KLIKPOSITIF – Penyebab ledakan tambang batu bara di Sawahlunto yang melukai 5 penambang pada Senin, 27 Juni malam masih belum diketahui.
Namun menurut penuturan ahli pertambangan sebagaimana dilansir livescience.com, ada dua kemungkinan utama penyebab ledakan tambang batu bara, pertama karena ledakan gas metana dan kedua karena ledakan debu batu bara.
Ledakan gas metana terjadi di tambang ketika adanya penumpukan gas metana, yang merupakan produk sampingan batu bara, melakukan kontak dengan sumber panas dan tidak ada udara yang cukup untuk mencairkan gas ke tingkat titik bawah ledakan, kata Yi Luo, seorang profesor teknik pertambangan di West Virginia University.
“Dalam kebanyakan tambang batu bara, setiap ton batu bara mengandung antara 100 sampai 600 kaki kubik (2,83-17 meter kubik) gas metana,” kata Luo. “Ketika udara mengandung 5 persen hingga 15 persen metana, bisa terjadi ledakan.”
Campuran mematikan
Metana, komponen utama dari gas alam, bersifat mudah terbakar dan campuran sekitar 5 persen hingga 15 persen di udara berpotensi menimbulkan ledakan. Ketika udara mengandung sekitar 9,5 persen metana (konsentrasi paling berbahaya), maka ia mencapai titik oksidasi sempurna, yang berarti bahwa bahan bakar dalam jumlah yang tepat telah bercampur dengan oksigen dalam jumlah yang tepat, kata Luo. Ini menghasilkan air, karbon dioksida dan panas.
“Tidak [memerlukan] banyak panas untuk memulai proses pembakaran, sehingga karena itu ledakan metana dapat terjadi dengan sangat cepat,” kata Luo.
Panas yang dihasilkan oleh proses ini meningkatkan suhu udara di dalam tambang, yang menyebabkan volume panas ini harus berekspansi. Karena udara panas tidak dapat berekspansi dengan mudah ke bawah tanah, maka akan terjadi tekanan di dalam tambang. Jika tekanan ini cukup tinggi, maka dapat menyebabkan udara bergerak menuju zona pembakaran menyebabkan gelombang kejut, Luo menjelaskan.
Ventilasi adalah metode yang paling umum untuk menghindari ledakan metana di tambang batu bara. Ventilasi besar digunakan untuk menyalurkan udara keluar atau menarik udara ke dalam tambang. Tapi Luo menyatakan bahwa ventilasi tambang masih ilmu yang rumit.
“Di tambang batu bara, kita dituntut untuk mengontrol konsentrasi [metana] ke kurang dari 1 persen,” katanya. “Tapi ada tempat yang tidak memungkinkan untuk ventilasi di mana konsentrasi (metana) bisa berada di range penyebab terjadi ledakan.”
Selain gas metana, ledakan tambang juga bisa terjadi ketika partikel halus dari debu batu bara bersentuhan dengan sumber panas. Sementara metana lebih mudah menyala, tekanan ledakan dan panas metana tidak setinggi debu batu bara. Dalam kebanyakan kasus, ledakan debu pertama disebabkan oleh ledakan metana, kata Luo.
“Ledakan debu membutuhkan konsentrasi debu yang melayang di udara yang sangat tinggi, sangat sulit untuk ditemukan dalam lingkungan tambang,” jelas Luo.
Tapi, gelombang kejut yang disebabkan oleh ledakan metana dapat meledakkan debu batu bara dalam tambang dan panas yang dihasilkan oleh reaksi metana dapat memicu debu, yang sangat mengintensifkan energi ledakan. Dalam skenario kasus terburuk, ledakan metana berpotensi untuk memicu bencana ledakan debu batu bara.
Sebelum ledakan tambang tadi malam, pada 2014 juga telah terjadi ledakan tambang di Sawahlunto. Saat itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Sawahlunto Deswanda megatakan, meledaknya tambang milik PT Desrat Sarana Arang di Parambahan, Desa Batu Tanjung, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto, diduga karena percikan api yang disambar gas metan di lubang tambang itu.
(Elvia Mawarni/LiveScience)