Catatan KJ: Naik Kereta China di China

Oleh: Khairul Jasmi

Naik kereta api cepat di China bagai duduk di beranda depan rumah sendiri. Bedanya, rumah kita tak berjalan, sedangkan kereta melaju kencang, 380 km/jam.

Di stasiun saya melihat suami-istri dengan satu anak kecil. Perempuan berkacamata. Anak-beranak ini, asyik main HP. Ibunya bersandar pada suaminya. Tanpa suara. Di pojok kiri belakang ada gerai starbucks. Ramai pula di sana.

Waktu menunggu kereta berhenti, kita mesti berdiri di nomor gerbang yang tertera di karcis. Pintu akan terbuka otomatis, maka naiklah. Maklum orang baru, ragu-ragu, celangak-celengok dulu mencari kursi. Dapat dan duduk dengan nyaman.

Kereta Hexie, atau Harmoni itu, bernama CR400 Fuxing membawa saya dan rombongan selama dua jam. Perjalanan sebagian dari ribuan penumpang pada Selasa (27/08/2024), amat panjang, 900 km lebih. Kereta berkecepatan tinggi, produksi dalam negeri itu, bergerak dari Kota Xìnyáng hendak menuju stasiun terakhir di Nigbo di timur. Sejauh Padang-Sianta, dicapai dalam 10 jam, mungkin.

Kereta itu merupakan salah satu hasil revolusi infrastruktur China, yang dilakukan dalam diam. Diam ketika negara adidaya mengertaknya, China bersikap seperti “anak bodoh,” saja, namun di dalam negeri, mereka bekerja keras. Dan hasilnya telah dirasakan rakyat di sana.

Kereta yang membawa kami, melaju dalam kecepatan konstan, memandang keluar dari jendela kaca, tampak lahan pertanian, bukit dan jalan. Selalu di dinding, jika rel dekat perumahan atau apartemen, mungkin maksudnya untuk meredam bunyi. Bisa juga untuk privasi penghuni.

Bisa jadi seperti inilah kereta whoosh Jakarta-Bandung itu. Bukankah keretanya dari China.

Saya berada di gerbong 10, kursi C, di sebelah Prof Werry Darta Taifur, yang saya lihat sibuk terus menulis. Gerbong saya ini, penuh, setengahnya diisi tentara, ransel mereka memenuhi kompartemen di atas kepala. Tentara itu, tertidur lelap. Tak tahu, darimana dan hendak kemana mereka.

Di deretan kami, duduk seorang perempuan bercelana pendek, yang sejak kami naik sampai turun, main HP terus. Berdetak hati saya, kebiasaan pria wanita bercelana pendek ditiru dari China. Mungkin.

Tadi kami berangkat Stasiun Xuzhou di Yixing menuju Stasiun Xuzhou Dong. Sebelum dan sesudahnya, tak tahu saya, apa nama stasiunnya. Yang saya tahu, belanja di sini pakai Alipay. Manggau pula saya, ragu-ragu dan belum perlu juga.

Stasiun yang tadi kami tinggalkan, sebagaimana jamaknya, besar, tinggi dan sibuk. Bedanya, di sini halamannya luas sekali. Demikian juga stasiun tempat turun, kami melangkah sekitar sekilo, di bawah lantai. Ramai. Lalu dilarikan mobil ke Sinoma, pabrik peralatan pabrik semen milik negara. Untuk urusan ini, China agak laen memang, perlahan tapi pasti, pasar pabrik serupa di Eropa digerusnya.

Kereta berlari kencang di China ini, tiap sebentar masuk stasiun. Penuh. Orang China yang 1,4 miliar itu saja putar-putar di negerinya, maju jaya pasti wisatanya. Menurut petugas hotel, jika seseorang travelling ke semua provinsi di negara itu, tak bisa dijelang semua dalam setahun, kecuali Anda tak capek-capek, tak sakit-sakit dan tak perlu istirahat, mungkin bisa. Mendengar itu, walau sekarang saya dan rombongan pindah dari kota ke kota, itu belum apa-apa.

Jika naik kereta api saja kerja kita di China, bisa lupa anak sama Anda. Panjang rel negara ini, 195 ribu kilometer dengan 5.500 stasiun. Kereta membawa sekitar 10 ribu orang sehari.

Semua kereta itu dikendalikan oleh Biro Kereta Api Tiongkok yang berdiri sejak 1950. Saat ini karyawan perusahaan itu, 2 juta orang. Demikianlah China Railway mengoperasikan kereta penumpang dari Tiongkok ke Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Korea Utara, dan Vietnam. Juga kereta barang. Dan, China telah membangun kereta api di Afrika dan Asia. Di Indonesia, keretanya hening, debatnya yang heboh. ***

Exit mobile version