PARIAMAN, KLIKPOSITIF– Menjadi istri seorang pejabat mungkin tidak semudah yang dibayangkan. Mendampingi pengabdian suami adalah peran yang sangat vital, membutuhkan rasa cinta dan dedikasi yang tidak hanya sekadar melepas tanggung jawab. Seiring dengan peran tersebut, seorang istri pejabat juga melakoni kewajiban sebagai ibu rumah tangga.
Barangkali juga, pernyataan tersebut yang mengantarkan kita pada tafsiran idiom “Di balik keberhasilan seorang pria, ada wanita tangguh yang mendampingi”.
Dalam suatu kesempatan, KLIKPOSITIF bertemu dengan Ika Susanti. Perempuan kelahiran 27 Juni 1981 itu merupakan istri dari Kepala Lapas Klas II B Pariaman, Eddy Junaedi.
Ika Susanti mengutarakan, sudah lebih 14 tahun ia mendampingi suami yang mengabdikan diri sebagai pejabat lapas. Sedikitnya sudah delapan kali pula keluarga tersebut berpindah-pindah.
“Semenjak saya menikah dengan bapak (Eddy Junaedi), tahun 2006 semenjak itu pula saya rasakan bagaimana peran menjadi istri dari pegawai lapas. Seingat saya sudah delapan kali kami berpindah tempat yang akhirnya sampai di sini (Pariaman),” ungkap Ika Susanti, perempuan yang dikaruniai dua orang putri itu.
Dia mengatakan, cinta dan dedikasinya pada suami yang bekerja berpindah-pindah tersebut diuji saat dari kawasan Jakarta.
“Bermula dari Jakarta, terus pindah ke Kalimantan Selatan, setelah itu pindah ke Kepulauan Riau, Bengkalis, Parigi, Yogyakarta, kembali lagi ke Jakarta dan saat ini tiba Pariaman,” ungkap Ika Susanti.
Dikatakannya, walaupun hidup berpindah-pindah, dia selalu bersyukur dengan apa yang didapati hingga terbiasa menikmati suasana seperti itu.
Kendatipun demikian, seperjalanan Ika (panggilan) mencapai titik karier saat ini, dia pernah dihadapkan dengan situasi yang tak biasa, bahkan tak semua perempuan mampu menghadapinya.
“Saat itu umur anak pertama kami baru 3 bulan. Kami masih tinggal di Kalimantan. Ketika itu ada pembukaan tes untuk pegawai di Kepulauan Riau. Kalau saya ikut tes maka akan jauh dari suami dan orangtua,” kata Ika yang pernah kuliah di fakultas teknik pada salah satu Universitas di Banjarmasin itu.
Kesempatan mengikuti tes di Kepulauan Riau itu diambil oleh Ika, meskipun dia harus berjarak dengan suami serta orangtuanya.
“Tidak hanya sendiri, saya harus membawa anak yang masih berusia 3 bulan tersebut karena anak tidak mungkin ditinggal,” jelas Ika yang lahir dari pasangan bernama Asmawati dan Martono Budi Anto.
Saat Ika Susanti menceritakan hal itu, terbayang betapa sukarnya mengasuh anak di negeri entah berantah itu tanpa ada keluarga di sana. Karena dukungan dari suami dan orangtua, hal itu dilalui jua dengan semangat.
“Sampai di penginapan saya mengurus segala administrasi tes masuk dengan ojek, anak selalu dibawa, bolak balik. Saat tes fisik, anak saya titip ke orang di sana dan melakukan tes fisik seperti lari push-up dan lainnya,” kenang Ika Susanti.
Kesungguhan Ika dalam menggapai keinginan nya itu terbayar dengan hasil memuaskan, ia dinyatakan lulus dan bekerja di Kepulauan Riau.
“Sementara saya bekerja di Kepulauan Riau, suami masih bekerja di Kalimantan hingga tiba masanya kami sama-sama pindah ke Bengkalis,” jelas Ika Susanti.
Dari Bengkalis itulah Ika mendampingi suami ke mana pun dipindahkan tugas hingga saat ini sampai di Kota Pariaman.
Selama bersama, Ika mengakui tidak semua hal sama dipikirkan mereka. Soal yang menjadi perdebatan terkadang dijawab mereka dengan perbedaan pendapat. Namun itu semua tidak membuat perpecahan.
“Dalam hal perdebatan itu, kami selalu mengakhiri dengan rasa saling mengerti dan memaklumkan. Oleh sebab itu, saya mempunyai prinsip tidak ada dua nakhoda pada suatu kapal. Saya mengerti peran bahwa saya sebagai istri dan suami adalah pemimpin rumah tangga,” sebut Ika Susanti.
Lebih lanjut Ika menuturkan, sebagai seorang istri, dia tidak pernah mencampurkan urusan rumah tangga dengan urusan pekerjaan.
“Terkait urusan pekerjaan, saya selalu berusaha mendukung apa yang diperjuangkan oleh suami. Cita-citanya bagian wujud harapan saya dan itu saya doakan,” ungkap Ika.
Dikatakan Ika, tak jarang dalam urusan pekerjaan ia menjadi pendengar yang baik dan saling bertukar pikiran.
“Keberadaan kita saat suami dihadapkan dalam situasi sulit adalah citra dari kesetiaan. Saat itulah saya berusaha memberikan perhatian dan pengertian. Ini merupakan dukungan moral yang harus saya lakukan terus menerus,” sebutnya.
Perilaku senada, juga ditularkan oleh Ika kepada ibu-ibu bhayangkara lainnya. “Saya juga katakan kepada ibu ibu PIPAS ainnya agar memberikan perhatian yang sempurna kepada suami dan yang terpenting jangan menuntut yang aneh-aneh,” ulas Ika Susanti.
Terkait itu semua, Ika menuturkan, kunci utama dalam perannya sebagai istri pejabat ialah jangan mencampuri urusan kantor dengan urusan rumah tangga.
“Atau jangan sekali-kali mencampuri keputusan suami kecuali dimintai pendapat oleh suami,” jelas Ika.
Lebih dari itu, Ika kembali pada prinsip yang diyakininya bahwa tidak boleh ada dua nakhoda pada satu kapal.
“Satu nakhoda. Biar kemana pun kapal berlayar dan dihadapkan dengan badai apa pun, tentu tidak akan pernah berpisah. Jika seperjalanan berlayar kapal harus karam, mari kita tenggelam bersama,” sebut Ika Susanti yang telah mengenal Eddy Junaedi semenjak 1996.