SOLOK,KLIKPOSITIF – Lebih kurang 350 tahun menjajah Indonesia, Belanda meninggalkan berbagai bentuk peninggalan yang bernilai sejarah di seantero Nusantara, terutama dalam bentuk bangunan.
Tidak terkecuali dengan daerah Kota Solok, Sumatra Barat. Jejak Belanda bisa terlihat jelas dari bangunan penangkap mata air (Broncaptering) Pintjoeran Gadang yang ada di kelurahan Tanah Garam Kota Solok.
Secara kasat mata, bangunan ini masih terlihat kokoh dan tidak termakan usia sama sekali. Kurang tiga tahun , bangunan berbentuk persegi tersebut akan berusia satu abad, mulai dioperasikan sejak tahun 1923, pada masa penjajahan Belanda di bumi Pertiwi.
Dari penelusuran Klikpositif di lokasi, terdapat dua bangunan bak yang saling terhubung. Pertama, broncaptering berukuran lebih kurang 4 x 4 meter. Di dinding bagian depan masih membekas jelas tulisan berbahasa Belanda 'Brongebouw', Anno 1923 yang merujuk pada tahun peresmian bangunan tersebut.
Di dalam bangunan ini, bermuara sekitar dua sampai tiga mata air dari Bukik Pincuran Gadang. Air yang mengalir memang seperti pincuran. cukup deras. Debit air dari mata air itu lebih kurang 12,5 liter per detik.
Dari bangunan utama tersebut, air kemudian dialirkan dengan sistem distribusi gravitasi menuju bangunan reservoir yang memiliki ukuran yang lebih besar. Sama dengan bangunan pertama, bangunan reservoir ini juga dibangun sekitar tahun 1923.
Saat ini, bangunan peninggalan Belanda tersebut dikelola oleh PDAM kota Solok, dan menjadi sumber air minum utama. Ribuan masyarakat kota Solok menggantungkan kebutuhan airnya dari Bron Captering Pintjoeran Gadang.
Menurut juru kunci Bron Captering Pincuran Gadang, Erizal, sebetulnya, bangunan tersebut sudah dimulai pengerjaan pembangunannya sejak tahun 1800-an dan baru diresmikan pemakaiannya pada 1923.
“Menurut sejarah yang saya terima secara turun temurun, pengerjaannya sudah dimulai sejak tahun 1800-an dan baru selesai dan dipergunakan tahun 1923,” ungkapnya pada Klikpositif, Minggu (12/7/2020).
Diceritakannya, dulu sempat bangunan tersebut akan dipugar, namun setelah dicoba untuk memecahkan tembok bangunan tidak bisa karena kuat material bangunannya. Rencana pemugaran akhirnya diurungkan sampai sekarang.
“Uniknya, kalau kita perhatikan bangunannya tidak pakai besi, namun masih sangat kuat sampai saat ini. Bangunan Belanda memang terkenal ketahanannya, masih kokoh sampai sekarang,” ceritanya.
Selain dari bangunan yang masih sangat kokoh sampai saat ini, peninggalan lain yang bisa dijumpai di lokasi ini adalah jenis gembok yang digunakan. Menurut Erizal, gembok tersebut belum pernah diganti sejak pertama sampai saat ini.
Diceritakannya, gembok yang dipakai ada dua buah, dari fisiknya memang terlihat tulisan seperti huruf kanji Jepang. Tidak jelas, namun menurut Erizal, walaupun bertuliskan huruf Jepang, gembok tersebut masih peninggalan Belanda.
“Beberapa kali ada orang Jepang berkunjung kesini, melihat gembok ini dia tertarik dan ingin menggantinya, tapi kami tidak bersedia karena juga bernilai sejarah. Masih bagus sampai sekarang, tidak ada macet,” terangnya.
Mitos Bak Emas dan Perempuan Penunggu Mata Air Pincuran Gadang
Beragam cerita mistis juga berkembang ditengah masyarakat sekitar soal adanya penunggu di daerah mata air Pincuran Gadang. Konon, ada sesosok perempuan yang menunggui mata air yang ada di kawasan Bukit.
“Jadi, mata airnya tidak disini (bangunan Belanda), tapi ada di areal sekitar bukit, kalau bangunan ini hanya bak penampung dari mata air yang ada,” terang Erizal.
Dituturkannya, pernah beberapa kali orang dari Jawa datang ke lokasi tersebut untuk mencari emas peninggalan Belanda yang konon katanya dikubur di lokasi perbukitan tersebut.
Cerita yang diterima dari orang-orang tersebut, ada tiga buah bak berukuran sekitar 1×1 meter di kawasan sumber mata air. Satu buah bak mata air, satu buah bak berisi emas dan satu lagi bak berisi logam.
“Menurut mereka begitu, tapi saya juga tidak tahu, ada emas dan logam serta penjaganya, tapi saya larang untuk mengambilnya, takutnya nanti malah membawa efek buruk terhadap sumber air dan masyarakat sekitar,” tegasnya menceritakan.
Selain itu, juga pernah ada orang yang datang untuk mencari emas di lokasi sekitar dengan menggunakan metal detector khusus. Saat dilakukan pengecekan, memang terdeteksi ada emas dan secara kasat mata terlihat. Tapi saat diambil, sudah tidak ditemukan lagi.
Masih banyak lagi cerita mistis atau mitos lainnya, Termasuk soal ular besar penjaga bukit dan juga kuda emas yang kadang terlihat terbang di kawasan bukit, namun tentu tidak bisa dipastikan kebenarannya, akan tetapi itu melengkapi khazanah sejarah peninggalan Belanda di Pincuran Gadang.
Dari cerita mulut ke mulut yang diterima Erizal terkait sejarah pembangunan bak air di Pincuran Gadang itu, memang tersebut pula belasan orang pekerja yang meninggal dalam masa pembangunan bak tersebut.
“Konon ada belasan orang yang saat itu “kerja paksa” meninggal dalam proses pembangunan, karena pengerjaannya juga cukup lama, dan baru selesai 1923, kalau malam cukup seram disini,” bebernya.
Dijaga secara turun temurun
Juru kunci mata air Pincuran Gadang tidak sembarang orang, namun diwariskan secara turun temurun sejak berdiri pada tahun 1923. Pertama, Belanda menempatkan Mak Sudin Kaliang sebagai juru kunci.
“Yang pertama menjadi juru kunci yakni paman dari Bapak Saya, Mak Sudin Kaliang namanya, beliau yang disuruh menjaga lokasi ini pertama kali pada zaman Belanda itu,” terang juru kunci Bron Chaptering Pincuran Gadang, Erizal.
Menjaga distribusi air dari mata air Pincuran Gadang memang bukan tugas biasa, sebab, ribuan orang di kota Solok menggantungkan kebutuhan airnya dari sumber ini. Wajar dijaga secara turun temurun.
Dari Mak Sudin Kaliang, juru kunci mata air Pincuran Gadang selanjutnya dipercayakan kepada pak Surin. Kemudian dilanjutkan ke pak Rasainal dan terakhir dipercayakan kepada pak Erizal. Masih satu keluarga.
“Tidak bisa diganti dengan yang lain, sebab yang tahu daerah ini bisa dibilang keluarga kami, orang PDAM pun tidak tahu mana sumber mata air yang sebenarnya,” bebernya.
Menurutnya, sumber mata air sebenarnya di lokasi tersebut ada beberapa buah, di mata air tersebut juga ada berupa bak kecil seukuran 1×1 meter, dan mengalir ke penampungan pertama.
Selain bangunan bak penampungan air peninggalan Belanda, di lokasi juga dibangun sebuah bak lagi untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat kota Solok. Bak tersebut memanfaatkan mata air yang ada di lokasi bangunan.
“Ini ada mata air satu lagi dibuatkan bak penampungan oleh pemerintah daerah, memang tidak sebesar yang ada di bangunan Belanda, tapi lumayan untuk membantu ketersediaan air,” terang Bapak empat anak tersebut.