Begini Kondisi Padang Sebelum Dua Terminal Jadi Pasar Modern

Dulu para pedagang bisa berjualan di sekitaran Terminal Lintas Andalas dan terminal angkutan kota Goat Hoat

Terminal Goan Hoat yang dulunya ramai dan menjadi pusat ekonomi masyarakat Padang hilang setelah dibangun SPR.

Terminal Goan Hoat yang dulunya ramai dan menjadi pusat ekonomi masyarakat Padang hilang setelah dibangun SPR. (istimewa)

Klikpositif Supernova Honda (3000 x 1000 piksel)

PADANG, KLIKPOSITIF — Selain menjadi pusat pemerintahan, sebelum tahun 2000-an Kota Padang merupakan pusat kegiatan perekonomian Sumatera Barat. Kota Padang merupakan pintu masuk dan keluar berbagai jenis komoditi barang dagang dari berbagai daerah.

Itu disebabkan karena Kota Padang memiliki sarana prasarana transportasi yang lengkap dan menunjang. Misalnya di jalur laut, kota Padang memiliki pelabuhan Teluk Bayur, kemudian di jalur udara Kota Padang memiliki bandara dan di jalur darat, dulu kota Padang juga memiliki terminal untuk angkutan umum yang digunakan untuk bongkar muat barang.

Dosen Ilmu Sejarah Unand, Armansyan Zubir yang juga pedagang di Pasar Raya Padang ini saat berbincang dengan KLIKPOSITIF mengatakan, dulu Kota Padang memiliki dua buah terminal, yaitu terminal Lintas Andalas yang lokasinya berada di Plaza Andalas (PA) sekarang ini dan terminal Goan Hoat untuk angkutan kota yang lokasinya berada di Sentral Pasar Raya (SPR).

Namun pada awal tahun 2000-an pemerintah Kota Padang mengeluarkan kebijakan untuk memindahkan terminal Lintas Andalas ke Aia Pacah. Kemudian, pemerintah membangun Plaza Andalas di lokasi terminal tersebut dan pemerintah Kota Padang juga mengubah terminal Goan Hoat menjadi Sentral Pasar Raya (SPR).

“Tidak adanya lokasi yang memadai untuk bongkar muat barang sehingga memberi dampak buruk terhadap perkembangan Pasar Raya itu sendiri”, jelasnya.

Dulu, ketika masih ada terminal Lintas Andalas dan terminal angkutan kota Goan Hoat, para konsumen itu ada yang datang dari berbagai daerah seperti dari daerah Muaro Bungo, Medan, Riau, Bengkulu dan lain sebagainya. Pada umumnya mereka yang datang berbelanja itu juga pedagang di daerah asal mereka dan membeli barang di Pasar Raya secara grosiran.

“Namun setelah tidak adanya terminal yang akan mereka jadikan lokasi bongkar muat barang, maka mereka mulai pindah berbelanja ke Pasar Aur Kuning di Bukittinggi”, ujarnya.

Selain tidak adanya tempat yang memadai untuk lokasi bongkar muat barang di Pasar Raya, ketiadaan terminal ini juga berpengaruh terhadap peyebaran para PKL di Pasar Raya. Menurutnya, dulu di sekitar kawasan Pasar Raya para pedagang kaki lima tidak menjamur seperti saat ini, karena dulu mereka memiliki lokasi untuk menggelar barang dagangannya.

Namun, ketika kedua terminal tersebut sudah tidak ada lagi, para PKL kehilangan lokasi berjualan dan kemudian menyebar ke kawasan Pasar Raya seperti di jalan M. Yamin, jalan Pasar Raya, jalan Sandang Pangan, jalan Pasar Raya I, jalan Pasar Raya II, jalan Pasar Baru, di depan Bioskop Raya, di jalan Permindo, di depan Mesjid Taqwa Muhamadyah dan lain sebagainya.

Banyaknya PKL di kawasan Pasar Raya mengakibatkan terganggunya sirkulasi keluar masuk kendaraan di pasar karena para pedagang kaki lima ini telah memakai sebagian jalan dan tempat parkir untuk berjualan.

“Dulu mereka berjualan di sekitaran Terminal Lintas Andalas dan terminal angkutan kota Goat Hoat, namun semenjak ke dua terminal itu tidak ada, ya mau tidak mau mereka harus mencari tempat lain supaya mereka tetap bisa hidup dan mencari uang,” tambahnya.

Menurutnya, tidak adanya terminal di Kota Padang sudah sama-sama dapat dilihat akibatnya terhadap kota Padang. Namun, dia tetap berharap kepada Pemerintah Kota Padang untuk merealisasikan salah satu dari sepuluh program utama yaitu pembangunan terminal di Kota Padang.

“Jika nanti pembangunan terminal ini terealisasikan, kita berharap pemerintah tidak melakukan keselahan yang sama ketika dulu mereka membangun terminal di Aia Pacah,” tukasnya.

[Satria Putra]

Exit mobile version