LIMAPULUH KOTA, KLIKPOSITIF – Indolarva merupakan salah satu kelompok budidaya larva lalat Black Soldier Fly (BSF) atau maggot di di Nagari Sungai Antuan, Kecamatan Mungka, Limapuluh Kota, Sumatera Barat (Sumbar).
Pengelola Indolarva Prima Santhos menjelaskan, siklus hidup BSF secara total hanya sekitar 45 hari, mulai dari telur sampai ke lalat dewasa. Metamorfosa maggot bsf ini yaitu dari telur, larva, prepupa, pupa dan bsf.
Seekor lalat betina biasanya menghasilkan 500-900 butir telur. Sedangkan untuk mendapatkan 1 gram telur, membutuhkan setidaknya 14-30 BSF. Untuk 1 gram telur, akan mampu menghasilkan 3-4 kg maggot atau larva.
Prima juga merinci siklus pembentukan maggot mulai dari telur, ditetaskan di bak penetasan selama satu Minggu. Lalu Minggu kedua masuk ke bak pembesaran, dua Minggu di bak pembesaran. Minggu ke-tiga menjadi Pupa.
“Jadi disini kami memilah ada calon indukan dan calon produksi. Calon indukan ada wadah tersendiri dan untuk produksi dalam wadah khusus pula,” katanya saat ditemui KLIKPOSITIF di Indolarva, Senin, 20 April 2021.
Dikatakannya, maggot tiap hari diberi makan dari sampah organik yang sudah digiling dan difermentasi. Sampah tersebut dikumpulkan dari sisa pembuangan di pasar Mungka dan sekitarnya. Dia menjelaskan, 1 gram maggot butuh 9 kilogram sampah organik hingga panen.
“Maggot produksi untuk pakan ikan dan ayam. Saat ini kami belum kami komersil atau dijual, namun kami sudah coba untuk hasil produksi maggot kering,” terangnya.
Sementara itu, owner Indolarva Hirmon menjelaskan, budidaya maggot BSF ini dilakoni oleh Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) RAHMAT sejak Maret 2020 di Nagari Sungai Antuan, Kecamatan Mungka, Limapuluh Kota. Dari 14 anggota kelompok perikanan ini, 4 orang telah mulai budidaya. Mereka telah menetapkan budidaya maggot sebagai unit usaha baru dari Pokdakan dan memberi nama Indolarva.
“Sampah apa saja dimakan maggot ini, mulai dari sampah sayuran, buah-buahan di pasar. Pokoknya yang bersifat organik dimakannya,” terangnya.
Kata Hirmon, maggot membutuhkan sekitar 10 ton perhari. Sampah tersebut mereka kumpulkan dari pasar Mungka dan pasar lain yang dekat dari lokasi budidaya. Saat ini hasil budidaya belum mereka jual, hanya untuk memenuhi kebutuhan pakan ikan dan ayam.
“Selain bisa mengurai sampah sampai ke Tempat Penampungan Akhir (TPA), persoalan pakan yang selama ini kami rasakan terjawab,” tuturnya.
Menurutnya, pakan dari maggot untuk ikan dan ayam lebih bagus dibanding pakan pabrik. Ikan dan ayam cepat besar menjadi salah satu keuntungan pakan alternatif dari maggot.
“Kemudian sisa makan maggot bisa untuk pupuk organik, karena menghasilkan pupuk padat dan cair,” ungkapnya.
Kendala saat ini mereka masih harus mengumpulkan sampah dan dibawa ke tempat pengolahan. Walaupun sudah ada alat penggiling Indolarva masih kesulitan, sebab alat penggiling mereka tidak bisa dibawa ke tempat sampah.
“Kalau bisa ada alat penggilingan bisa langsung dibawa ke pasar, sehingga proses penggilingan bisa dilakukan ditempat dan hasil penggilingan dibawa ke penangkaran,” katanya.
Sementara itu Kepala Dinas DLH Sumbar Siti Asiyah optimis target pengurangan sampah 70 persen akan tercapai jika daerah mampu menciptakan budidaya baru di kabupaten dan kota masing-masing. Apalagi budidaya bisa menjadi sumber pendapatan baru pembudidaya.
“Kita ingin menumbuhkan semangat kawan-kawan di daerah untuk menyelesaikan persoalan sampah. Salah satunya dengan budaya maggot ini, kawan – kawan di daerah bisa melakukan pembinaan kepada kelompok perikanan,” ujarnya.
Untuk itu Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Barat (DLH Sumbar) mendorong kelompok masyarakat untuk budidaya maggot. Bahkan untuk mengetahui lebih dalam DLH Sumbar mengajak DLH kabupaten dan Kota meninjau langsung budidaya maggot di Mungka. (*)