PADANG, KLIKPOSITIF – Hari ini, Kamis (25/5), jadwal keliling jualan jamu Sartiwi ke Kelurahan Pondok dan Batang Arau, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang, Sumatera Barat. Ia mengayuh sepeda dengan topi anyaman bambu dikepala sambil berkejaran dengan matahari yang naik di pukul 11.10 Wib siang saat itu. Cuaca panas Kota Padang dengan matahari terik akhir-akhir ini tak mengalahkan semangatnya dalam menghabiskan dua botol jamu yang di bawanya hari ini.
“Masih sisa dua botol lagi. InsyaAllah di pukul 12.00 Wib atau lewat akan habis. Setelah masuk ke gang kecil dan ke pasar ikan kecil itu, biasanya habis dan langsung pulang ke rumah di Kawasan Ganting,” katanya saat berhenti sejenak di Kawasan Muaro Padang pada Kamis, 25 Mei 2023.
Sartiwi salah seorang penjual jamu yang telah puluhan tahun menggeluti usaha ini dengan berkeliling di sudut-sudut Kota Padang. Perempuan kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah ini memulai usahanya sejak tahun 1988. Sebelum memberanikan membuka sendiri, dua tahun sebelumnya (1986) ia bekerja dan belajar dari orang lain bagaimana cara membuat jamu yang enak dan bisa dinikmati semua pihak.
“Tahun 1986 merantau ke Padang dari Wonogiri Jawa Tengah (kampung halaman). Datang ke Padang ikut sama majikan yang jualan jamu. Setelah bekerja selama dua tahun, saya memberanikan diri membuka usaha ini. Keberanian ini juga di dukung oleh majikan yang menyarankan saya buka usaha jamu sendiri,” kata Sartiwi yang akrab di panggil Mbak Tini oleh pelanggan-pelangganya.
Saat membuka usaha di tahun 1988 itu, Tini sudah memiliki ilmu yang baik soal jamu; mulai dari pemilihan bahan mentah, mengolah, mengemas dan menjual kepada pelanggan. “Sampai saat ini, majikan saya juga masih jualan jamu, sama dengan saya,” jelasnya.
Modal 80 Ribu Rupiah
80 ribu rupiah jadi modal awal Tini membuka dan merintis usahanya di tahun 1988. Uang yang bernilai cukup banyak kala itu sudah bisa mencukupi semua kebutuhan usaha jamunya, mulai dari bahan sampai peralatan. Awal berdagang, Tini menargetkan pembelinya pekerja di pabrik-pabrik yang ada di kawasan By Pass Kota Padang. Mereka adalah pekerja di pabrik getah, pabrik seng, dll,” kenangnya.
Selain ke kawasan industri, Tini juga menjajal perumahan-perumahan yang ada di kawasan Mata Air, Banuaran, Pasar Gaung, hingga ke kawasan Teluk Bayur. Selain ke beberapa tempat tadi, Tini juga berjualan di kawasan Pondok hingga ke Batang Arau Kota Padang hingga tahun 1998.
Masa Krisis Moneter 1998
Gejolak dan krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1998 juga berdampak ke usaha jamu Tini. Hal itu memaksanya meninggalkan Kota Padang dengan kembali ke kampung halamannya di Wonogiri, Jawa Tengah. Saat itu ia sudah menikah dan dikaruniai seorang putri berumur dua tahun. Setelah sampai di kampung halamannya, Tini malah mencoba peruntungan ke wilayah Kalimantan karena diiming-imingi mudah mencari uang di sana. “Namun setelah sampai di Kalimantan, ternyata susah sekali mencari uang disana. Tak semudah seperti pembicaraan orang-orang di kampung. Akhirnya setelah dua bulan disana, saya kembali lagi ke Jawa Tengah,” terangnya.
Tak putus asa dengan kondisi saat itu, tahun 2000 Tini pun mencoba peruntungan berdagang jamu di Jakarta. “Ternyata kerasnya ibukota seperti kata-kata orang memang saya rasakan. Saya juga susah mendapat uang disana dan memutuskan kembali ke Kota Padang pada tahun 2001 dengan menetap sampai sekarang,” terangnya sambil tertawa.
Pada masa krisis moneter 1998, Mbak Tini juga merasakan dampak itu pada usaha jamunya. Salah satunya banyak tunggakan langganan yang tak dibayarkan.
“Kalau keliling di pabrik di tahun-tahun sebelum reformasi, aku membolehkan mereka ngutang. Pada umumnya pekerja pabrik kala itu, bayarnya satu kali seminggu atau satu kali dua minggu. Saat krisis terjadi, mereka tidak bekerja dan di berhentikan. Ketika saya kembali ke Padang di tahun 2001, mereka tidak lagi bekerja di pabrik yang sering saya datangi, sehingga di ikhlaskan saja,” jelasnya.
Bertahan hingga saat ini
Setelah kembali lagi ke Padang tahun 2001, Tini dan keluarga membulatkan tekad tinggal di daerah ini sebagai penjual jamu. Saat ini, Jamu yang di produksi dan dijual oleh Tini ada tujuh macam jenis jamu, diantaranya jahe, kunyit asam, beras kencur, dll. “Terkadang orang memintanya di campur dengan obat-obatan,” jelas Ibu yang sudah memiliki dua anak perempuan ini.
Untuk produksi jamu, Tini menyiapkan bahan pada malam sebelumnya. Bahan-bahan tersebut ditumbuk dengan batu lesung. Bahan yang disiapkan terdiri dari tujuh macam jenis jamu, diantaranya jahe, kunyit asam, beras kencur, dll. “Kemudian pada pukul 04.00 Wib dini hari, semua bahan yang disiapkan direbus dan selesai di kemas pada pukul 06.00 Wib. Jamu tersebut di kemas dalam botol berukuran 1,5 liter sebanyak 14 botol. Pukul 06.30 Wib, saya mulai keliling,” jelasnya dengan wajah ramahnya.
Selain jamu, Tini juga menyertakan beberapa obat-obatan sehat lainnya berdagang, sehingga ini juga menambah nilai jual jamu. “Terkadang orang memintanya di campur dengan obat-obatan,” jelas Ibu yang sudah memiliki dua anak perempuan ini.
Untuk harga, satu gelas jamu di patok dengan harga Rp5 ribu. Jika ada yang meminta pakai obat-obatan bubuk, maka menjadi Rp10 ribu. “Namun jika ada yang minta jamu dengan harga Rp3 ribu, saya juga akan tetap saya jual,” tuturnya.
Jika jamunya habis, maka dalam sekali berdagang (dari pukul 06.30 s/d pukul 12.00 Wib), Tini bisa memperoleh penghasilan bersih sebesar Rp100 ribuan. Sedangkan untuk modal selama seminggu, ia harus merogoh kantong dari Rp700 s/d Rp800 ribu. “Alhamdulillah bisa menyambung hidup dan bisa menabung sedikit-sedikit,” katanya sambil tersenyum.
Untuk rute berdagang, Tini telah memetakan beberapa wilayah kelompok masyarakat yang sudah menjadi pelangganya. “Jadi untuk rute atau jadwal keliling itu saya seling-seling. Senin, Rabu dan Jumat ke kawasan Pasar Gaung, Mata Air, Banuaran hingga ke arah Teluk Bayur. Sedangkan untuk Selasa, Kamis dan Sabtu di kawasan Pondok hingga Batang Arau Kota Padang,” paparnya.
Rute yang dijadwalkannya ini telah berjalan sejak awal berusaha pada 1988 silam. Namun sejak reformasi, ada beberapa kawasan yang tak di pakai lagi, seperti kawasan pabrik di By Pass. Selain itu, menurut Tini, tidak semua orang minum jamu setiap hari, sehingga selingan hari sangat perlu. Kadang mereka minum 2 kali seminggu, ada yang tiga kali atau ada yang hanya sekali seminggu, sehingga membuat jadwal adalah hal efektif menurut saya,” paparnya.
Awal berdagang di tahun 1988 sampai 2021 kemarin, Tini masih berkeliling menggunakan bakul yang digendong di punggung. Namun saat ini, ia berkeliling menggunakan sepeda. “Sudah ndak (tidak) sanggup gendong bakul dengan isi 21 liter Mbak. Maklum sudah berumur,” katanya sambil tertawa.
Covid-19 dan Jamu
Saat Covid-19 melanda Indonesia dan dunia, jamu Mbak Tin memperoleh berkahnya sendiri. Masa itu, permintaan jamunya meningkat drastis. “Apalagi saat itu banyak pemberitaan yang mengatakan bahwa jamu bisa menjadi salah satu obat alami dalam menjaga daya tahan tubuh. Saat permintaan soal jahe merah meningkat, saya juga memanfaatkan momen itu dengan menyiapkannya untuk pelanggan, walaupun pada saat itu harganya naik,” jelasnya.
Saat itu, yang membeli jamunya tak hanya yang menjadi pelanggan, namun juga orang yang jarang bahkan tak biasa minum jamu. “Semua usia minum jamu untuk menjaga kekebalan tubuh,” paparnya.
Prinsip Hidup
Bagi Tini yang telah berjualan selama puluhan tahun, sabar, jujur, baik dan yakin dengan balasan baik dari Allah SWT adalah kunci yang selalu dipegangnya sampai hari ini dalam berjualan atau dalam kehidupan sehari-hari. “Sehingga ketika ada misalnya yang tidak membayar jamunya hingga jumlah sampai ratusan ribu, dia meyakini bahwa Allah SWT akan menggantinya dengan hal baik dari yang hilang itu. Allah SWT itu Maha Baik. Itu aja yang aku yakni Mbak,” katanya.
Bagi Tini, Kota Padang sudah seperti rumah baginya karena ia sudah berkumpul bersama keluarganya disini. “Disini sudah menjadi sumber ekonomi yang cocok bagi saya puluhan tahun, jadi saya akan tetap menjalankan usaha ini,” paparnya.
Disisi lain, Tini tak merasa sendiri sebagai penjual jamu karena ia juga tergabung dalam paguyuban/ kelompok penjual jamu khusus ibu-ibu. “Kurang lebih ada 30 perempuan penjual jamu dalam paguyuban itu. Semuanya tinggal berdekatan, yakni di Jalan Ganting IX Nomor 40, Padang Timur, Kota Padang. Jadi kalau ada masalah atau keluh kesah, bisa berbagi cerita dan solusi dengan teman-teman kelompok tersebut,” terangnya.
Memanfaatkan KUR BRI
Membuat usaha tetap berjalan baik, modal jadi salah satu hal penting dan Tini paham benar dengan ini. “Suatu waktu saya bertemu dengan salah seorang karyawan BRI di KCP Subarang Palinggam Padang namanya Mbak Mega di pertengahan 2019. Saat itu saya ditawari program KUR untuk usaha. Setelah dijelaskan dan mempelajarinya, saya cukup tertarik, maka saya melakukan peminjaman sebesar Rp10 juta dalam jangka waktu 1,5 tahun. Setelah selesai pinjaman pertama, maka pada pinjaman kedua saya dapat Rp15 juta dan juga hampir lunas,” jelasnya.
Diakui Tini, pinjaman modal yang menjadi program BRI sangat membantunya tetap eksis berdagang. Selain mendapatkan pinjaman tambahan modal usaha, pihak BRI juga sering mengajak jamu Mbak Tini mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh pihak BRI. “Dari sana, orang juga banyak tahu dan mencicipi jamu buatan saya. Bagi saya itu suatu kebanggan karena dilibatkan,” tuturnya.
Ia juga bersyukur bisa mengikuti berbagai program BRI yang sering mengajaknya ikut dalam kegiatan. “Semoga kedepannya tetap bisa terlibat dalam iven-iven yang diadakan oleh pihak BRI, sehingga banyak orang bisa minum jamu buatan saya,” jelasnya.
Jika Anda ingin menikmati jamu sensasi lintas zaman Mbak Tini, Anda bisa memesannya di nomor telepon 085271143111.