Ini cerita tentang bumi para perempuan. Ya, Minangkabau sebagai negeri para perempuan. Bagaimana Bundo Kanduang berbuat untuk nagari, namun tidak meninggalkan status sebagai ibu bagi anak dan istri. Tidak pula menggadaikan martabat lalu melepaskan tudung kepala. Justru sebagai penggebrak hadirnya perubahan.
Joni Abdul Kasir — PADANG
Meski seakan termarjinalkan, ternyata pembangunan di Sumatera Barat tidak hanya melulu pembangunan fisik dan didominasi infrastruktur semata. Yang memang biasa dilakoni para lelaki, dengan menonjolkan aspek seorang pekerja keras.
Ternyata, sentuhan dingin Bundo Kanduang juga sangat diberi ruang. Justru ruang yang begitu termaknai, sebab tersentuh pada aspek sosial, aspek kesenian dan budaya. Secara tak sadar, lakek tangan Bundo Kanduang mampu melestarikan kebudayaan dan adat istiadat Minang serta membentuk tameng mengguritanya biadabnya zaman modern.
Para perempuan Minang diberi ruang dan kesempatan berbuat untuk kemajuan nagari. Meskipun di luar sana masih banyak persoalan pemberdayaan perempuan sedikit terabaikan. Namun, tidak begitu di Sumbar, yang diberi perhatian khusus dan disentuh utuh. Pengaruh Bundo Kanduang terus diakui.
Adalah Nevi Zuairina. Bidadari sang Gubernur Sumbar itu mampu merajut rasa dan asa. Betapa sepenuh hati memperjuangkan agar peran Bundo Kanduang tak meredup. Baginya, para Bundo Kanduang memiliki sentuhan magis yang tidak dimiliki kaum Adam.
Itu terpecut, sebab tak mampu melepaskan sosok-sosok pejuang perempuan Minangkabau dari benaknya. Sebut saja, Rahmah El Yunusiyah, Siti Manggopoh dan Rohana Kudus. Baginya, genetik kekuatan para pejuang perempuan Ranah Minang itu harus terus dijaga dan dipelihara.
Bagaimana Rahmah El Yunusiyah menjadikan perempuan berperan sentral dalam hidup dan kehidupan. Tak henti berjuang memajukan keilmuan kaum hawa Minangkabau. Kekuatannya, mampu mendirikan sekolah Islam khusus perempuan. Tak ada belenggu kebodohan bagi perempuan. Dirinya seorang pelopor pendidikan muslimah di Indonesia.
Sama seperti Rahmah El Yunusiyah, Rohana Kudus juga berjuang untuk mengangkat harkat martabat perempuan Minang, yang bagi orang melayu saat itu memang menjadi kaum kelas dua. Selain menjadi guru tauladan di Sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) yang didirikannya, dia juga aktif sebagai wartawan dengan berbagai tulisan kontrol sosial yang kritis bagi pemerintahan saat itu.
Tak kalah hebatnya, ada Siti Manggopoh yang dijuluki ‘Singa Betina dari Manggopoh’. Tak menghilangkan kodrat sebagai perempuan di tengah keluarga. Namun di luar itu, tak pernah gentar melawan penjajahan kolonial. Bahkan, ikut bahu membahu angkat senjata bersama pejuang pria dalam mengusir penjajah.
Lestarikan Kerajinan, Pendongkrak Perekonomian
Nevi Zuairina, ibu tiga putra dan tujuh putri ini sangatlah sadar, dedikasi pejuang perempuan Minangkabau tak mampu disederajatkan, dilampaui, sekalipun untuk dikejar. Namun dari relungnya, juga enggan melihat para Bundo Kanduang duduk berdiam diri di rumah, mengurus dapur serta suami dan anak.
Perempuan Minangkabau disemangati. Beruntung, dengan amanah yang disandang berupa ketua himpunan seperti, Tim Penggerak PKK Provinsi Sumbar, Lembaga Koordinasi Kesejahteraan Sosial Provinsi Sumbar, Forum PAUD, P2TP2A, FORIKAN, Forum Silaturahmi Majelis Ta’lim, Persatuan Istri Pemprov dan Muspida, dijadikan sebagai kekuatan untuk menahkodai para Bundo Kanduang.
Selain itu juga menjadi Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Sumbar. Sehingga jalanya jelas, dengan membangkitkan kerajinan tangan, anyaman, tenunan dan bordiran khas Ranah Minang. Setidaknya dapat menggerakkan perempuan dengan sekmen kerajinan dan kebudayaan.
Didukung program yang memang telah disematkan pemerintah provinsi, katanya, dia mulai bergerak. Dia terus berupaya merangkul para istri bupati dan walikota untuk juga menularkan semangat para ibu-ibu Ranah Minang untuk terus berbuat dan berkarya.
“Para Bundo Kanduang harus menjadi Siti Manggopoh, Rahmah El Yunusiyah, dan Rohana Kudus di zaman sekarang. Memang tidak angkat senjata dan bergerilia di hutan untuk bertempur, seperti Siti Manggopoh. Semangat ini yang kembali ditularkan pada Bundokanduang. Ibarat bangunan, Bundokanduang tonggak nagari. Harus kokoh layaknya pejuang wanita Minang ini,” ujar Nevi.
Yang menjadi titik sentral dari rencana besarnya adalah, bagaimana para perempuan tidak hanya sebagai seniman, pengrajin, ataupun pekerja semata. Namun, para harus menjadi penggebrak, para pelahir karya yang inovatif dan menjadi leader yang melahirkan keberanian untuk menjadi pengusahanya.
Sehingga dari tangan terampil para Bundo Kanduang, betapa Sumbar menjadi kekuatan ekonomi yang baru dan diperhitungkan di nasional bahkan mancanegara. Sebab, telah berhasil mensupport negara. Hal itu diakuinya telah mulai dan pula telah dirasakan. Secara ekonomi, kerajinan dan kuliner setidaknya telah menaruh kontribusi signifikan bagi pertumbuhan perekonomian negara.
“Ini yang ibu dari awal dilakukan. Bagaimana para Bundo Kanduang disemangati. Talenta yang memang ada dalam darah Bundokanduang terus digali dan dikembangkan. Tentu tidak hanya sebatas itu, namun bagaimana hasilnya juga akan berdampak pada aspek perekonomian. Sebab, hal itu merupakan sebuah peluang bisnis yang menjanjikan,” ungkap Nevi pada KLIKPOSITIF di kediaman orang tuanya, di bilangan Padang Besi, Kecamatan Lubuk Kilangan.
Hasil dari karya para pengrajin perempuan ini mempunyai daya tarik besar, baik bagi konsumen dalam, maupun luar negeri. Ini yang terus di fasilitasi, dan diberdayakan. Saat ini dari data base kita sudah ada 300 pengrajin yang sehat. Itu baru yang terdata, salah satu upaya untuk pemasaran, dengan mengajak ikut pameran, juga dengan memanfaatkan media online.
“Sejauh ini para pengrajin yang telah kita bina itu tidak menimbulkan masalah dalam akses modal dan pemasaran, dan kini tetap bertahan. Yang bermasaah yang terus kita bimbing, untuk melewati masa sulit sehingga tetap bertahan,” ujarnya.
Katanya, untuk produk unggulan seperti kuliner dan kerajinan telah menjadi infestasi jangka panjang. Dari kuliner contohnya, saat ini telah ada beberapa permintaan tetap dari Australia. “Sebagai makanan terlezat di dunia, Rendang kita memang diminati Australia, semua telah dikirim termasuk bumbu rendang, sanjai, opak dan lainnya,” ujarnya.
Yang terus disuport bagaimana para pengrajin ini tidak hanya sebagai pengrajin, namun juga menjadi pengusaha. Sebab, persoalan muncul ketika produk ini tidak lagi dapat memenuhi permintaan pasaran.
“Untuk produk kerajinan, tenun, bordir, masih secara hand made. Nah, bagaimana caranya untuk menciptakan secara masal, tentunya dengan tenaga mesin. Satu-satunya yang pakai mesin ada di Sawahlunto, produksi tenunnya. Meski begitu, masih juga sulit memenuhi permintaan,” ucapnya.
Delapan tahun belakangan, bagaimana padusi Ranah Minang masih ada, masih berbuat, masih kuat, dengan keragaman bidang yang disentuh. Tidak hanya sebagai pekerja keras, namun juga sebagai pekerja cerdas.
Namun tidak mengorbankan sisi keperempuanannya. Tidak menjadi tomboi, tidak meninggalkan suaminya, tidak membuka hijab. Yang ditentang bukan adat istiadat, justru perlakuan dunia modern yang merendahkan perempuan.
“Lambat laun ini akan jadi meledak. Bukan efek ekonomi saja, namun pada sosial budaya. Betapa super wanita Minangkabau. Tidak bertentangan dengan norma. Bagaimana tiga lima tahun ke depan, perempuan Minang begitu hebat dan berpengaruh pada perekonomian di Indonesia,” pungkasnya.
Mendunia, Dipakai Hampir Semua Ibu Negara
Salah satu Bundo Kanduang yang mengapresiasi program pemerintah provinsi Sumbar dalam pembangunan tradisi kebudayaan dan industri kreatif adalah, Henni Adli. Sekilas Henni menilai, sosok Nevi sangat aktif dalam mempromosikan kerajinan yang telah dihasilkan dari tangan kreatif para Bundokanduang.
Tidak hanya dari berbagai pameran, dari diri pribadinya, dia juga tidak malu mengenakan produk-produk tersebut. Selain itu juga memahami apa itu kerajinan. “Itulah yang membuat banyak ibu Nevi dijadikan inspirasi bagi para Bundokanduang,” kata Henni yang saat ini memimpin, Henni Adli Minangkabau Haute Couture Village, yang berdiri di Ahmad Khatib, Lubuk Minturun.
Lulusan sarjana Tata Busana, UNP ini mengatakan, seni tradisional yang dibuatnya berupa tenun songket, sulam tangan, sulam bordir karancang, tidak hanya dijual namun sudah menjadi pilihan sebagai cendramata istana negara RI, untuk para tamu negara. “Alhamdulillah, karya seni kami sudah dikolesi oleh ibu Negara seluruh dunia,” ujarnya.
Untuk terus melestarikan, baginya kesenian tangan terus digali dan diriset berbagai seni kerajinan budaya di seluruh pelosok nagari yang tersimpan. “Cara mengekplor dalam bentuk membina, melatih, mengembangkan,” katanya.
Ekonom Unand: Prospek UMKM Hebat Sekali
Ahli Ekonomi Unand, Prof. Dr. Elfindri, SE., MA. menilai jika UMKM dapat tumbuh, namun itu dalam segi inovasi produk industri kreatif, yang telah dipadukan dalam sektor pariwisata, maka pertumbuhan ekonomi akan bertambah sekitar 0,5 persen.
“Kalau misalkan saat ini laju pertumbuhan ekonomi di angka 5 persen, dengan sektor UMKM yang berkembang, dengan catatan, produk yang dihailkan berinovasi tinggi, dan didukung sektor pariwisata yang juga diminati, maka pertumbuhannya bisa bertambah 0,5 persen, sehingga menjadi 5,5 persen,” terangnya.
“Prospeknya memang hebat sekali,” tambahnya.
Namun, katanya jika UMKM berkolaborasi vertikal dengan usaha perhotelan, maka perkembangannya pasti akan lebih pesat. Selain itu, pengerjaan kerajinan seperti sulaman yang spesifik, jika dikerjakan dengan masal, maka prospeknya juga sangat bagus.
“Jelas banyak sekali memberikan kontribusi, katakanlah bordir atau kerupuk, setiap itu akan mengenakan pajak, dan pendapatan nilai. Kalau sektor turisemnya berkembang pesat, maka industri kreatif akan berkembang, bahkan sektor tambang dan pertanian akan dapat tertinggal,” jelasnya. (*)