Berpakaian Adat Penghulu di Istano Basa Pagaruyung, Pertahankan Budaya Minangkabau

Tanah Datar

Berpakaian Adat Penghulu di Istano Basa Pagaruyung, Pertahankan Budaya Minangkabau

Berpakaian Adat Penghulu di Istano Basa Pagaruyung, Pertahankan Budaya Minangkabau (tambominangkabau.com)

KLIKPOSITIF – Luhak Nan Tuo memiliki kebudayaan yang sangat unik dan tetap terjaga baik hingga kini. Orang Minangkabau sangat kuat mempertahankan adat dan budaya misalnya dalam hal berpakaian.

Bila di suatu Rumah Gadang atau di Museum Istano Basa Pagaruyung menggelar upacara adat maka seluruh ketua adat atau penghulu harus memakai pakaian adat seorang penghulu

Dilansir dari laman www.perpustakaan.id, menyebutkan pakaian adat Penghulu hanya digunakan oleh ketua adat atau orang tertentu saja, dimana dalam cara pemakaiannya pun diatur sedemikian rupa oleh hukum adat yang berlaku.

Pakaian adat ini terdiri atas beberapa perlengkapan diantaranya Deta, baju hitam, sarawa, sesamping, cawek, sandang, keris, dan tungkek.

Deta atau destar adalah sebuah penutup kepala yang terbuat dari kain berwarna hitam gelap biasa yang dililitkan untuk membuat kerutan. Kerutan pada Deta melambangkan seorang Penghulu saat akan memutuskan sesuatu perkara hendaknya terlebih dahulu dapat mengerutkan dahinya untuk mempertimbangkan segala baik dan buruk setiap hasil dari keputusan. Deta sendiri dibedakan berdasarkan pemakaiannya menjadi Deta Raja untuk seorang raja, kemudian Deta Gadang dan Deta Saluak Batimbo untuk Penghulu.l

Baju Penghulu umumnya berwarna hitam. Baju ini terbuat dari kain beludru. Warna hitamnya melambangkan tentang makna kepemimpinan. Segala puji dan umpat haru dapat diredam seperti halnya warna hitam yang tak akan berubah meski warna lain ikut campur.

Sarawa adalah celana penghulu yang berwarna hitam. Celana ini memiliki ukuran besar pada bagian betis dan paha. Ukuran inilah yang melambangkan seorang Penghulu berjiwa besar dalam melaksanakan tugas dan mengambil keputusan atas suatu perkara.

Sasampiang adalah selendang merah berhias benang makau warna warni yang diletakan di bahu pemakainya. Warna merah selendang melambangkan makna keberanian, sementara hiasan benang makau melambangkan ilmu dan kearifan.

Cawek atau ikat pinggang berbahan sutra yang dikenakan untuk menguatkan ikat celana sarawa yang longgar. Kain sutra ini melambangkan jika seorang penghulu harus cakap dan lembut saat memimpin, selain itu juga sanggup mengikat jalinan persaudaraan antar masyarakat yang dipimpinnya.

Sandang adalah kain merah yang diikatkan di pinggang sebagai pelengkap pakaian adat Minangkabau. Kain merah ini memiliki segi empat, melambangkan bahwa seorang penghulu harus tunduk pada hukum adat yang berlaku.

Keris dan Tongkat, Keris diselipkan di pinggang, sementara tongkat digunakan untuk petunjuk jalan. Kedua kelengkapan ini adalah simbol bahwa kepemimpinan merupakan sebuah amanah dan tanggung jawab besar.

Sementara itu, menurut Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang, Novia Juita dalam jurnal penelitian berjudul Nama dan Makna Bagian Pakaian Penghulu Minangkabau, menyampaikan nama-nama pakaian Penghulu bagian kepala adalah saluak, bagian badan adalah baju hitam lapang, baju tidak bersaku, siba batanti/leher tidak berbuah, langan gadang, taburan benang emas, lilitan benang makau, salempang, si sampang, cukia/ragi benag emas, motif pucuak rabuang, cawek, keris, dan tungkek. Pakaian Penghulu bagian kaki adalah sarawa hitam gadang kaki, dan tarompa.

Setiap nama bagian-bagian pakaian Penghulu mempunyai makna, yaitu saluak melambangkan masyarakat Minangkabau yang selalu bermusyawarah, dan nanang seribu akal, maksudnya seorang penghulu tidak boleh terburu-buru dalam mengambil keputusan.

Baju hitam lapang melambangkan bahwa perkataan seorang Penghulu tidak dapat dirubah lagi, hitam tetap hitam karena yang dikatakan seorang penghulu merupakan hasil musyawarah bersama. Baju tidak bersaku melambangkan kejujuran seorang penghulu, tidak pernah berpura-pura, dan tidak mengambil keuntungan dari anak kemenakan.

Langan gadang melambangkan seorang Penghulu berfikiran luas, sabar, cerdas, dan bijaksana. Taburan banang emas melambangkan kekayaan alam Minangkabau, kemampuan berusaha, dan menabung. Lilitan benang makau melambangkan tanda kebesaran penghulu yang memegang peraturan sehingga tangannya tidak dijangkaukan sekehendak hati.

Salempang melambangkan seorang penghulu berkecukupan dalam menyediakan apapun yang sejalan dengan ilmu adat, siap menerima anak kemenakan yang telah kembali dari kemungkaran dan tunduk kepada kebenaran menurut adat, dan segala sesuatu harus melalui kesepakatan bersama.

Sarawa hitam gadang kaki melambangkan seorang penghulu agar senantiasa melangkahkan kaki ke jalan yang benar demi anak kemenakan dan orang-orang senagari, idak tersangkut dalam berjalan, dan selalu berada di jalan yang lurus.

Si sampiang melambangkan seorang penghulu mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidangnya, dan selalu berguna bagi orang lain.

Cukia/ragi benang emas melambangkan bahwa masyarakat dalam kehidupannya agar selalu berguna bagi orang lain. Motif pucuak rabuang melambangkan anak kemenakan karib selalu mendapat perlindungan dari penghulu.

Cawek/ikat pinggang melambangkan penghulu harus melindungi anak kemenakan, harus pandai menahan emosinya, dan harus bisa mengikat anak kemenakannya dengan kata-kata yang benar.

Keris melambangkan ganti lidah seorang penghulu, ilmu, paham dan keyakinan yang bulat untuk memelihara dan menjalankan kewajiban penghulu, dan mempunyai kekuasaan untuk melindungi kaumnya.

Tungkek/tongkat melambangkan penghulu bukan orang yang telah tua, melainkan orang yang dituakan dalam sebuah negeri, kemakmuran negeri, karena penghulu mampu menopang dirinya sendiri disamping kewajibannya menopang adat, dan penunjuk jalan yang lurus, dan sebagai penegak kata yang benar.

Tarompa japik/sendal jepit tidak bertumit melambangkan seorang penghulu dialasi dengan kebaikan, talinya melambangkan semua tindakan dan pekerjaan harus ada ukurannya, sedangkan alasnya melambangkan seorang penghulu siap untuk mendaki dan menurun dalam pekerjaannya.

Jadi begitu banyak makna pakaian seorang penghulu maka hal ini harus terus dipertahankan sesuai pepatah adat tak lakang dek paneh, tak lapuak dek hujan. (*)

OPINI: Irfan Taufik

Exit mobile version