JAKARTA, KLIKPOSITIF – Penerapan program pencampuran biomassa dengan batu bara _(Co-firing)_ pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang dilakukan PT PLN (Persero) dinilai sudah tepat untuk mendukung transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan (EBT) tanpa memberatkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan, transisi energi fosil ke EBT tanpa mengandalkan APBN bukan hal yang mudah, kondisi menjadi tambah berat dengan berlebihnya pasokan listrik saat ini.
“Kita harus mensiasati sedemikian rupa. Karena PLN bilang _over supply_. Lalu kita ada RUPTL yang sudah ditandatangani hingga 2030. Itu sudah menunjukan arah kalau kita lebih _greener_,” kata Satya.
Menurut Satya, situasi dilematis sektor kelistrikan ini harus disiasati. pasalnya pemerintah ingin menggenjot pemanfaatan EBT tanpa membebani APBN, namun saat ini harga listrik dari pembangkit berbasis EBT sebagian besar belum kompetitif dibanding batu bara.
Pembangkit listrik yang harganya saat ini mampu bersaing dengan PLTU hanyalah PLTS, namun kapasitas pembangkit yang memanfaatkan energi sinar matahari tersebut kecil dibandingkan kemampuan PLTU.
“Begitu kita kurangi fosilnya diganti dengan _renewable energy_ dengan harga hari ini, dimana yang paling murah adalah PLTS. Hidro masih bisa berkompetisi, tapi tidak semua bisa rendah, PLTP juga seperti itu,” tuturnya.
Satya mengungkapkan, _Co-firing_ merupakan salah satu siasat yang tepat untuk meningkatkan porsi EBT dan mengurangi emisi karbon, sehingga target _net zero emmision_ pada 2060 dapat tercapai.
“Karena dengan adanya _Co-firing_ itu berarti PLTU eksisting disuntik biomassa. Itu bisa kurangi emisi karbon sehingga cita-cita kita di 2060 tetap jalan,” kata Satya.
Satya pun memandang saat ini Indonesia sebagai negara berkembang belum mencapai puncak emisi, berdasarkan perhitungan DEN dengan prediksi pertumbuhan ekonomi 6 persen Indonesia baru keluar dari golongan negara dengan pendapatan sedang ke tinggi pada 2043, saat itu baru emisi Indonesia berada di titik puncak. Sektor yang menjadi penyumbang besar pun bukan energi tetapi manufaktur dan jasa.
“Maka kita harus gunakan beberapa cara agar sektor ini juga berkontribusi pada pengurangan emisi karbon,” imbuhnya.
EVP Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PLN, Edwin Nugraha Putra mengatakan, PLN telah memiliki sejumlah insiatif untuk mengejar target porsi EBT sebesar 23 persen dalam bauran energi pada 2025 tanpa membebani APBN di tengah kelebihan pasokan listrik, yaitu mempercepat pengoperasian pembangkit berbasis EBT yang masuk dalam program kelistrikan 35 ribu Mega Watt (MW).
“Seperti PLTP ada 1,4 GW kemudian hidro ada 4,9 GW itu kami percepat prosesnya. Sehingga kita harapkan di 2025 itu bisa beroperasi,” kata Edwin.
Inisiatif berikutnya adalah menerapkan penggantian batu bara sebagai bahan bakar pada PLTU dengan biomassa _(co-firing)_, sehingga biomassa menempati 3 sampai 6 persen dalam porsi EBT pada 2025.
“Kita berharap sampai 2025 nanti sekitar 10-20 persen batu bara digantikan biomassa sehingga kita berharap 3-6 persen bauran EBT pada 2025 berasal dari biomassa,” imbuhnya.
Inisiatif ketiga adalah menggantikan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang tidak tersambung dengan sistem kelistrikan skala besar di wilayah terpencil dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). PLN juga akan menggunakan PLTS dengan total kapasitas 3 sampai 4 GW dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) dengan total kapasitas 600 MW.
“Ini hal utama yang kami lakukan dengn kondisi _over supply_ dengan memanfaatkan yang ada supaya bauran EBT tercapai,” ujarnya.
Menurut Edwin, dengan inisiatif tersebut PLN dapat berhemat dari sisi pengeluaran belanja modal (Capex) untuk mengejar target porsi EBT sebesar 23 persen dalam bauran energi pada 2025.
“Dengan memanfaatkan aset yang ada, kami berharap Capex tidak tinggi dan Opex bisa dioptimalkan,” kata Edwin.
Pada kesempatan yang sama, Pengamat Ekonomi Energi Fahmy Radhi menyarankan pemerintah harus berhitung cermat dalam menerapkan kebijakan transisi energi fosil ke EBT. Pasalnya, untuk merealisasikan rencana tersbut harus menghadapi sejumlah tantangan, yaitu kondisi kelistrikan Indonesia saat ini 65 persennya adalah PLTU yang menggunakan batu bara dan harga jual listriknya paling murah, sementara harga listrik dari pembangkit berbasis EBT mayoritas masih mahal.
Berikutnya adalah karakteristik pembangkit EBT dengan berbahan bakar fosil berbeda dalam menghasilkan listrik, karena sebagian pembangkit berbasis EBT tidak bisa memasok listrik secara terus menerus. Sementara jika harus berbagi beban dengan pengembang listrik swasta ( _Independent Power Producer_ /IPP) pemerintah harus membuat kebijakan insentif yang menarik bagi investor.
“Kalau harus 100 persen itu berat terutama dari sisi pembiayaan. Tidak bisa sepenuhnya dibebankan ke PLN, harus ada investor lain dalam bentuk IPP untuk masuk ke EBT. Juga masalah-masalah lain untuk tarik investor ke EBT butuh _tax insentif_ atau pendanaan perbankan itu bisa diberikan subsidi bunga,” imbuhnya.