Catatan KJ ke China: Hangzhou, Inilah Kota Jack Ma yang Keren Itu

Oleh: Khairul Jasmi

Jam 05 pagi, lewat sedikit, Senin (26/8) saya sudah berada di lobi hotel Hyatt Place, Bandar Udara Internasional Xiaoshan, Hangzhou. Belum buka. Sabar satu jam lagi. Saya mencoba keluar, sepi. Dimanakah Jack Ma?

Saya di Hangzhou sekarang, kota tempat dilaksanakannya Asian Games 2022 dan KTT G20 yang ke-11 pada 2016. Bandaranya sebesar kampung. Dari turun pesawat, berjalan sampai letih baru tiba di tempat pengambilan bagasi. Orang berjalan ramai, seperti semut keluar dari sarang.

Baca juga: Curi Mesin Bajak, Tiga Warga Sungai Kamuyang Ditangkap
Dua bandara sudah saya lihat. Jika ini bisa dijadikan contoh, maka China sangat maju. Bandara dipenuhi anak muda, yang perempuannya mayoritas berpakaian ringkas. Yang lain, berpasangan dengan satu anak. Mereka ligat-ligat. Menyeret koper, yang duduk buka laptop dan bermain telepon genggam. Gagah dan cantik.

Hangzhou, ibukota dan kota terpadat di Zhejiang. Dekat dari Shanghai kota yang acap muncul dalam film Hollywood itu. Kota ini masuk kelompok metropolitan paling makmur di China.

Di sini ada Danau Barat, yang sudah jadi warisan dunia Unesco. Hangzhou satu dari 100 kota pusat keuangan dunia.

Hangzhou kota yang luasnya 16 ribu Km persegi dengan penduduk 12 juta jiwa. Pertumbuhan ekonominya 6,7 persen. Dan inilah kota Alibaba raja internet yang terkenal itu. Para miliarder berkumpul di sini, maka tak heran kota ini bertengger di peringkat 11 orang kaya dunia, 6 di Tiongkok. Nomor 1 tentu Beijing disusul Shanghai, Hongkong, Shenzhen dan Guangzhou.

Bekas kota dinasti ini, adalah bagian dari sejarah China yang amat panjang dan jauh ke belakang. Pernah jadi pusat Tiongkok di Utara di bawah Dinasti Jin. Ah dinasti-dinasti ini, sebaiknya tonton saja film Hongkong. Tapi, kata catatan:

Hangzhou diyakini sebagai kota terbesar di dunia dari 1180 hingga 1315 dan dari 1348 hingga 1358.

Kota ini pula yang dihantam amat keras oleh wabah Covid-19 sejak 2020 sampai berakhirnya penyakit dunia itu. Sekarang nyaris tidak ada yang pakai masker. Yang ada bercelana pendek hilir-mudik.

Sejak 1992 Hangzhou tumbuh menjadi kota industri, dan basis manufaktur China, apalagi sekarang. Tak dapat yang akan disebut. Kita masih ada yang anggap enteng China, ternyata sangat maju. Industrinya makin berkembang: obat-obatan, teknologi informasi, alat berat, komponen otomotif, peralatan listrik rumah tangga, elektronik, telekomunikasi, bahan kimia, serat kimia dan pengolahan makanan.

Kota nan indah ini dikenal sebagai “kota sutra,” dan menjadi andalan wisata China. Tapi, saya dan rombongan tak bisa berwisata, maklum jadwal melihat pabrik-pabrik semen China, yang ketat. Melihat guna belajar bagaimana menerapkan teknologi yang smart, tenaga kerja yang ramping dan hasil yang maksimal. Lihat saja dulu, soal diterapkan atau tidak, urusan lain.

Mudah-mudahan kami bisa melihat dua masjid peninggalan pedagang dan pengelana Arab serta Mesir. Tapi tak berharap bersua Jack Ma. Dia anak pemusik dan pendongeng. Pada 2021 miliarder itu bikin gempar karena menghilang dari publik selama 2 bulan. Sama dengan Liziqi youtuber nomor satu di negeri tersebut, tak muncul-muncul lagi. Konten-kontennya tanpa suara tapi memperlihatkan dia bertani dan membuat kuliner. Semua tentang budaya tradisional Tiongkok. Ia berhenti membuat konten sejak 2021 padahal pengikutnya 19,8 juta. Konten-kontennya bisa ditonton 132 juta dan puluhan juta.

Jack Ma sudah jadi buku, anak miskin itu, mungkin punya perusahaan sendiri, yang khusus menghitung uangnya. Ia kini aktif di bidang pertanian dan makanan. Kalau sudah saya, apa saja bisa dibuat.

Ke pabrik semen

Saya telah selesai sarapan. Nikmat. Duduk di lobi mendengar seorang pria China menelepon dengan suara keras dan cepat. Lebih cepat dari suara Andy Lau kalau sedang marah-marah dalam film. Tak mengerti saya.

Pak Amir dan anaknya sudah muncul di lobi, tapi kawan-kawan dari Semen Padang dan Semen Indonesia, belum. Mungkin sedang sarapan. Prof Werry biasanya jalan pagi, tapi kali ini saya belum melihatnya, atau saya yang luput. Pak Arif, Dirut Semen Padang sejak kemarin bersiap-siap terus mau nonton bola SPFC. Peduli benar dia atas perkembangan sepakbola. Iskandar Lubis dan Boy Aditya, seperti saya sesekali lihat HP.

Sekarang pukul 8 pagi kurang, sebentar lagi kami akan ke sebuah pabrik semen. Ini akan melelahkan, tapi tak apalah, tugas mesti dikerjakan. Di China pabrik semen jumlahnya tak tanggung-tanggung. Pada 2022, ada 875 pabrik. Wajar sebab jumlah penduduknya saja lebih 1,4 miliar. Bayangkan berapa unit rumahnya. Belum lagi kota-kota yang dibangun, kawasan industri, jalan raya, jembatan, bandara dan entah apalagi. Kalau tak percaya tanya saja Pak Dahlan Iskan yang sering sekali ke Tiongkok. Entah benar, entah tidak, kata Bill Gates Tiongkok telah menggunakan 6,6 gigaton semen dalam tiga tahun terakhir dibandingkan dengan 4,5 gigaton yang digunakan AS dalam 100 tahun. Bandingkan 3 dan 100 tahun. Dilibasnya Amrik oleh China. Satu gigaton sama dengan 1 miliar metrik ton atau 1 triliun kg.

Lalu apa yang membuat negara Asia Timur ini bisa maju secepat itu? Negara itu melahirkan banyak sekali kaum intelektual tinggi tentang bisnis. Kalau ini sudah sejak zaman lampau, setidaknya sejak eksodus dari sana oleh berbagai sebab, perdagangan, pemberontakan, perang seperti Taiping yang memicu kemiskinan kian akut. Juga karena pasukan Inggris yang melibas China pada 1800. Maka, 1850 orang-orang China menyerbu Amerika untuk bekerja di sektor pertambangan. Mereka telah berlayar ke Nusantara jauh sebelumnya dan pada saat yang sama.

Dan kami pun berangkat, HP Huawei saya, yang tahan banting itu, saya bawa pulang ke rumahnya, tapi tak ada yang tertarik. Ya sudahlah. ***

Exit mobile version