Kurang lebih 10 tahun terakhir nyaris tak terdengar gaung aktivitas teater, teater hampir kehilangan ghirah. Kalaupun ada paling hanya satu dua pertunjukan, dalam skala lokal satu dua kelompok berusaha untuk tetap menggeliat menunjukkan eksistensi, namun suasana semarak sebagaimana yang terjadi di masa pertengahan 1980-an hingga 1990-an tidak lagi dapat ditemui.
Kita memahami bahwa seni teater merupakan seni yang komplit dan mencakup beragam cabang seni, dalam artian berbeda dengan jenis kesenian lain yang lebih simple. Teater telah menasbihkan dirinya sebagai cermin, sarana untuk berberkontemplasi, berefleksi serta melakukan perenungan-perenungan, daya kritis tentang lingkungan dan perjalanan kehidupan. Dengan image yang telah terbangun demikian, teater tentu dipandang sebagai cabang seni yang berbobot lebih berat, butuh pemikiran yang filosofis dalam garapannya.
Karenanya, bicara teater dalam kondisi sekarang pada dasarnya menjadi hal yang agak rumit, mengingat beberapa persoalan, pertama kondisi fasilitas yang tak memadai, terutama bila kita bicara tentang seni teater di Sumatra Barat. Bila ungkapan teater itu telah mati kadangkala logika itu benar adanya, walau tak sepenuhnya seperti itu. Pada dasarnya berbagai upaya untuk menggairahkan seni teater dalam upaya menghidupkan kembali gairah para penggiatnya untuk berkarya tetap dilaksanakan, setidaknya oleh UPTD taman Budaya Propinsi Sumatra Barat.
Pada tahun 2020 pasca pandemi melanda, dirancang sebuah pertemuan teater Sumatra, tujuh kelompok terpilih dihadirkan pada momen itu, kegiatan ini dilaksanakan dengan maksud pekan teater Sumatra dapat dijadikan titik awal kebangkitan kembali dunia seni teater Sumatra, tentu saja secara khusus sasarannya adalah Sumatra Barat upaya selanjutnya adalah melanjutkan kembali festival teater remaja yang juga sudah empat kali terlaksana pasca pernah terhenti atau dihentikan lebih kurang selama empat tahun. Namun semua upaya itu seperti tidak menjawab apapun.
Realitas dunia kesenian adalah dunia yang tak dapat menghindar dari kehadiran publik, demikian juga dengan seni teater. Sebuah seni yang cenderung melibatkan banyak orang baik dalam penampilan maupun sebagai tontonan. Barangkali hal ini perlu menjadi bahan diskusi kita bersama.
Sedikit catatan tentang festival teater yang baru saja berlalu
Dua belas grup teater berfestival dalam Iven Alek Teater ke 8. Kegiatan ini dilaksanakan oleh UPTD Taman Budaya Sumatera Barat. Terlepas dari segala soal keterbatasan fasilitas pendukung maupun berbagai kelemahan saat pelaksanaan kegiatan Festival Teater Remaja Sumatera Barat tahun 2024 telah terselenggara dengan lancar. 12 grup, dari 20 grup terdaftar merupakan hasil pengkurasian oleh dewan pengamat. Dua belas grup terkurasi ini pada dasarnya menyesuaikan juga dengan ketersediaan anggaran.
Jadi semuanya diikat dengan berbagai keterbatasan. Lalu apakah berbagai kekurangan yang ada menyurutkan semangat untuk berkarya, ternyata tidak. Berbagai catatan menarik dapat kita coba uraikan berdasarkan pengamatan selama kegiatan berjalan.
Bila kita coba klasifikasikan bentuk-bentuk pemanggungan, ada tiga bentuk yang telah hadir dalam penggarapan para peserta pada Iven teater yang mengusung tema Merespon Ruang Bebas ini. Ruang bebas tentu saja tidak berhenti pada soal-soal yang berkaitan dengan tempat sahaja, namun tema ini pada dasarnya berkembang, dan bagaimana kelompok atau sutradara memaknai secara lebih luas, yang berkaitan dengan bentuk, gagasan, model pemanggungan dan seterusnya.
Wacana tradisional, konvensional, dan kontemporer, tiga penanda dari lajunya zaman telah dihadirkan oleh 12 kelompok pada festival tersebut. Bentuk bentuk tradisi tidak semata dilihat dari visual, tapi juga hadir dalam ragam persoalan yang masih aktual untuk dibicarakan. Demikian juga dengan bentuk garapan yang konvensional dengan kecenderungan masih menggunakan naskah sebagai acuan garapan yang biasa terjadi dalam wacana perkembangan teater modern. Selanjutnya bentuk penggarapan kontemporer dalam penyajiannya cenderung artifisial dalam garapan-garapan kali ini, meski melintasi berbagai batas dari konvensi yang pernah ada. Bentuk semacam ini hadir sebagai spirit penanda zaman dan berlaku pada semua cabang seni.
Dalam garapan kontemporer Sutradara cenderung menggunakan hal hal yang lebih atifisial, layaknya simulacra, lapis-lapis penenda yang bila dikupas sampai ke bagaian terdalam tak akan terlihat isinya. Karya-karya yang semacam ini berangkat dari gerak, tubuh, penggunaan tekhnologi dan pukauan pukauan visual lainnya.
Namun harus kita akui bahwa kedua belas penampil pada dasarnya masih memiliki berbagai kelemahan, terutama dalam hal konsep pemikiran dan konsep garapan. Persoalan ini agaknya mungkin dikarenakan oleh minimnya apresiasi mereka terhadap perkembangan teater di lingkungan yang lebih luas, atau karena mereka sudah sangat berjarak dari iklim teater yang pernah marak di Sumatera Barat. Lebih kurang 10 tahun belakangan jarang sekali muncul iven-iven teater yang dilasanakan baik oleh lembaga atau kelompok kelompok.
Bukan hanya festival yang perlu terus berlanjut, tapi menumbuhkan kembali, bagaimana terciptanya ruang-ruang dialog yang dapat membangun pemahaman bersama tentang apa yang menjadi persyaratan mutlak yang harus ada dalam sebuah pertunjukan. Dan tentu saja dibutuhkan juga gedung dan ruang yang representatif.
Berbagai perkembangan di era Post Modern ini memberi pengaruh besar terhadap dunia pertunjukan (tontonan), setidaknya kemajuan tekhnologi dan kapitalisme menyeret dunia tontonan, dengan suguhan-ansuguh pragmatis. Orang-orang tak lagi harus datang ke gedung pertunjukan, ke bioskop, untuk menikmati tontonan. Bahkan peran media televisipun sudah mulai ketinggalan digeser oleh platform media sosial semacam, Tik-Tok, snack video, you tube dan berbagai platform lainya yang begitu marak terjadi pada hari ini.
Jangankan teater bahkan dunia pertelevisian yang sama berbasiskan tekhnologi pelan pelan mengalami kebangkrutan, sudah tentu ini juga berimbas kepada para pekerja dan artis pendukungnya. Di Era ini siapa saja boleh, dan bisa jadi pelaku atau pemain. Lepas dari pada soal-soal yang berkaitan dengan nilai dan segala hal standard yang mesti dipenuhi, yang menyebabkan yang esensi hilang, pasti teater akan tetap ada pada fase tenggelam.
Rumitnya proses persiapan teater
Dalam ulasan sederhana ini, saya mencoba menyampaikan hal hal kecil tentang berbagai kerumitan yang dihadapi oleh teater.
- Proses menyiapkan sebuah pertunjukan bukan hal yang singkat, teater tidak dapat disiapkan secara instan, perlu studi tentang banyak hal, perlu meyiapkan konsep, ide, gagasan dan sebagainya. Belum lagi bicara soal eleman pendukung lainnya, pemain, kru pendukung, tim produksi dan sebagainya, setidaknya dibutuhkan waktu tiga sampai enam bulan untuk sebuah produksi teater.
- Masalah pendanaan yang tidak sedikit. Kita sama memahami bahwa produksi satu pementasan memerlukan banyak anggaran, sementara bila dihadapkan pada anggaran yang disediakan pemerintah, hal ini selalu menjadi polemik yang tidak berkesudahan.
- Perhatian pemerintah, agak jengah bila kita bicara mengenai perhatian pemarintah. Secara tekhnis ada Taman Budaya bahkan di Sumatra Barat sudah ada dinas yang mengurusi kebudayaan. Lantas soal-soal membangun ekosistem kesenian terutama teater apakah spirit kita sama dengan mereka, belum tentu juga.
- Ketiadaan Gedung Pertunjukan memberi pengaruh sangat besar terhadap pertumbuhan kesenian, tidak hanya teater, ini juga terasa bagi cabang seni pertunjukan lainnya. Gedung standar dilengkapi dengan berbagai kelengkapan yang terkait dengan artistic, lampu, sound sistem dan ruang yang nyaman dan seterusnya.
- Kampus sebagai basis pertumbuhan. Kampus-kampus pada dasarnya sejak lama telah menjadi basis pertumbuhan dan perkembangan seni teater. Rata-rata para pecinta teater memulai debutnya dari dunia kampus, bahkan grup-grup independen yang berdiri di luar kelembagaanpun para penggiatnya terdiri dari anak-anak kampus. Pertanyaanya kenapa dunia teater di kampus-kampuspun seperti mati suri, setidaknya mungkin hal ini dapat kita diskusikan bersama. Barangkali ada pola-pola alih generasi yang kurang produktif, terlalu menonjolkan arogansi senioritas menyebabkan teater kampus menjadi macet pertumbuhannya.
- Selanjutnya di Sumatra Barat sejak lama telah berdiri sekolah seni mulai dari tingkat SLTA sampai perguruan tinggi. Khusus untuk jurusan teater akhir-akhir ini terasa sekali sepi peminat, sehingga dosen atau guru lebih banyak jumlahnya dari pada siswa dan mahasiwa.
Dengan mencoba mengemukakan beberapa point di atas terasa sekali bahwa statement teater sudah mati itu ada benarnya. Mati tentu saja dalam tanda petik, mati dalam gagasan, mati dalam kualitas, mati dalam nilai. Satu dua tentu ada juga grup atau kelompok yang berkarya, pertanyannya adakah karya yang mereka pentaskan itu dapat mencapai sasaran ideal sebuah pertunjukan.
Syuhendri Dt Siri Marajoย ย ย ย ย ย ย ย ย Pamong Budaya