PADANG KLIKPOSITIF — Belasan penulis yang memiliki kepedulian terhadap tulisan berbahasa Minang, mendiskusikan nasib tulisan-tulisan berbahasa Minang. Banyak hal dikupas, termasuk diantaranya merencanakan diskusi rutin dan langkah nyata dalam bentuk karya.
Diskusi yang digagas Komunitas Penulis Minang, mengangkat tema Dalam Carito Ado Carito, Berbagi Tips Menulis Cerita Bermuatan Lokal. Menghadirkan Firdaus Abie, sebagai pemantik diskusi. Diskusi berlangsung melalui zoom.
“Diskusi ini bukan yang pertama, tapi sudah pernah beberapa kali, tapi belakangan vakum,” kata Dilla, sang moderator sembari menyebutkan, perencanaan dan eksekusi diskusi kali ini berlangsung kurang dari 24 jam.
Diskusi Kamis (7/3) malam, berlangsung selama dua jam. Banyak ide dan gagasan agar bahasa Minang tetap eksis di tengah-tengah masyarakatnya. Kalau ada bahasa yang sudah hilang, atau punah, saatnya dimunculkan kembali.
Saat membuka diskusi, Firdaus Abie yang sehari-hari Direktur Harian Pagi Posmetro Padang dan penulis novel berbahasa Minang, menceritakan pengalamannya saat turut menekuni menulis dalam bahasa Minang. Ia memulai saat merintis Padang TV, kemudian menghadirkan konten lokal, termasuk “membentuk” presenter dengan konten lokal. Garapannya bersama tim sangat berhasil, sehingga sejak 2008, Padang TV sangat populer karena konten lokalnya.
Ia juga “memindahkan” program dialog di radio Favorite FM menjadi tulisan berbahasa Minang untuk koran. Terbit sekali sepekan selama bertahun-tahun. Termasuk menulis novel berbahasa Minang, serta saat ini sebuah kumpulan Cerpen berbahasa Minang, karyanya dalam proses penerbitan.
Menurutnya, menulis dalam bahasa Minang sangatlah kompleks. Bahasa Minang yang mana? Bahasa Minang sangat banyak. Kita pilih yang mana? Di Padang saja, bisa lebih dari dua atau tiga.
“Bahasa Minang di Padang saja, diantaranya ada Pauah, ada Kuranji. Belum lagi yang lain. Gaya Pariaman berbeda lagi. Ada pula Agam, Payakumbuh, Solok dan sebagainyaa,” katanya.
Setiap daerah ada pula perbedaan. Malahan ada daerah yang hanya dibatasi sungai kecil, bahasanya berbeda. Kenyataan ini menjadi kekayaan bahasa daerah, “lalu kita pakai bahasa lokalnya yang mana?” Firdaus Abie menanyakan perihal tersebut.
Ia kemudian membeberkan, dari pengalamannya saat mempelajari penggunaan dan penulisan bahasa daerah pada tv lokal di Surabaya dan Pekanbaru, kemudian dipraktekkannya saat mengelola program konten lokal di Padang TV.
“Langkah awal, gunakan bahasa daerah yang paling umum digunakan orang di kawasan tersebut, sehingga bahasa yang dipakai dipahami banyak orang. Kalau digunakan bahasa daerah yang lebih spesifik, dijadikan sebagai pendukung saja, sekaligus memperlihatkan perbedaan dan keberagamannya,” katanya.
Ia kemudian memberikan contoh nyata pada novel berbahasa Minang yang ditulisnya. Novelnya ditulis dalam bahasa Minang dialek Padang.
Kemudian pada tokoh lain di novel tersebut, diposisikan bahwa tokoh tersebut berasal dari Pariaman, Lubuak Sikapiang (Pasaman), Ampek Angkek (Agam), Payakumbuh dan Solok.
Langkah lain, kata Firdaus Abie yang juga pegiat literasi dan intruktur menulis jurnalistik mau pun karya tulis kreatif, menulis bahasa Minang setidaknya memiliki dua ciri khas. Pertama, ditulis seperti berbicara. Kedua, jika ditulis dengan panduan tulisan berbahasa Indonesia, maka jangan diartikan kata perkata, atau perkalimat. Tak bisa begitu.
“Sebaiknya simpulkan, baru disampaikan dengan cara menulis seperti kebiasaan bicara,” kata Firdaus Abie yang saat ini sedang mempersiapkan kumpulan cerpen berbahasa Minang, Mangaji Indak Khatam.
Diskusi yang dipandu Dilla, berlangsung hangat dan beragam pandangan mengalir deras. Seakan menjadi momentum bertemunya sudut pandangan berbeda yang bermuara kepada upaya melestarikan bahasa Minang.
Di penghujung diskusi, juga disepakati diskusi lanjutan. Diskusi akan dilaksanakan secara berkala. *