Rabu, 03 Des 2025 - 06:46 WIB
Klikpositif.com - Media Generasi Positif
Tidak ada hasil
Tampilkan semua hasil
  • 🏠
  • News
  • Ekonomi
  • Life
  • Cek Fakta
  • Cerpen Kato
  • Pariwisata
  • Semen Padang
  • Bola
  • Tekno
  • Olahraga
  • Pariwara
Tidak ada hasil
Tampilkan semua hasil
KlikPositif.com - Media Generasi Positif
  • 🏠
  • News
  • Ekonomi
  • Life
  • Cek Fakta
  • Cerpen Kato
  • Pariwisata
  • Semen Padang
  • Bola
  • Tekno
  • Olahraga
  • Pariwara
Tidak ada hasil
Tampilkan semua hasil
KlikPositif.com - Media Generasi Positif
Tidak ada hasil
Tampilkan semua hasil
  • 🏠
  • News
  • Ekonomi
  • Life
  • Cek Fakta
  • Cerpen Kato
  • Pariwisata
  • Semen Padang
  • Bola
  • Tekno
  • Olahraga
  • Pariwara
Home Cerpen Kato

Tiga Hari Suara Itu Sunyi

Oleh: Muhammad Eko Oktaviansyah

Andika
Minggu, 8 Jun 2025 | 08:26 WIB
Share on FacebookShare on Twitter

Aku, dari dalam rumah, hanya mendengar suara karung itu diletakkan perlahan. Suara yang lebih berat dari apa pun yang pernah kudengar. Ayahku mematung. Di sisi lubang itu. Diam seperti batu nisan yang baru lahir. Dan aku, dari balik jendela, menatap semuanya.

Hari ketiga sejak hilangnya anak-anak itu, polisi mulai melibatkan tim dari Polda Benteng Raya. Satu unit kecil dari bagian forensik datang siang hari, membawa alat sederhana, catatan kasus, dan sorot mata yang tak percaya pada kebetulan.

Sungai telah memberi satu mayat. Septic tank memberi yang lain. Tapi belum ada nama pelaku. Belum ada yang benar-benar ditunjuk. Tapi mereka tahu: mayat tidak pernah hanya bicara melalui bau. Mereka juga bicara melalui jarak. Dan dalam radius seratus meter dari septic tank itu, hanya ada tiga rumah. Salah satunya adalah rumah kami.

Petugas forensik mencatat posisi septic tank yang sekelilingnya ditumbuhi tanaman sereh, dan arah angin, lalu kemungkinan cara karung dimasukkan. Mereka melihat ke tanah. Jejak lumpur lama yang terseret. Serpihan halus dari serat karung yang tersangkut di sudut papan lantai.

“Lihat, serat ini… sama dengan karung dari sungai,” kata salah satu dari mereka sambil menyorot lampu senter kecil ke karpet debu di ruang belakang.

Mereka minta izin memeriksa gudang jaring ayah. Awalnya biasa saja—karung-karung berdiri tegak seperti biasa. Tapi satu di antaranya… bagian bawahnya masih basah. Dan ketika lantainya dikerik ringan, masih ada sisa darah. Bekas geser. Bekas beku.

“Bukan darah ikan,” gumam salah satu petugas. “Terlalu gelap, terlalu lengket.” Mereka tak langsung menuduh. Mereka menyusun. Menghitung. Mencocokkan waktu hilangnya anak-anak, waktu sepi, dan siapa yang berada paling dekat. “Si anak di rumah waktu kejadian?” “Ya, dia selalu di rumah,” jawab salah satu tetangga. “Jarang sekali keluar.” Polisi diam. Tapi catatan mereka terus bergerak.

Keesokan paginya, dari mobil tanpa tanda, turun dua petugas berpakaian sipil. Salah satunya membawa tas kerja ramping. Mereka memperkenalkan diri: Tim Siber Polda Benteng Raya.

Mereka bicara singkat dengan Pak Bhabin, lalu mengeluarkan salinan laporan teknis. Ponsel Helmi—yang sejak awal dilaporkan hilang bersamanya—ternyata meninggalkan satu jejak terakhir, tak lama sebelum perangkat itu mati total. Mereka tidak bertanya soal karung. Tidak menyinggung darah.

“Ping terakhir menunjukkan lokasi hanya beberapa meter dari rumah ini,” kata petugas itu. “Setelah itu, sinyal terputus. Tapi karena perangkatnya belum hancur dan belum dimatikan sistem paksa, kami bisa mengunci radius shutdown-nya.”

Ayah terlihat bingung, lebih karena tak mengerti istilah teknis. Tapi aku tahu maksudnya. Mereka menyisir lantai rumah kami. Langkah mereka tak memekik. Tapi setiap detiknya seperti gema palu yang menghantam rahasia. Lalu mereka berhenti. Di kamarku.

Papan lantai bagian pojok sedikit longgar. Aku tahu. Mereka juga tahu. Dengan hati-hati, papan itu mereka angkat. Dan di dalamnya: sebuah benda kecil, mati, terbungkus plastik bening. Ponsel Helmi. Sudah tiga hari tak bersuara. Tapi kini, ia bicara kepada dunia—tanpa layar menyala. Dan ketika mereka berdiri kembali, semua yang pernah kutahan, jatuh satu demi satu tanpa suara.

Keesokan harinya, mereka kembali lagi. Tak banyak kata. Mereka hanya mengetuk pintu, menyebut satu nama. Ayah menatapku. Sejenak, wajahnya seperti laut yang tak bisa pasang lagi.

***

Namaku tak penting. Ia hanya hidup sebatas panggilan makan, atau perintah membersihkan rumah reyot kami.

Aku tumbuh dalam rumah yang dindingnya lapuk dimakan angin laut. Bila angin datang dari timur, atap berkarat itu akan bergoyang seperti mulut tua yang menggumamkan rahasia. Di sana aku hidup bersama ayah—seorang nelayan, bukan juragan kapal, hanya awak yang menumpang tangkap.

Ia bukan ayah pemarah. Tapi bila berbicara, suaranya selalu terdengar seperti guntur yang tersesat di ruang kecil—keras, berat, menggelegar. Bukan karena marah, melainkan karena begitulah orang-orang pesisir bicara: seakan harus bersaing dengan suara ombak dan angin.

Sejak ibu meninggal karena jantungnya yang terlalu lelah, rumah ini kehilangan suara yang lembut. Ayah tak bicara banyak setelahnya. Ia lebih sering memberi isyarat: tunjuk ember, angguk ke arah jaring, atau sekadar membuka pintu sebagai pertanda “ikuti aku”.

Aku mematuhinya. Membersihkan rumah, membantu menjahit jaring, mencuci alat tangkap, mengangkat ember penuh air dari sumur yang asin. Di luar rumah, aku jarang ada. Bukan karena dilarang, tapi karena dunia di luar terlalu ramai untuk seorang anak yang tak pandai bicara.

Orang-orang bilang, anak seusiaku mestinya berlarian di lapangan, menggenggam matahari. Tapi aku tumbuh di sudut-sudut sempit, di antara suara ombak dan suara yang tak pernah memanggilku. Tubuhku—seperti tanda baca yang jatuh dari kalimat—terlalu asing untuk dibaca, terlalu mudah untuk dilupakan.

Kulitku terlalu gelap, rambutku terlalu ikal, bibirku terlalu tebal. Aku tahu bagaimana orang-orang melihatku. Bahkan anak-anak kecil pun tak segan mengolok dengan cara yang lebih tajam dari pisau.

“Woy, si Beruk keluar kandang! Jangan ngomong ya, nanti hujan berhenti! Dia kayak arang hidup, diam terus!” Aku mencoba bicara. Sekali. Suara itu keluar serak dan pecah, seperti radio tua yang kehilangan sinyal.

Mereka tertawa. Aku diam. Dan setelah itu, aku tidak pernah mencoba lagi.

Hari itu, seperti hari-hari lainnya. Pesisir sepi di siang bolong. Orang dewasa sedang ke laut atau ladang. Rumah-rumah hanya ada tiga dalam radius 100 meter—dan dua di antaranya sedang kosong.

Aku baru selesai menyikat alat tangkap ayah, dan sedang duduk di depan pintu rumah. Lalu mereka datang. Dua bocah itu lagi. Langkah mereka ringan, suara mereka terlalu nyaring untuk hari yang lengang.

“Woy! Nih, kita rekam aja, bro! Bang, bilang: ‘Aku anak beruk!’ Ayo dong!” Salah satu mengangkat ponsel ke wajahku. Yang satu tertawa, lalu mengambil batu kecil dan melemparkannya ke arah rumahku. Semua itu sangat sering mereka lakukan.

Aku berdiri. Mereka belum takut. Mereka terbiasa melihat aku diam. Tapi hari itu, ada yang berbeda dalam dadaku—seperti air yang terlalu lama diam di parit, dan kini mulai mendesak keluar.

Aku berjalan ke arah mereka. Perlahan. Tak ada satu pun pintu rumah di sekitar yang terbuka. Tak ada mata yang mengintip. Hanya suara serangga dari rawa belakang, dan suara napas kami bertiga.

Salah satu dari mereka mundur. Yang lainnya terpeleset di tanah becek, jatuh terduduk. Ia menjerit. Tapi terlalu pelan. Aku melihat batu. Besar sedikit dari genggaman. Kasar. Tanganku mengangkatnya. Dan waktu berhenti.

Setelah itu, dunia jadi sunyi. Bocah yang berdiri kaku, lalu lari. Aku mengejarnya, tak tahu siapa yang sedang berlari dalam tubuhku. Aku tarik bajunya. Ia jatuh. Dan batu itu, sekali lagi, bicara atas namaku.

Aku tak tahu harus apa. Matahari masih tinggi. Dunia terlalu terang untuk membuang rahasia. Aku seret tubuh mereka masuk ke rumah. Bukan ke kamar, bukan ke tempat tidurku—terlalu dekat. Terlalu rentan. Terlalu nyata.

Aku teringat ruang kecil di belakang dapur, tempat ayah menyimpan jaring, pelampung bocor, dan karung-karung kosong. Tempat yang jarang disentuh kecuali saat ia hendak melaut. Gelap, lembap, dan baunya seperti laut yang sudah mati.

Karung pertama cukup besar. Tubuh yang lebih kecil kuposisikan pelan, dan karung itu menelannya seperti diam yang terlalu luas. Tapi yang satu lagi—ia lebih besar. Dan karung kedua terlalu sempit.

Aku mencoba melipat lututnya. Menekuk tangannya. Tapi tubuh itu kaku, dan karung itu keras. Aku menarik napas, dan dalam ruang yang sempit itu, aku tahu: akan ada bagian yang tak bisa ikut masuk.

Aku mencari parang. Lumayan tajam dan biasa kupakai memotong kelapa. Tanganku gemetar. Duniaku memekak, tapi tak ada suara.

Saat logam itu menyentuh kulit, rasanya seperti mengiris sepotong kain basah yang pernah menjadi hidup. Aku tidak menangis. Tapi dunia seolah berhenti. Waktu tidak berdenyut.

Tangannya kulepas lebih dulu. Lalu kakinya. Dengan cara yang membuat aku tak lagi merasa seperti manusia. Dan potongan-potongan itu kuselipkan di karung, menyatu dengan tubuhnya sendiri.

Kedua karung itu kuletakkan berdampingan, disamarkan dengan jaring-jaring, seperti perlengkapan melaut. Seolah tak ada yang berbeda dari hari-hari biasanya.

Aku duduk di lantai. Mataku buram. Hidungku penuh dengan bau yang tak bisa kusebutkan. Tanganku basah, dan tak lagi tahu cara menjadi tangan remaja yang tak banyak tingkah. Dan di detik itu, aku takut kepada satu hal yang belum pernah kutakuti sebelumnya: diriku sendiri.

Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, ayah pulang larut dengan tubuh basah, kulit legamnya hampir serupa bayangan. Ia membawa sejerat ikan lumayan besar tapi ada juga yang kecil-kecil, tangkapan terakhir yang tersangkut di jaring milik kapal orang. Kudengar langkah beratnya di lantai kayu, seperti suara lelaki yang tak pernah benar-benar pulang dari laut.

Ia tak bicara, hanya mendesah pelan, meletakkan jerat itu ke ember. Tangannya menggigil—bukan karena dingin, tapi karena kelelahan yang menahun dan tidak pernah benar-benar diberi jeda.

Aku berdiri dan langsung ke dapur. Di rumah semiskin kami, hanya magic com tua yang bisa diandalkan untuk menanak nasi dari beras terakhir di karung. Ikan digoreng seadanya dengan kuali kecil, minyaknya sudah pekat, tapi cukup untuk membuat bau asap menyebar ke seluruh ruangan. Di rumahku tak ada kompor gas—hanya tungku dari batu bata retak, api yang dinyalakan dengan ranting basah, sisa kayu kapal, dan kardus bekas yang menghitam sebelum hangus.

Di rak, masih ada sambal kemarin. Sedikit beraroma asam, tapi masih bisa ditoleransi. Lapar di rumah kami tak perlu diumumkan; ia hanya perlu diterima, seperti suara TV yang menyala terus meski tak ada yang mendengarkan.

Kami duduk di lantai. Piring kaca berbunyi tiap disentuh.

Ayah mengeluhkan nasi yang keras, sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding. Tapi sebelum aku bisa menenangkan diri, ia berdiri perlahan, dan berkata:

“Tidak mau kau memindahkan ini ke belakang?” Jantungku berhenti sesaat. Aku tak jawab. Ia mulai melangkah, membawa pelampung kecil dan tali tambat. Tangannya masih bergetar. Dan aku tahu—ia akan menuju ruang kecil di belakang dapur.

Ruang itu. Ruang tempat dua karung itu berdiri diam, penuh rahasia yang masih hangat. Aku bangkit terlalu cepat. “Biar aku saja, Yah,” kataku. Ia menoleh. Alisnya sedikit naik, curiga. “Aku nggak pernah urus itu… Tapi sekarang aku bisa,” jawabku cepat, terlalu cepat.

Kami saling diam sebentar. Ia mendesah, lalu meletakkan perlengkapan itu di lantai. “Ya sudah. Badan ini juga rasanya sudah bukan milikku lagi.” Aku ambil semua peralatan itu, dan membawanya ke ruang itu—melewati dua karung yang berdiri tegak seperti tubuh yang sedang mendengar.

Aku pejamkan mata sesaat. Lalu kembali ke ruang makan, dan duduk seolah-olah malam itu hanyalah malam biasa. Tapi dalam diriku, ada sesuatu yang baru: rasa takut yang tidak bisa dimatikan.

Setelah makan malam, kami masih duduk diam beberapa saat. Ayah bersandar di dinding, tangannya memegang gelas kopi, dan matanya mulai setengah terpejam—bukan karena kenyang, tapi karena kelelahan yang tak pernah punya batas.

Baca Juga

Ilustrasi/de passo

Damai

Minggu, 23 Nov 2025 | 09:15 WIB

Rumah Murah

Minggu, 9 Nov 2025 | 09:03 WIB

Di luar, angin laut meniup tirai seperti tangan hantu. Udara malam membawa bau amis dari pelampung basah dan jaring setengah kering.

Tiba-tiba, dari kejauhan—sekitar seratus meter dari rumah kami, sayup-sayup terdengar suara motor. Lalu berhenti. Lampu depannya menyala sesaat ke arah rawa kecil, lalu padam.

Aku mengintip dari sela dinding. Dua orang berboncengan. Seorang lelaki dan seorang perempuan. Si lelaki turun lebih dulu, menatap sekitar. Suaranya mulai terdengar: resah, parau, nyaris panik. “Cik… Cik! Anak kami belum pulang! Sudah magrib tadi!”

Ayah langsung bangkit, pelan, tapi mantap. Ia keluar, menuruni tangga rumah kayu dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. “Siapa?” tanyaku, lirih. “Anak si Hasan. Awak kapal tempat ayah dulu kerja. Mereka orang lama di sini,” jawab ayah pendek, sambil mengambil senternya. “Mereka tinggal deket ujung rawa itu… Anak mereka, Helmi, sering main ke musala katanya.”

Aku terdiam. Muka lelaki itu pernah kulihat. Perempuan di boncengan pun begitu. Tapi aku tak pernah benar-benar mengenal mereka.

Ayah berjalan cepat ke luar. “Aku bantu cari dulu, kau bersihkan piring-piring sana,” katanya. Dan begitu suara langkahnya menghilang, dunia jadi sangat sunyi. Tapi tidak di dalam kepalaku. Di sana, suara lain mulai menjerit—bukan dari luar, tapi dari dalam.

Aku berdiri. Nafasku pendek. Tanganku gemetar. Tapi aku tahu: malam ini harus berakhir dengan keheningan yang sempurna. Aku seret karung pertama ke belakang rumah. Septic tank tua yang sudah lama tertutup oleh batu bata tua dan papan lapuk. Aku tahu letaknya. Aku tahu baunya.

Karung itu kujatuhkan pelan. Bukan karena sayang, tapi karena tubuhku tidak punya tenaga lagi untuk membanting apa pun. Seonggok tubuh satunya lagi. Kubawa menembus rerumputan ke arah sungai kecil di belakang musala. Sungai itu diam. Ia tidak bertanya. Ia hanya menelan.

Malam itu, anak-anak itu belum ditemukan. Kata ayah, besok mereka akan lanjut dicari. Warga makin gelisah. Tapi rumah kami tetap sunyi, seolah tak ada apa-apa selain bunyi kipas tua yang tidak penting.

Waktu berlalu dengan cara yang aneh. Cepat. Tapi lambat dalam kepala. Besok paginya, suara dari luar berubah menjadi gelombang. Masyarakat berkumpul di depan musala. Ada yang membawa cangkul, ada yang hanya ikut berdiri, pura-pura tahu. Tapi yang paling mencolok adalah suara yang tak kudengar—dua anak itu. Suara mereka telah hilang dari dunia, tapi masih hidup dalam kepalaku.

Kedua orang tua itu, yang semalam datang ke rumah, kini lebih pucat dari pagi. Mereka sudah melapor ke polisi. Tiga Bhabinkamtibmas datang, dan dua pria berseragam tentara ikut menyisir semak-semak di tepi sungai. Ada warga yang menyebutkan, kedua anak itu biasa mandi di sana—di bawah pohon beringin dengan akar-akar gantungnya menyentuh air.

Lalu kabar itu datang seperti bisikan buruk yang tahu waktu: sebuah karung terlihat hanyut, tersangkut di akar pohon di tikungan sungai.

Airnya tenang, tapi cukup untuk menyeret karung itu sekitar sepuluh meter dari tempat biasanya anak-anak mandi. Polisi menarik karung itu ke tepi, dan setelah membuka tali simpul yang nyaris lepas karena lembap…yang mereka temukan adalah tubuh Dedi.

Bukan Helmi. Hanya Dedi yang muncul hari itu. Tubuhnya dingin, kaku, dan tak bisa dikenali lagi oleh suara. Warga terdiam, dan waktu terus beranjak hingga larut malam, dan semua kembali pulang dengan kepala tertunduk.

Hari ketiga, suasana di kampung sudah tak bisa lagi menyembunyikan kegelisahan. Suara tawa mulai hilang dari halaman rumah, dan anak-anak dilarang bermain terlalu jauh. Ayah bangun lebih cepat dari biasanya, dan pergi ke titik kumpul bersama warga, polisi, tentara, dan orang tua yang matanya makin keruh menahan harap.

Helmi belum juga ditemukan. Dedi sudah dikubur malam sebelumnya, dishalatkan dengan tangisan yang tertahan. Tapi satu lubang lain belum bisa digali—karena tubuh satu lagi masih tak diketahui di mana.

Tengah hari, seorang remaja dari rumah dekat rawa menunjuk ke belakang rumah kami. Ia menutup hidungnya sambil berkata lirih: “Pak… bau dari sana beda… kayak bangkai yang dikubur setengah…” Beberapa warga, tentara, dan polisi mengikuti arah tangannya. Di sana, berdiri bangunan kecil dari bata tua yang sebagian ditutup papan lapuk. Itu adalah septic tank lama—tempat kotoran dulu ditampung sebelum saluran baru disambungkan ke parit belakang.

Ayah pernah bilang, “Sudah tak dipakai.” Tapi tidak pernah ditutup permanen. Hanya ditutup seadanya, karena membongkarnya perlu biaya, dan kami tak punya itu.

Papan itu sudah miring, lembab, dan disangga batu di satu sudutnya.

Ayahku ikut melangkah ke sana. Wajahnya menegang. “Tempat ini sudah tidak pernah dibuka lagi. Harusnya aman…” katanya pelan, meski nada bicaranya menyimpan keraguan.

Pak Bhabin dan tim forensik dari Polda Benteng Raya mulai memeriksa. Dua warga diminta bantu angkat papan. Butuh sedikit tenaga, tapi penutup itu memang bisa dibuka—jika tahu bagaimana caranya. Dan begitu terbuka, bau menyembur seperti duka yang dipaksa keluar dari perut bumi.

Butuh waktu. Tapi tali tambang dengan pengait diturunkan, dan ketika diangkat… Satu karung tua muncul dari dalam kegelapan.Karung yang sama jenisnya dengan yang ditemukan di sungai.

Berat. Basah. Kusut. Ditarik dengan perlahan. Simpulnya sudah lembek, tali mulai hancur oleh lembap dan waktu. Dan saat mulut karung dibuka, semua suara berhenti. Di dalamnya: Helmi.

Tubuh itu tidak utuh. Potongan-potongan daging yang dulu adalah anak kecil tersusun tak sempurna di dalam karung. Kaki terlipat, tangannya seperti ditekuk paksa, sebagian jari sudah mulai membusuk. Warna kulitnya tak lagi bisa disebut manusia—antara kebiruan dan abu, dengan garis-garis hitam seperti retakan di tanah kering.

Tidak ada bentuk anak di sana. Hanya sisa-sisa kehidupan yang dimampatkan ke dalam karung sempit. Beberapa warga mundur. Ada yang menutup mulut. Satu petugas hanya berdiri, menunduk.

Ayah Helmi memanggil nama anaknya, lirih. Tapi suara itu terdengar seperti hujan yang ditolak langit. Sementara istrinya… hanya sempat mengangkat tangan ke dada, lalu jatuh—bersamaan dengan karung yang perlahan dibiarkan turun ke tanah. (***)

MUHAMMAD EKO OKTAVIANSYAH, seorang penulis yang berdomisili di Bengkulu, mencintai dunia sastra, terutama cerita pendek dan novel bertema sosial, kemanusiaan, dan lingkungan. Menulis adalah caranya untuk memberi suara kepada hal-hal yang dilupakan dunia.

Tags: cerita pendekcerpencerpen kato

Berita Lainnya

Ilustrasi/de passo

Damai

Minggu, 23 Nov 2025 | 09:15 WIB

Rumah Murah

Minggu, 9 Nov 2025 | 09:03 WIB

Halaman Keluarga Prasejahtera

Minggu, 26 Okt 2025 | 08:37 WIB
Ilustrasi/de passo

Warisan Raso

Minggu, 12 Okt 2025 | 08:09 WIB
Selanjutnya

Usai Pelaksanaan Kurban, Damkar Lakukan Pembersihan Masjid dan Musala

Tinggalkan komentar
Classy FM

Informasi

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Iklan
  • Terms Of Use
  • Privacy Policy
  • Disclaimer

Kategori

  • 🏠
  • News
  • Ekonomi
  • Life
  • Cek Fakta
  • Cerpen Kato
  • Pariwisata
  • Semen Padang
  • Bola
  • Tekno
  • Olahraga
  • Pariwara

Networks

  • 🌎 KlikPositif
  • 🌎 KataSumbar
  • 🌎 Classy FM
  • 🌎 Classy Production
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Iklan
  • Terms Of Use
  • Privacy Policy
  • Disclaimer

© 2022 Klikpositif - Media Generasi Positif by Classy Corp.

Tidak ada hasil
Tampilkan semua hasil
  • 🏠
  • News
  • Ekonomi
  • Life
  • Cek Fakta
  • Cerpen Kato
  • Pariwisata
  • Semen Padang
  • Bola
  • Tekno
  • Olahraga
  • Pariwara