KLIKPOSITIF – Bangunan Museum Istano Basa Pagaruyung memiliki tiga lantai dimana setiap lantai memiliki fungsi masing-masing. Rumah Gadang ini dulunya ditempati oleh Bundo Kanduang yang mengatur segala sesuatu atau urusan di Singgasana yang berada di tengah dan berhadapan langsung dengan pintu rumah.
Di lansir dari laman Wikipedia, lantai pertama Museum Istano Basa Pagaruyung disebut juga Singgasana merupakan tempat Bundo Kanduang melihat-lihat siapa yang datang. Bundo Kanduang juga yang mengatur makanan yang diberikan untuk tamu dan mengatur tempat duduk tamu sesuai kepentingan dan darimana ia berasal.
Kemudian, lantai dua disebut juga Anjuang Peranginan atau Anjuang Pingitan. Disini, seseorang yang akan dijadikan Bundo Kanduang akan dilantik secara agama dan ilmu khusus untuk meneruskan.
Sedangkan di lantai tiga merupakan tempat yang tinggi dari yang paling tinggi, tempat pusaka diturunkan yang berarti tempatnya seorang raja akan dilantik dan diberi ilmu.
Di Singgasana Bundo Kanduang ini terpajang lukisan Raja Pagaruyung terakhir yaitu Sultan Alam Bagagarsyah. Lukisan ini berada di Kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Batusangkar karena dapat diselamatkan saat Museum Istano Basa Pagaruyung terbakar pada 2007.
Singgasana ini dilingkari dengan tirai yang terjuntai di sisi kanan, kiri dan depan. Disinilah Bundo Kanduang duduk sambil melihat-lihat siapa yang datang atau yang belum datang apabila ada rapat dan mengatur segala sesuatu di atas Rumah Gadang.
Daulat Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagarsyah merupakan Raja Alam Minangkabau pada abad ke-19.
Nama asli dari Sultan Alam Bagagarsyah adalah Sultan Tunggal Alam Bagagar Ibnu Khalifatullah yang lahir di Tanah Datar pada 1789. Sultan Alam Bagagarsyah meninggal pada 12 Februari 1849 di Batavia.
Menurut Penulis Gemala Dewi dalam bukunya Arsitektur Vernakular Minangkabau (2010), menjelaskan dalam tata ruang di Rumah Gadang, Singgasana Bundo Kanduang berada pada lanjar paling belakang yang disebut Lanjar Bilik, karena terdiri dari deretan bilik-bilik untuk tempat tidur.
Bilik-bilik ini diperuntukan bagi orangtua, perempuan yang sudah menikah dan anak-anak. Bilik ukurannya lebih kurang 2,5 x 3 meter, ukuran ini tentu lebih kecil dari ukuran bilik sekarang. Karena ukurannya kecil, bilik hanya dapat memuat satu tempat tidur dan menyimpan pakaian.
Dalam pepatah dikatakan: Biliak dalam aluang sibunian, ambun puruak pegangan kunci, tanpaik basimpan basisegeh, tampaik tidua puti bakuruang, lalok malam sambia bamimpi rasian nan gaip manyarupoi, alamat manuju kasasaran, dilahia tampek katiduran, dibatin nan samo baukuran (Bilik dalam alung sibunian, embun purukpegangan kunci, tempat penyimpan dan berkemas, tempat tidur puteri berkurung, tidur malam sambil bermimpi, mimpi ghaib menyerupai, alamat menuju kesasaran, di lahir tempat tidur, di batin yang sama berukuran).
Maksud pepatah ini, bilik adalah tempat menyimpan berbagai benda berharga termasuk benda pusaka yang dimiliki kaum agar tersimpan dengan aman. Bilik juga tempat tidur yang diperuntukkan untuk saudara- saudara perempuan mengikut alur garis keturunan ibu.
Dengan demikian bilik adalah lambang kedamaian dan ketenteraman, damai dan tenteram sebagai tempat menyimpan benda dan tenteram untuk tempat istirahat dan tidur.
Bilik yang ada juga diurutkan untuk ditinggali para putri raja dan keluarganya masing-masing.
Bilik pertama atau 'pangkal rumah' sebelah kanan dihuni oleh putri tertua dan keluarganya, disusul kamar berikutnya untuk para adik –juga beserta keluarga mereka masing-masing. Bilik terakhir biasanya disebut sebagai 'ujung rumah'. Selain itu ada selasar yang mengarah ke dapur.
Bundo Kandung yang berada di Singgasana sebagai Limpapeh Rumah nan Gadang memiliki tugas untuk memberikan bimbingan dan pendidikan serta memberikan contoh yang baik terhadap anak yang dilahirkannya serta semua anggota keluarga di dalam rumah tangga serta kaumnya.
Menurut adat Minangkabau, Bundo Kanduang memiliki posisi dan kedudukan sosial yang sangat penting, yaitu sebagai penerus keturunan, pewaris sako dan pusako, penyimpan hasil ekonomi, pemilik rumah (tempat kediaman), dan penentu keputusan.
Bundo Kanduang tidak hanya berfungsi sebagai penerus keturunan, tetapi juga terlibat dalam musyawarah di keluarga, kampung, daerah, dan negerinya.
Hal ini sangat sejalan dengan pernyataan bahwa perempuan Minangkabau merupakan limpapeh rumah gadang atau tiang utama dan juga sebagai kunci harta pusaka keluarga.
Seorang Bundo Kanduang harus menjadi panutan dalam kehidupan. Oleh sebab itu, ada beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang Bundo Kanduang yaitu benar, jujur, dipercaya lahir dan batin, cerdik, pandai bicara dan mempunyai sifat malu.
Jadi dengan segala sifat dan perannya itu, Bundo Kanduang menjadi pengatur segala sesuatu atau semua urusan di Singgasananya. (*)
OPINI: Irfan Taufik