Dt Kodo: Maestro Sijobang Terakhir yang Tampil di PPF 2022

Hayati Motor Padang

PAYAKUMBUH,KLIKPOSITIF- “Itu baru secuil saja,” ujar Asrul Dt Kodo di samping panggung. Lelaki 70-an tahun itu baru saja memainkan salah satu ‘episode’ Kaba Anggun Nan Tongga—suatu cerita rakyat yang pernah sangat populer di Minangkabau. 

 

Malam itu, Selasa (5/12/2022), Dt Kodo ‘hanya’ basijobang sekitar 15-an menit saja. 

 

“Kalau semuanya, itu 64 kaset, bisa sehari semalam,” katanya saat menjelaskan kalau di masa lalu, pertunjukan basijobang bisa berlangsung lama. Untuk menuntaskan seluruh cerita Kaba Anggun Nan Tongga butuh setidaknya satu hari satu malam. 

 

Basijobang sendiri adalah pertunjukan sastra lisan tradisional yang khusus menceritakan Kaba Anggun Nan Tongga. Sambil mendendangkan cerita, Dt Kodo menjentik-jentik kotak korek api dengan jarinya. Jentikan itu semacam metronom. Di bagian tertentu, tempo jentikan bisa cepat dan tiba-tiba menurun tajam di bagian lainnya. 

 

Dengan posisi duduk setengah bersila, Dt Kodo basijobang dengan asyiknya pada malam itu. Di tengah rinai hujan, ia seperti tenggelam dalam cerita yang tengah diperdengarkannnya. Penonton yang hadir di Agamjua Cafe, Payakumbuh, Sumatera Barat saat itu, tampak antusias. 

 

Budayawan, sastrawan, atau seniman yang berasal dari berbagai wilayah dan negara, tampak menyimak dendangan Dt Kodo, memotret, atau mengambil dokumentasi vidio. Beberapa pengunjung mendekat ke panggung pertunjukan, barangkali untuk melihat lebih dekat tradisi yang akan segera punah itu, termasuk Ketua DPRD Sumbar Supardi yang tampak berdiri di bagian depan panggung. 

 

Itu terjadi di malam kedua gelaran Payakumbuh Poetry Festival (PPF) 2022. Festival sastra tahunan di Kota Payakumbuh ini, memang tidak hanya menampilkan dan merayakan puisi modern namun juga pertunjukan tradisi lisan seperti basijobang.

 

Maestro Sijobang Terakhir

 

Sejak umur 20 tahun-an Dt Kodo basijobang ke berbagai tempat, mulai dari acara syukuran, hari-hari besar, hingga, akhir-akhir ini ke festival-festival kebudayaan. Kesenian ini diwarisinya dari seorang guru. Bisa dikatakan, baginya basijobang adalah hidup dan matinya. Jika ia seorang peneliti, maka basjiobang adalah objek penelitian seumur hidupnya. 

 

Usianya telah menginjak 70. Namun hingga kini belum ada pewaris baru. Dt Kodo adalah seniman basijobangterakhir. 

 

Profilnya sudah ditulis oleh banyak media. Basijobang juga merupakan salah satu objek penelitian akademik yang cukup diminati. Berbagai anugrah diraihnya. Terakhir ia menerima Anugrah Kebudayaan dari Pemerintahan Provinsi Sumatera Barat melalui Dinas Kebudayaan Sumatera Barat kategori pelestari seni tradisi Sijobang tahun 2022 ini. 

 

Publikasi, kajian, serta pengakuan formal ini kemudian memudahkan instansi-instansi pemerintah daerah di bidang kebudayaan untuk mengajukannya sebagai Maestro. Pada 9 Desember 2022 nanti ia akan ditetapkan sebagai penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia kategori Maestro Seni Tradisi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.

 

“Sijobang, konon berasal dari gelar Anggun Nan Tongga, yaitu Magek Sijobang,” kata Roby Satria, penggiat Budaya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dengan wilayah Penempatan Kab. Lima Puluh Kota.

 

 Kata kerja bahasa minang ‘ba’ kemudian ditambahkan hingga ia menjadi basijobang, menguatkan kesan bahwa ia adalah suatu permainan atau pertunjukan. 

 

Masih menurut Roby, sejauh yang telah ditelitinya basijobang hanya berkembang di Limapuluh Kota dan memang dirancang untuk mengakomodasi Kaba Anggun nan Tongga. 

 

“Beberapa sumber menyebut bahwa dalam basijobang juga diceritakan Kaba (cerita rakyat) selain Anggun Nan Tongga, namun sejauh yang saya temukan, basijobang memang khusus untuk Kaba Anggun nan Tongga,” katanya. 

 

Namun itu tidak menutup kemungkinan bahwa ada banyak model dan penamaan pertunjukan tradisi lisan sejenis basijobang dengan beragam isi cerita yang pernah hidup di Minangkabau. 

 

Warga Payakumbuh dan Limapuluh Kota sewajarnya berterimakasih pada Asrul Dt Kodo. Berkat dedikasinya, sijobang masih hidup hingga kini. Salah satu keragaman budaya itu masih ada. Namun, satu pertanyaan saat ngobrol-ngobrol usai mentas, terasa demikian memilukan. 

 

“Umur siapa yang tahu, kalau saya tak ada, siapa lagi yang akan basijobang?”

 

Orang-orang di sekitarnya hanya terdiam. Hawa sejuk tepian Batang Agam seolah ikut membekukan  keadaan untuk sesaat. Pakaian kebesaran seorang Datuak yang dipakainya pada malam itu, seolah menjadi kisut di hadapan tanya itu.

Exit mobile version