Dona Dolas Songket: Menenun, Membangun Mimpi dan Memberdayakan Perempuan

Klikpositif Supernova Honda (3000 x 1000 piksel)

SAWAHLUNTO,KLIKPOSITIF – Panggilan telpon dari Jakarta itu masih terus berdering. Dona bergegas mengambil ponsel lalu menempelkan gawai itu ke telinganya. “Kamu harus siap-siap. Kita berangkat ke Brussel,” begitu suara dari seberang pulau itu berpesan. Panggilan telpon itu kemudian terputus. Dona bergeming. Brussel, sebuah kota yang asing, terpisah hampir 11 ribu kilometer dari Desa Lunto Timur, Lembah Segar, Kota Sawahlunto, kampung halaman Dona.

“Kenapa harus ke Brussel?” Pertanyaan itu mengisi seluruh pikiran Dona.

Tak lama berselang, seorang teman dari Hivos menjelaskan kenapa Dona harus berangkat ke Brussel. Hivos merupakan sebuah organisasi kerja sama Internasional yang fokus mempromosikan nilai kemanusiaan, sosial dan budaya. Dan Dona selama beberapa tahun terakhir telah terlibat dalam program-program yang digagas jejaring Hivos.

Tenun Songket Silungkang yang selama ini Dona kembangkan akan menjadi perwakilan Indonesia dalam European Developments Days (edd) yang digelar pada Juni 2017 di Brusel Belgia. Selain membawa beberapa contoh hasil tenun songket Silungkang, Dona juga diminta unjuk keahliannya menenun pada ajang itu. Jadi satu set peralatan tenun harus diangkut dari Sawahlunto ke Belgia.

“Bukan saya yang membawa songket ke luar negeri. Tapi Songket Silungkang inilah yang membawa saya,” kata Dona mengenang perjalanan pertamanya ke Eropa itu.

Dona mempersiapkan segalanya. Dari Indonesia hanya dua orang utusan yang berangkat ke ajang edd tersebut. Peralatan tenun sudah dipacking dan dikirim lebih dulu. Dona dan satu rekannya dari Hivos Indonesia berangkat kemudian. Tapi di Belgia, peralatan tenun yang dikirim dari Sawahlunto tertahan imigrasi. Alasannya peralatan dari kayu harus disertai dokumen legal tertentu sesuai aturan di negara itu. Atas upaya sejumlah pihak, alat tenun Songket Silungkang tersebut akhirnya bisa dibawa ka venue acara.

Pada hari pertama di Ajang edd, Dona memamerkan beberapa helai tenun songket Silungkang. Banyak pengunjung yang ingin membeli songket yang dia bawa, namun aturan pada ajang itu untuk berpameran saja, Dona tidak bisa melakukan jual-beli. Para pengunjung pameran yang terlanjur catuh cinta dengan songket Silungkan itu mencari akal. Beberapa orang mencegat Dona di luar venue. Jual beli internasional pertama Dona pun terjadi di pintu keluar venue acara.

“Syal bertenun motif Songket Silungkang terjual dengan harga 50 Euro. Itu sekitar 800 ribuan lebih,” kata Dona.

Hari berikutnya, setelah peralatan tenun yang sempat tertahan sampai di lokasi pameran. Dona memasangnya satu per satu. Helai demi helai benang direntang dari satu sisi alat tenun ke sisi yang lain. Lalu dia mulai menenun salah satu motif Songket Silungkang yang paling sederhana.

Semua mata pengunjung yang hadir pada acara tersebut memperhatikan apa yang Dona lakukan dengan seksama. Setelah itu, Dona mempersilahkan para pengunjung yang ingin mencoba menenun untuk maju. Ternyata banyak yang antusias dan mengantre ingin mempraktekkan bagaimana mengubah helai-helai benang menjadi selembar kain yang bernilai.

“Perjalanan ke Brussel itu membuka pikiran saya. Tenun Songket Silungkang ternyata tidak hanya sekadar kain jadi, namun ada pengalaman yang penting yang bisa dialami saat menenun,” ujarnya.

Kembalinya dari Eropa, satu mimpi baru lahir di pikiran Dona. Bagaimana Songket bisa membawa orang-orang dari eropa atau belahan dunia lain untuk datang ke Sawahlunto dan merasakan sendiri menenun di ranah asal songket itu. Mimpi itu masih dia pelihara hingga hari ini.

Perjalanan Dona membawa songket hingga ke Eropa tentu bukan sebuah kisah manis belaka. Dona lahir dari keluarga sederhana yang juga menyandarkan hidup pada hasil tenun songket Silungkang. Keluarganya mengelola sekitar 27 orang penenun. Anak sulung dari tiga bersaudara itu telah tumbuh dan berkembang di lingkungan para penenun handal. Sejak usia belia, Dona sudah mengerti ragam benang dan motif-motif sederhana.

Dampak krisis ekonomi 1998 sampai juga ke Sawahlunto. 27 orang penenun yang bekerja untuk keluarganya terpaksa diberhentikan. Keluarganya harus memulai lagi usaha dari awal. Sejak usia kanak-kanak Dona sudah biasa memegang alat tenunnya sendiri. Saat duduk di kelas 6 SD dia menyelesaikan satu lembar tenun songket pertamanya.

“Selama libur panjang sekolah saya selesaikan satu kain bermotif Sambas. Ayah memberi upah Rp 10 ribu,” kata Dona tertawa mengenang peristiwa itu.

Setelah lulus SMA di Kota Sawahlunto Dona melanjutkan studinya di Universitas Negeri Padang. Namun dia sadar betul, bahwa ia harus bekerja keras untuk bisa membiayai kuliahnya sendiri. Dona mengatur jadwal kuliah sedemikian rupa, sehingga pada Kamis sore dia bisa pulang ke Sawahlunto. Dari Kamis hingga Minggu ia akan fokus menyelesaikan kain tenun. Dalam 3 sampai 4 hari itu Dona bisa mengantongi uang Rp 150 ribu.

“Hanya dengan begitu saya bisa tetap kuliah dengan mandiri. Dan saya terus bersyukur dengan kondisi keluarga saya. Kalau tidak begini, saya tidak akan paham bagaimana artinya bekerja keras itu,” ujarnya.

Setelah menjadi sarjana, Dona kembali ke kampung dan melanjutkan menenun. Tapi bagi masyarakat menenun bukanlah pekerjaan untuk Sarjana. Tamatan perguruan tinggi harusnya kerja kantoran atau paling tidak menjadi Pegawai Negeri. Resah dengan kondisi di lingkungannya Dona terpaksa juga merantau. Dia bekerja kantoran di Duri, Riau. Pada 2012 Dona harus pulang kampung, karena sakit.

Selama dua tahun dalam proses penyembuhan, Dona tidak berhenti menenun. Dia melakukan berbagai upaya agar tenun Songket Silungkang bisa menembus pasar yang lebih besar. Pada 2014 dia mendirikan Dolas Songket sebagai wadah bersama masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Di tahun yang sama Dona bertemu dengan staf lapangan dari Lembaga Pengkajian dan Pengabadian Masyarakat (LP2M) sebuah LSM perempuan yang fokus pada penguatan kepemimpinan dan pemberdayaan perempuan di akar rumput.

Prof. Ratni Prima Lita dari Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Andalas menyebut bahwa Dolas Songket yang digawangi oleh Dona dan rekan-rekan menjadi unit usaha yang paling siap untuk dikembangkan. Dia mengatakan dari hasil penelitian kluster tenun di Sumatra Barat bisa dibagi menjadi enam kluster penenun.

“Dari semua kluster tersebut Sawahlunto, Dolas Songket menjadi yang paling siap,” ujarnya.

Setelah bertemu dengan LP2M tersebut Dolas Songket mendapat berbagai pengetahuan dan informasi baru tentang pengembangan bisnis. Dona kemudian mengikuti program Wisausaha Bank Indonesia dan terpilih menjadi 20 Wirausahawan terbaik di Sumbar. Pada 2018, Dona bersama tim dari Provinsi Sumbar mengikuti Festival Indonesia Moscow di Rusia. Terlibat dalam berbagai event nasional dan internasional membuat Dona semakin haus dengan pengetahuan baru. Dia semakin yakin tenun Songket Silungkang punya potensi untuk terus dikembangkan.

Songket Silungkang yang Dona kembangkan telah memiliki pasar yang cukup stabil. Dengan menggunakan berbagai platform digital saat ini Dolas Songket bisa memasarkan sekitar 150 helai tenun songket per bulan. Sebelumnya berhasil menjual 15 helai saja sudah jadi prestasi.

Songket produksi Dolas memiliki beberapa keunggulan. Diantaranya pola dan motif yang unik, padu padan warna yang menarik, dan benang yang diwarnai dengan bahan alami. Ini menjadi keunggulan tersendiri, yang membuatnya siap untuk pasar internasional.  Tapi Dona mengaku masih banyak tantangan yang dihadapi untuk menembus industri yang lebih besar.

“Kalau soal keterampilan para penenun kita sangat handal, tapi mindsetnya yang perlu diubah. Saya ingin menenun itu juga dengan pengetahuan dan wawasan,” kata Dona

Dolas Songket kemudian tergabung menjadi mitra binaan PT Semen Padang yang melakukan beberapa inovasi penting. Salah satunya dengan pelatihan digitalisasi motif songket. Dengan keterampilan olah digital ini diharapkan para penenun lebih siap menghadapi industri yang lebih besar dan semakin dinamis. Selain itu, Dona bersama PT Semen Padang menggagas “Kampung Songket Dolas” di mana para peminat tenun songket Silungkang bisa datang langsung dan merasakan pengalaman menentun di lokasi asal tenun itu sendiri.

“Saat awal berdiri penenun Dolas hanya 3 sampai 4 orang. Dan kini jumlahnya mencapai 32 penenun. Kampung Songket Dolas bisa menjadi cerminan bagaimana kami menggantungkan hidup pada tenun songket. Dan orang-orang yang datang berkunjung ke kampung kami bisa belajar dan merasakan sendiri pengalaman menenun itu. Dengan ini, satu langkah maju mewujudkan mimpi saya,” ujarnya.

Exit mobile version