Budidaya Maggot Dapat Mengurangi Sampah di TPA, DLH Provinsi Dorong Budidaya di Setiap Daerah di Sumbar

Sisa makan maggot bisa untuk pupuk organik, karena menghasilkan pupuk padat dan cair

Maggot hasil budidaya di Indolarva Kenagarian Sungai Antuan, Kecamatan Mungka, Limapuluh Kota

Maggot hasil budidaya di Indolarva Kenagarian Sungai Antuan, Kecamatan Mungka, Limapuluh Kota (KLIKPOSITIF/Joni Abdul Kasir)

Klikpositif Supernova Honda (3000 x 1000 piksel)

LIMAPULUH KOTA, KLIKPOSITIF – Budidaya larva lalat Black Soldier Fly (BSF) atau maggot tidak hanya mampu mencukupi pakan ikan dan ayam. Budidaya maggot ternyata juga bisa mengurai persoalan sampah.

Untuk itu Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Barat (DLH Sumbar) mendorong kelompok masyarakat untuk budidaya maggot. Bahkan untuk mengetahui lebih dalam DLH Sumbar mengajak DLH kabupaten dan Kota meninjau langsung budidaya maggot di Mungka.

Budidaya maggot BSF ini dilakoni oleh Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) RAHMAT sejak Maret 2020 di Nagari Sungai Antuan, Kecamatan Mungka, Limapuluh Kota. Dari 14 anggota kelompok perikanan ini, 4 orang telah mulai budidaya. Mereka telah menetapkan budidaya maggot sebagai unit usaha baru dari Pokdakan dan memberi nama Indolarva.

Owner Indolarva Hirmon menjelaskan, budaya maggot SBF cukup mudah dan murah karena sampah organik bisa pakan maggot. Namun tentu saja melalui penggilingan dan fermentasi.

“Sampah apa saja dimakan maggot ini, mulai dari sampah sayuran, buah-buahan di pasar. Pokoknya yang bersifat organik dimakannya,” terangnya, Senin, 20 April 2021.

Kata Hirmon, maggot membutuhkan sekitar 10 ton perhari. Sampah tersebut mereka kumpulkan dari pasar Mungka dan pasar lain yang dekat dari lokasi budidaya. Saat ini hasil budidaya belum mereka jual, hanya untuk memenuhi kebutuhan pakan ikan dan ayam.

“Selain bisa mengurai sampah sampai ke Tempat Penampungan Akhir (TPA), persoalan pakan yang selama ini kami rasakan terjawab,” tuturnya.

Menurutnya, pakan dari maggot untuk ikan dan ayam lebih bagus dibanding pakan pabrik. Ikan dan ayam cepat besar menjadi salah satu keuntungan pakan alternatif dari maggot.

“Kemudian sisa makan maggot bisa untuk pupuk organik, karena menghasilkan pupuk padat dan cair,” ungkapnya.

Kemudahan budidaya juga dirasakan Prima Santhos. Dia menjelaskan, 1 gram maggot butuh 9 kilogram sampah organik hingga panen. Namun saat ini mereka masih harus mengumpulkan sampah dan dibawa ke tempat pengolahan.

“Kalau bisa ada alat penggilingan bisa langsung dibawa ke pasar, sehingga proses penggilingan bisa dilakukan ditempat dan hasil penggilingan dibawa ke penangkaran,” katanya.

Prima juga merinci siklus pembentukan maggot mulai telur, ditetaskan dibak penetasan selama satu Minggu. Lalu Minggu kedua masuk ke bak pembesaran, Minggu ke-tiga menjadi pupa, empat hari langsung dewasa dan hari ke lima dan enam masa kawin dan hari kedelapan BSF mati dan mulai siklus baru lagi.

“Jadi calon indukan dan calon produksi. Calon indukan ada wadah tersendiri dan untuk produksi dalam wadah khusus pula,” katanya.

Sementara itu Kepala Dinas DLH Sumbar Siti Asiyah optimis target pengurangan sampah 70 persen akan tercapai jika daerah mampu menciptakan budidaya baru di kabupaten dan kota masing-masing. Apalagi budidaya bisa menjadi sumber pendapatan baru pembudidaya.

“Kita ingin menumbuhkan semangat kawan-kawan di daerah untuk menyelesaikan persoalan sampah. Salah satunya dengan budaya maggot ini, kawan – kawan di daerah bisa melakukan pembinaan kepada kelompok perikanan,” ujarnya.

Exit mobile version