuh oleh sutradara, pemain dan juga penonton. Sudut-sudut panggung yang selama ini statis bisa digerakan. Keterbatasan panggung sebagai ruang bisa ditekan dan ditarik sesuai keperluan pementasan.
Dengan dua poros ini, gerakan panggung dan eksplorasi visual Mandi Angin menjadi tak terbatas. Para aktor memiliki ruang gerak yang bervarian. Jika pada di dasar panggung, pola lantai telah dibongkar dan dipasang sedemikian rupa, maka dimensi vertikal adalah ruang baru yang sediakan Pak Wis bagi para pemainnya untuk dieksplorasi lebih jauh. Dua poros ini menjadi sistem kerja bagaimana pementasan akan bergulir. Peralihan cerita atau pertukaran adegan dijalankan melalui dua poros ini yang dilesapkan ke dalam sebentuk permainan yang repetitif.
Pada Jalan Lurus permainan itu adalah panjat pinang dan pada Mandi Angin permainannya adalah buaian kaliang. Permainan repetisi itu sesungguhnya dapat dilihat sebagai narasi teks dan narasi visual yang terjalin.
Naskah Pak Wis adalah pementasan drama dengan durasi yang cukup lama. Jika dirata-rata pementasan Pak Wis akan berjalan selama 90 sampai 120 menit. Dialog yang ketat, berbalas-balas sudah menjadi ciri dan bahkan kekuatan pada naskah Pak Wis. Kata dalam dialog-dialog tokohnya mengalami perubahan bentuk dan juga bunyi, bahkan terkadang meninggalkan bentuk aslinya. Perubahan kata itu merupakan satire yang sengaja ditanam Pak Wis dalam naskahnya untuk memberi nafas pada dialognya yang ketat.
Dialog-dialog satire ini terkadang berhasil ditanggap sebagai lelucon oleh penonton. Melihat perubahan kata ini, pola ini mirip dengan teknik standup comedy, dimana dialog pertama adalah set-up dan dialog berikutnya adalah punchline, dan begitu seterusnya. Namun Pak Wis tidak berupaya untuk melucu melalui dialog-dialog itu. Lucu, kata Pak Wis, bagi kita adalah kekonyolan dan kekonyolan itu didasarkan atas kebodohan. Meski menjadi satire dialog-dialog itu tidak kehilangan fungsinya sebagai teks yang membangun dan menyampaikan narasi.
Jika tidak sedang bermain pada narasi teks, maka pertunjukan berjalan melalui narasi visual. Kemampuan Pak Wis untuk mengemas pergerakan pemain, komposisi aktor, properti panggung menjadi kekuatan pada narasi visual ini. Siapa yang menyangka, putaran buaian kaliang bisa lekat dengan imagi kapal yang terhuyung ombak di tengah pelayaran. David Campbell, seorang profesor kajian visual di Sunderland University Inggris menegaskan jika narasi visual dibangun dari serangkaian peristiwa yang saling hubung dan mengemban fungsinya sebagai penyampai cerita.
Di sinilah kekuatan visual Pak Wis, betapa pun narasi visual yang dia bangun mampu memperkokoh narasi teksnya dalam porsi yang pas dan begitu sebaliknya. Dua narasi ini, kekuatan teks dan kekayaan pilihan visual menjadikan pertunjukan Pak Wis sebagai miliknya. Narasi teks dan narasi visual menjadi DNA pertunjukan yang bisa ditelurusi di setiap pementasan Pak Wis.
Warisan
Hari ini, telah 13 tahun lebih sejak naskah drama Pak Wis yang digarapnya sendiri terakhir kali dipentaskan. Sedikit sekali kita menemukan terobosan baru pada bentuk visual panggung teater. Jika ada, DNA ini terlihat sedikit pada seniman yang pernah menjadi “Anak Bumi” yang pernah telibat proses kreatif bersama Pak Wis.
Di tengah masyarakat visual hari ini, pementasan teater, khususnya di Sumatera Barat masih terasa begitu membosankan. Kemajuan teknologi dan teknik-teknik mutakhir yang dengan mudah diakses hari ini ternyata tidak bisa menjadi jalan keluar untuk mengemas sebuah pertunjukan agar bisa memikat secara visual dan juga kontekstual. Ini sungguh bukan masalah baru, Pak Wis telah mencatatnya dalam perjalanannya menyusuri pentas-pentas Broadway di Amerika pada 1986.