BUKITTINGGI, KLIKPOSITIF — Pembina Yayasan Fort de Kock Bukittinggi Zainal Abidin menilai terbitnya SP3 (Surat Peringatan Ketiga) dari Pemko Bukittinggi yang meminta Universitas Fort de Kock untuk membongkar sendiri gedung yang berdiri di atas lahan Pemko Bukittinggi, sudah bernilai politis.
“Sudah bernuasa Politis, sehingga sesuai dengan beberapa teori, bahwa hukum itu adalah panglima, tapi sering juga terjadi hukum itu jadi senjata politik,” ujar Zainal Abidin dalam keterangan tertulisnya, Selasa 9 Februari 2021.
Ia menjelaskan, Yayasan Fort de Kock telah mengikat perjanjian jual beli dengan seseorang di Kelurahan Manggis Ganting di Notaris TL, yang kemudian Pemko membeli sebidang tanah di kelurahan yang sama yang letaknya di belakang lokasi yng dibeli yayasan.
Awalnya tidak ada jalan masuk ke lokasi tanah yang dibeli Pemko, sehingga Pemko berusaha untuk mendapatkan jalan akses masuk tersebut. Namun negosiasi Pemko dengan pihak yayasan waktu itu tidak menemui titik terang.
Menurut Zainal Abidin, tanah yang dibeli Pemko tersebut, diantaranya adalah tanah yang sudah terikat perikatan jual beli dengan Yayasan Fort de Kock sejak tahun 2005, dan telah dipanjar Rp425 juta.
“Dalam klausul PPJB tersebut bahwa sekiranya ada di antara mereka yang melakukan perjanjian ini ada yang wafat, maka harus dilanjutkan oleh waris masing masing sampai jual belinya tuntas. Itu makanya dalam perkara gugatan wanprestasi sudah 2 kali dimenangkan oleh Yayasan Fort de Kock, dan sampai saat ini tanah yang digugat tersebut belum dapat dibalik namakan ke Pemko dan masih tetap atas nama Syafri,” tutur Zainal Abidin.
Zainal melanjutkan, pada tahun 2008 yayasan pernah mengajukan Izin Mendirikan Bangunan ( IMB ) ternyata ditolak oleh Pemko dengan alasan bahwa kawasan lokasi Yayasan Fort de Kock ini termasuk kawasan bukit yang dilindungi, walaupun Pemko juga membeli di lokasi tersebut.
Dari tahun 2009 hingga tahun 2011 Yayasan Fort de Kock sering diundang rapat oleh Pemko, yang semua isi rapatnya menawarkan beberapa advis planning jalan di lokasi tanah yayasan untuk jalan ke lokasi DPRD. Pada akhir 2010 disetujui memberikan jalan selebar 6 meter tetapi tata letaknya harus ditarik dari batas pinggir tanah yayasan, yaitu sebelah kanan kita memasuki kampus, dan di sinilah munculnya kisruhnya dikatakan bangunan yang sudah berdiri berada di atas fasum alias fasilitas umum.
Dilanjutkannya, kisruh bangunan tambahan yang dikatakan tidak punya IMB, sebenarnya pada 2016 yayasan telah mengajukan permohonan ke pemko. Bahkan ketika mulai menata denah fondasi datang 4 orang petugas Pemko melihat.
“Waktu itu dia bilang Bapak membangun kan di dalam perkarangan yang udah di pagar serta sebelumnya telah punya izin induk, ya lanjut sajalah. Dengan alasan itu kami lanjut membangun,” kata Zainal.
Pada th 2018 terjadi lagi kisruh yang katanya tanah Pemko terpakai oleh Yayasan Fort de Kock, dan telah diadakan beberapa kali musyawarah antara yayasan dengan pemko untuk mencari solusi, namun tak kunjung menuai kesepakatan.
“Untuk PTUN karena gugatan kami masih prematur yaitu baru peringatan ke dua alias belum keputusan pembongkaran atau peringatan ke 3 maka status keputusannya (NO), sedangkan gugatan perdata wanprestasi dimenangkan oleh yayasan baik di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan tinggi Sumatera Barat, dan pihak Pemko di nyatakan pembeli yang tidak beritikad baik dan di PT perbuatan melawan hokum,” ujarnya.
Zainal Abidin menambahkan, setelah keputusan NO di MA, maka pemko melanjutkan memberikan peringatan ke 3 utk pembongkaran gedung tersebut.
“Walaupun di sisi lain masa jabatan wali kota tinggal menghitung hari, utk melakukan serah terima dengn wali kota terpilih yaitu H. Erman syafar SH, maka untuk mendapatkan sebuah kebenaran yang masih disisakan Tuhan di dunia ini, maka kami yayasan melakukan gugatan lagi ke PTUN Padang 1, gugatan fiktif positif, 2 Gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa,” tambahnya.