KLIKPOSITIF — Sejak tanggal 1 Mei 2023, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan seluruh tingkatannya sudah menunggu kedatangan pimpinan partai politik untuk mengajukan bakal calon legislatif (bacaleg). Mulai dari KPU RI, 38 KPU Provinsi dan 514 KPU kabupaten/kota sudah siap sedia melayani kedatangan parpol. Satu hari, dua hari sampai hari kesembilan, hampir rata-rata tidak ada parpol yang datang, kecuali KPU RI menerima pengajuan bacaleg hari kedelapan. Pengajuan bacaleg berakhir tanggal 14 Mei 2023 pada pukul 23.59 waktu setempat.
Kenapa partai politik mengajukan di masa pengujung pangajuan bacaleg? Kenapa tidak sedari awal? Kenapa mendaftar tidak seusuai dengan tanggal dengan nomor urut parpol?.
Apa sebabnya? Satu penyebab yang sangat kentara adalah parpol tidak punya kader untuk diajukan sebagai bacaleg. Kenapa bisa? Padahal partai politik yang ada di parlemen atau pun tidak, termasuk partai politik baru punya anggota. Yang anggota parpol ini mutlak ada sekurang-kurangnya per seribu jumlah penduduk kabupaten/kota.
Kesimpulan ini sejalan dengan yang disampaikan pakar pemilu nasional, Ferry Daud Liando dalam webinar yang diselenggarakan Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) beberapa waktu lalu. Proses pencalonan anggota legislatif dari parpol masih buruk. Parpol lebih sering merekrut sosok yang sudah berpengalaman di luar parpol. Padahal, kaderisasi parpol semestinya mempersiapkan caleg jauh dari pencalonan.
Menurut penulis, kesimpulan pakar itu belum tajam dan faktual. Nyatanya, pencalonan legislatif dari parpol lebih parah dari sekadar yang disampaikan. Pada level pencalonan legislatif tingkat DPR RI, kesimpulan pakar tersebut ada benarnya. Parpol merekrut tokoh yang berpengalaman dari luar parpol. Selain itu, juga sosok tokoh yang beken dan tajir yang direkrut.
Tapi pencalonan pada level DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, cerita dan faktanya berbeda. Parpol memakai rumus asal mau mencaleg. Ketika mau mencaleg, segala biaya ditanggung oleh parpol. Ini demi terpenuhinya 100 persen kursi di sebuah daerah pemilihan. Ironisnya tidak hanya parpol non parlemen atau partai baru mengunakan pola pencalonan ini, melainkan juga partai besar dan menengah yang ada di parlemen.
Lebih buruk lagi pencalonan legislatif untuk memenuhi kuota 30 persen perempuan. Asal kelaminnya perempuan dan berumur 21 tahun serta sang perempuan mau, diterima untuk diajukan. Apa dan siapa perempuan itu tidak perlu ditanya. Melek politik atau tidak, tidak jadi soal. Intinya mau. Kalau tidak mau, dilanjutkan dengan tawaran tambahan. Selain, parpol menanggung biaya yang ditimbulkan untuk pencalonan, parpol menawarkan bantuan biaya saksi untuk keluarga dan bantuan lainnya.
Soal keterpenuhan kuota perempuan tidak hanya terjadi di level DPRD, tetapi juga untuk DPR RI. Tawaran yang dipakai parpol untuk kaum hawa agar mau mencaleg, tidak jauh berbeda, malah lebih. Selain biaya ditanggung, juga diberikan uang tambahan.
Begitulah faktanya. Parpol tertatih-tatih mencari orang menjadi caleg. Satu parpol untuk memenuhi 100 persen jumlah kursi, mesti mencari 580 calon anggota DPR RI, 2.372 orang calon DPRD Provinsi seluruh Indonesia dan 17.510 calon anggota DPRD Kabupaten/kota se-Indonesia. Totalnya, sebuah parpol paling banyak merekrut 20.462 orang untuk bakal caleg.
Sepanjang kaderisasi parpol buruk, sepanjang pemilu fenomena ini terulang. Karena tidak ada kaderisasi, sepanjang itu pula keterlambatan mengajukan calon ke KPU terjadi. Bakal calon terlambat dapat, maka terlambat pula mengurus persyaratan administrasi bakal calon. Fatalnya, karena hampir semua parpol begitu adanya, di ujung masa pengajuan, parpol ramai-ramai datang ke instansi terkait mengurus admnistrasi syarat calon. Begitu juga dengan rumah sakit dan Puskesmas untuk surat kesehatan jasmani, jiwa dan bebas narkoba. Akibatnya, pelayanan menumpuk di ujung waktu pencalonan.